Banyak
para pengamat sejarah yang menyebutkan bahwa peristiwa G30S merupakan awal dari
jatuhnya kharisma kepemimpinan Bung Karno. Para pengamat sejarah juga
berpendapat bahwa peristiwa penjemputan paksa 6 Jenderal dan seorang perwira
angkatan darat tersebut adalah salah satu rangkaian cara Soeharto untuk
mengambil alih kekuasaan. Salah satu pendapat tentang keterlibatan Soeharto sebagai
pihak yang diuntungkan oleh berakhirnya orde lama adalah pendapat Asvi
Warman Adam (AWA) dalam bukunya Pelurusan Sejarah Indonesia. Dalam buku setebal
294 halaman tersebut dijelaskan bahwa ada hubungan antara tiga oknum (CIA, PKI
dan Soeharto) dalam berakhirnya masa orde lama ini. Ada juga yang berpendapat
bahwa rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada Bung Karno ketika peristiwa
G30S tersebut. Para rakyat menganggap bahwa Bung Karno telah gagal mengatasi
krisis ekonomi pada waktu itu. Selanjutnya, datanglah Soeharto yang muncul
sebagai seorang pahlawan baru bagi Indonesia. Rakyat pun menaruh simpati kepada
Soeharto yang telah berhasil membasmi PKI waktu itu.
Tanggal
1 Oktober 1965 adalah awal sejarah kepemimpinan baru. Di saat rakyat Indonesia
sedang berduka sepeninggal kepergian 7 pahlawan revolusi yang dibunuh dengan
cara yang mengerikan, ada seorang jenderal yang sedang mempersiapkan dengan
matang tampu kekuasaannya. Dialah Soeharto yang mulai mengambil alih pimpinan
Angkatan Darat dari tangan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani,
yang menghilang dan belum diketahui keberadaannya.
Aksi
Soeharto tidak hanya berhenti di situ saja. Ia bahkan telah dengan lancang
melarang Panglima Kodam V Jaya Brigadir Jenderal (Brigjen) Umar Wirahadikusumah
yang hendak memenuhi panggilan Presiden Soekarno untuk menghadap. Malah dengan
nada sombongnya, Soeharto berkata kepada Komisaris Besar Polisi Sumirat dan
Kolonel (Mar) Bambang Widjanarko, Ajudan Presiden Soekarno, yang menjemput
Panglima Kodam V Jaya, “Sampaikan kepada Bapak Presiden, mohon maaf
Panglima Kodam V Jaya tidak dapat menghadap. Dan, karena saat ini Panglima
Angkatan Darat tidak ada di tempat, harap semua instruksi untuk Angkatan Darat
disampaikan melalui saya, Panglima Kostrad,” (Sewindu
Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko, PT Gramedia, 1988)
Melihat
sikap Soeharto yang seperti itu, tentu saja Presiden Soekarno kurang senang
karena perbuatan Soeharto tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 10
Undang-Undang Dasar 1945 yang dengan tegas menjelaskan bahwa Presiden berkuasa
penuh atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Pada siang
harinya, ada sebuah pertemuan khusus yang dihadiri oleh beberapa orang penting,
seperti Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya (Laksdya) Omar Dani,
Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksdya RE Martadinata, dan Menteri/Panglima
Angkatan Kepolisian Inspektur Jenderal Soetjipto Joedodihardjo.
Dalam
rapat tersebut, dengan tegas Presiden Soekarno memutuskan untuk mengambil alih
seluruh tanggung jawab dan tugas Menteri/Panglima Angkatan Darat. Tidak hanya
itu saja, dalam rapat tersebut Bung Karno juga mengangkat seorang Asisten
Menteri/ Panglima Angkatan Darat Bidang Personel Mayjen Pranoto Reksosamudro
sebagai caretaker
Menteri/Panglima Angkatan Darat. Setelah rapat tersebut selesai, Presiden
Soekarno memerintahkan ajudannya, Kolonel Bambang Widjanarko untuk memanggil
Mayjen Pranoto Reksosamudro untuk menghadap.
Namun
seperti biasanya, Soeharto berusaha menghalang-halangi kedatangan Mayjen
Pranoto. Soeharto kembali mengatakan bahwa dialah yang berhak memegang kendali
dan yang berhak memberi perintah di Angkatan Darat. Sebenarnya, Soeharto memang
sosok yang sering membangkang terhadap perintah-perintah Soekarno. Mari kita
flashback ke peristiwa di mana Indonesia sedang mengalami konflik besar-besaran
dengan Malaysia. Kala itu, Soekarno gencar dengan program “ganyang Malaysia”.
Namun apa yang dilakukan oleh Soeharto?. Diam-diam, Soeharto bersama LB
Moerdani, Letkol AR. Ramli dan juga Sugeng Djarot malah melakukan pendekatan
dengan Malaysia untuk mengusahakan perdamaian.
Salah
seorang menteri yang berada di dalam Kabinet 100 Menteri, Oei Tjoe Tat
menuturkan kesaksiannya perihal peristiwa 1 Oktober tersebut dalam bukunya yang
berjudul Memoar
Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno. Di dalam buku terbitan
Hasta Mitra tahun 1995, Oei Tjoe berkata “Dengan cepat iklim dan suasana politik di ibu
kota bergeser 180 derajat. Menurut pengamatan saya, sejak 1 dan 2 Oktober 1965
kekuasaan de facto sudah terlepas dari tangan Presiden selaku
penguasa Republik Indonesia. Memang padanya masih ada corong mikrofon, tetapi
inisiatif dan kontrol atas jalannya situasi sudah hilang”.
Detik-Detik
Lengsernya Bung Karno
Pada
malam penembakan para pahlawan revolusi yaitu tanggal 30 September 1965,
Presiden Soekarno tidak tidur di dalam Istana Merdeka. Menjelang tengah malam,
Presiden Soekarno keluar dari Istana Merdeka untuk menuju ke kediaman istrinya,
Ibu Ratnasari Dewi yang berada di Jalan Gatot Subroto (kini sudah dijadikan Museum
Satria Mandala). Dalam perjalanan menuju Jalan Gatot Subroto, Presiden Soekarno
mampir sebentar untuk menjembut Ibu Ratna yang sedang mendatangi sebuah resepsi
yang diadakan oleh Kedutaan Besar Irak di Bali Room, Hotel Indonesia.
Untuk
esok harinya yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno
ke luar rumah dengan mengendarai mobil kepresidenan Buick Chrysler hitam bernomor
polisi B 4747. Beliau segera bergegas ke Istana Merdeka karena sudah ada janji
dengan Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena dan juga Menteri/Panglima Angkatan
Darat Jenderal, Ahmad Yani dalam sebuah acara minum kopi (koffie
uurtje) pukul 07.00.
Ketika
berada di dalam mobil, supir Bung Karno yang bernama Suparto pun bercerita
bahwa ia mendapat informasi dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP)
Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, yang mengatakan bahwa ada penembakan di
rumah Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan
Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena,
yang letaknya bersebelahan yang terjadi pada pukul 04.00 WIB.
Setelah
mendengar informasi tersebut, Presiden Soekarno pun segera memerintahkan
Suparto untuk menghentikan mobilnya. Ia langsung memanggil Mangil dan
menanyakan informasi tentang kasus penembakan di rumah Nasution dan Leimena
itu.
Mangil
pun segera menceritakan tentang peristiwa tersebut. Namun sayangnya, Mangil
belum bisa menceritakan kejadian tersebut secara terperinci. Mangil menjelaskan
bahwa ia masih menunggu berita dari Inspektur I Jatiman (Kepala Bagian II DKP) tentang
kebenaran berita tersebut. Mendengar jawaban itu, tentu saja Presiden Soekarno marah
besar sambil berkata keras, “Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi,
sampai sekarang belum kamu ketahui dengan jelas….”
Singkat
cerita, tak lama kemudian Jatiman menghubungi Mangil untuk membenarkan berita
tersebut. Ia juga menceritakan bahwasannya ada beberapa tentara yang mencurigakan
di sekitar Istana Merdeka dan kawasan Monas.
Suasana
semakin terlihat menegangkan ketika Jalan Medan Merdeka Barat ditutup dan
dijaga oleh pasukan Angkatan Darat dari Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya
dan Batalyon 454/Para/Diponegoro. Saat itu banyak sekali Angkatan Darat yang mensterilkan
tempat tersebut. Kendaraan-kendaraan yang datang dari arah Hotel Indonesia pun diharuskan
membelok ke kiri. Saat itu juga, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel
(CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil melalui handy-talkie dan meminta agar
Presiden Soekarno dijauhkan dari area Istana karena banyak tentara yang tidak
dikenal. Saelan juga menyarankan agar Presiden Soekarno dibawa ke rumah
istrinya, Ny Harjati yang berada di kawasan Slipi yaitu di sebelah lokasi Hotel
Orchid (sekarang).
Mangil
pun menuruti saran dari Saelan. Ia segera membelok ke kiri dann memasuki Jalan
Budi Kemuliaan terus menuju Tanah Abang Timur. Sesampainya di Tanah Abang
Timur, Mangil pun segera menuju ke Jalan Jati Petamburan dan ke arah Slipi.
Mobil tersebut segera bergegas menuju rumah Ny Harjati. Setibanya di kediaman
Ny Harjati, ternyata Saelan sudah ada di sana. Dari Saelan-lah Bung Karno tahu
kejadian memilukan yang menimpa Ahmad Yani dan kawan-kawan. Bung Karno
tertunduk, sementara itu Saelan yang melihat Bung Karno menitikkan air mata pun
segera menenangkannya. Hati siapa yang tidak sedih melihat orang-orang terhebat
harus meninggal dengan cara yang tragis seperti itu?.
Sesaat
kemudian, beliau pun bangkit dari duduknya dan segera memerintahkan Saelan untuk
menghubungi semua panglima angkatan. Namun sayangnya, pagi itu semua jaringan
telepon lumpuh sehingga Saelan meminta sopir pribadi Presiden, Suparto, untuk
menghubungi langsung. Ketika Suparto sedang sibuk menghubungi semua panglima
Angkatan Darat, maka Saelan keluar dari kediaman Ny Harjati untuk mencari
Mangil. Setelah bertemu dengan Mangil, Saelan meminta Mangil untuk mencarikan
tempat yang aman bagi Presiden. Mangil pun mengusulkan bahwa ada baiknya bila
Presiden dibawa ke bekas rumah Sie Bian Ho yang berada di Jalan Wijaya I, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan. Rumah tersebut sudah dibeli oleh Resimen Tjakrabirawa.
Usul dari Mangil tersebut pun mendapat persetujuan dari Saelan.
Namun
rencana tersebut berubah setelah Suparto melaporkan bahwa ia hanya bisa menghubungi
Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksdya Omar Dani yang saat itu sedang berada di
Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Rencana untuk memindahkan
Presiden ke bekas rumah Sie Bian Ho pun dirubah. Setelah berpikir-pikir,
akhirnya Saelan pun menyarankan agar Presiden Soekarno dibawa ke Pangkalan
Angkatan Udara Halim Perdanakusuma saja.
Suparto
dan Mangil pun menyetujui saran Saelan karena hal tersebut sesuai dengan Standard
Operating Procedure (SOP) Tjakrabirawa yang mengatakan bahwa jika di
dalam pengamanan Presiden terjadi sesuatu hal yang bisa mengancam keamanan dan
keselamatan Presiden, maka secepatnya Presiden harus dibawa ke Markas Angkatan
Bersenjata terdekat. Selain itu, di Pangkalan Angkatan Udara Halim
Perdanakusuma juga sudah terdapat pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar. Bila
tidak bisa dibawa ke pangkalan Angkatan Darat terdekat, Presiden pun juga bisa
dibawa ke pelabuhan Angkatan Laut, karena di tempat itu juga sudah disiapkan
kapal kepresidenan RI, Varuna. Pilihan terakhir adalah, Presiden juga bisa
dibawa ke Istana Bogor, karena di tempat tersebut sudah diparkir helikopter
kepresidenan Sikorsky S-61V.
Sebelum
Presiden dibawa ke Halim, Saelan menyarankan agar Presiden dibawa dengan
memakai mobil VW Kodok biru laut nomor polisi B 75177. Tidak hanya itu saja,
Saelan juga menyarankan agar pengawalan pun hanya dilakukan oleh anggota DKP
yang mengenakan pakaian sipil. Semua itu dilakukan agar tidak telalu mencolok
dan menyebakan tentara-tentara asing tersebut curiga.
Berapa
anggota DKP membawa Presiden Soekarno ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Tepatnya pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno telah sampai di Pangkalan
Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Sesampainya di tempat tersebut, Presiden
pun disambut Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksdya Omar Dani dan Komodor Leo
Wattimena.
30 menit
kemudian, seorang pemimpin G30S yang bernama Brigjen Soepardjo, melapor kepada
Presiden Soekarno bahwa ia beserta teman-temannya telah melakukan sebuah
tindakan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat. Saat itu juga, Preisden
Soekarno memerintahkan kepada Soepardjo untuk menyudahi semua aksi gila
tersebut untuk menghindari pertumpahan darah lagi. Namun sayangnya, Soepardjo
justru meminta Presiden Soekarno untuk mendukung G30S. Namun Presiden sama
sekali tidak menghiraukan permintaan Soepardjo tersebut. Presiden Soekarno
dengan tegas menolak permintaan tersebut.
Setelah
menolak permintaan gila dari Soepardjo tersebut, Presiden Soekarno kemudian
memerintahkan ajudannya, Komisaris Besar Sumirat untuk memanggil beberapa
menteri seperti Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksdya RE Martadinata,
Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Inspektur Jenderal Soetjipto
Joedodihardjo, Panglima Kodam V Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah dan Jaksa
Agung Brigjen Soetardio, serta Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena.
Sementara
itu di tempat lain, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, pada tanggal 1 Oktober
1965, pukul 06.00 diberi tahu oleh tetangganya yang bernama Mashuri bahwa ada
suara tembakan pada dini hari. Menurut Mashuri, ketika ia bertemu dengan
Soeharto, ia melihat Soeharto sudah siap berperang dengan mengenakan pakaian
tempur.
Menurut
penuturan Soeharto dalam bukunya yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya-Otobiografi,
ia mengaku bahwa pada saat peristiwa penembakan para perwira tinggi tersebut,
ia sedang berada di rumah. Saat itu, Soeharto istirahat setelah seharian
menjaga anaknya, Tommy (Hutomo Mandala Putra), yang dirawat di sebuah rumah
sakit karena tersiram sup panas.
Ada
salah satu nama yang juga diduga juga berada di balik peristiwa G30S yaitu Komandan
Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya Kolonel Abdul Latief. Beliau
mengatakan bahwa seharusnya Mayjen
Soeharto tidak usah terkejut setelah diberi tahu oleh Mashuri tentang
penembakan tersebut. Sebab, Mayjen Soeharto memang sudah diberi tahu sebelumnya
bahwa akan akan ada penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras
Angkatan Darat.
Latief juga
menambahkan bahwa pada tanggal 29 September 1965, ia beserta keluarganya bertandang
ke rumah Mayjen Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Selain untuk acara kekeluargaan,
Latief juga ingin memberitahu Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan coup d’etat
(Kudeta) terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Latief kembali menambahkan
bahwa respon Soeharto biasa-biasa saja, bahkan Soeharto menjawab bahwa ia sudah
tahu kabar itu sehari sebelum kedatangan Latief, dari salah satu bekas anak
buahnya yang berada di Yogyakarta, yang bernama Subagyo.
Sebagaimana
kasus Supersemar, kasus G30S ini juga memiliki banyak kontroversi, termasuk
masalah pertemuan Abdul Latief dengan Soeharto di rumah sakit. Dalam buku The
Communist Collaps in Indonesia (1970) karya Arnold C Brackman
terdapat dua buah wawancara yang sangat berlawanan.
Ketika
Arnold mewawancari Soeharto, ia mengatakan bahwa Latief datang menemuinya hanya
untuk mengecek keberadaannya. Sementara dalam wawancara dengan Der
Spiegel bulan Juni 1970, Soeharto mengatakan bahwa Latief dan
komplotannya datang ke rumah sakit untuk membunuhnya.
Oei Tjoe
Tat dalam memoarnya menjelaskan tentang pertemuannya dengan sahabatnya yang
bernama Subagyo, seseorang yang namanya disebut Soeharto dalam percakapan
Latief di rumah Soeharto Jalan Haji Agus Salim dua hari menjelang G30S itu. Oei
Tjoe Tat juga mengatakan bahwa ia sudah menangkap dan menahan Subagyo di rumah
tahanan militer (RTM). Di tempat itu, Subagyo mengatakan bahwa ia beberapa kali
memberitahukan Soeharto bahwa akan ada sebuah peristiwa yang membahayakan
negara.
Pada
pukul 06.00 pagi, Mayjen Soeharto berangkat ke Markas Kostrad yang terletak di Jalan
Medan Merdeka Timur. Di tempat tersebut, ia mengumpulkan anak buahnya dan
melakukan langkah-langkah konsolidasi. Adapun langkah pertama yang ia ambil
adalah untuk mengambil alih kepemimpinan dalam Angkatan Darat yang saat itu
sedang kosong karena keberadaan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad
Yani belum diketahui.
Soeharto
menjelaskan bahwa sebelum ia berangkat, Letkol Sadjiman datang untuk
memberitahukan bahwa ada beberapa pasukan yang tak dikenal sedang berada di sekitar
Monas dan Istana. Oleh sebab itu, pada pukul 06.30, Soeharto memerintahkan
seorang perwira Kostrad yaitu Kapten Mudjono untuk memanggil Komandan Batalyon
530/Para Brigade 3/Brawijaya Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya
di sekitar Monas dan Istana.
Selanjutnya,
Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten Soekarbi bertanya apakah ia bisa
menggantikan Mayor Bambang Soepeno karena ia sedang tidak ada di istana, namun
perwira tersebut menolak dengan berkata “tidak”. Namun pada pukul 07.30,
perwira tersebut datang lagi dan mengatakan bahwa Kapten Soekarbi diperbolehkan
menggantikan Mayor Bambang Soepeno. Beberapa menit kemudian, datang pula menghadap
Wakil Komandan Batalyon 454/Para/ Diponegoro Kapten Koencoro. Dalam briefing
tersebut, Koencoro dan Soekarbi mengatakan kepada Mayjen Soeharto bahwa ada
sekelompok Dewan Jenderal yang ingin menggulingkan pemerintahan yang syah.
Namun saat itu, Soeharto segera menyanggah dengan mengatakan bahwa berita
tersebut tidaklah benar. Soeharto pun segera menyuruh kedua wakil komandan
batalyon tersebut untuk mengambil alih pasukan dan kembali ke Kostrad.
Pada
siang hari, Panglima Kodam V Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah dan Ajudan
Presiden lainnya, Kolonel Bambang Widjanarko berkumpul di Kostrad. Di tempat
itu, keduanya mendapat penjelasan dari Panglima Kostrad Mayjen Soeharto bahwa
ia melarang Panglima Kodam V Jaya Umar Wirahadikusuma untuk menghadap Presiden.
Tidak hanya itu saja, Soeharto juga minta keduanya untuk memberi tahu Presiden
Soekarno agar semua perintah untuk Angkatan Darat disampaikan melalui dia
(Soeharto). Sore harinya, Soeharto kembali memberitahu Widjarnako bahwa ia
melarang Mayjen Pranoto Reksosamudro menghadap Presiden Soeharto.
Rupanya,
sepak terjang Soeharto dalam “menjatuhkan” kepemimpinan Soekarno tidak hanya
berhenti di situ saja. Soeharto juga mengambil alih peranan Panglima Tertinggi
ABRI dari Presiden Soekarno. Soeharto juga memberlakukan keadaan darurat secara
sepihak. Bahkan, dengan tanpa rasa bersalah, Soeharto juga menelepon
Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksdya RE Martadinata, Menteri/Panglima
Angkatan Kepolisian Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi
Operasi Angkatan Udara Komodor Leo Wattimena untuk memberitahukan bahwa posisi
sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang olehnya. Soeharto juga menyarankan agar
mereka tidak mengadakan pergerakan pasukan tanpa sepengetahuan Panglima
Kostrad.
Langkah
terhebat Soeharto lainnya adalah ia bisa memonopoli media massa seperti TVRI,
RRI, Antara, Harian Angkatan Bersenjata, Pemberitaan Angkatan Bersenjata, Berita
Yudha. Sehingga ia dengan mudah memutar balik kebenaran dan membentuk opini
publik sesuai dengan kehendaknya. Itulah sebabnya, mengapa film dan sejarah
G30S PKI bisa diputar balikkan seperti itu.
Selanjutnya,
pada tanggal 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno memanggil Mayjen Soeharto untuk
menghadap ke Istana Bogor. Presiden bertanya kepada Soeharto atas
kelancangannya dalam mengambil alih posisi pimpinan Angkatan Darat. Soeharto
pun menjawab bahwa semua itu dilakukannya karena ia tidak ingin adanya kekosongan
kepemimpinan di Angkatan Darat.
Setelah
mengetahui alasan Soeharto tersebut, Presiden Soekarno pun berkata bahwa ia
mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan mengangkat Mayjen Pranoto
Reksosamudro sebagai caretaker. Mendengar berita
tersebut, Soeharto pun menanggapinya dengan nada yang mengancam. Soeharto
mengatakan bahwa ia tidak akan mau bertanggung jawab lagi atas situasi keamanan
saat itu. Soeharto mengatakan bahwa ia tidak ingin terjadi dualisme dalam
kepemimpinan Angkatan Darat.
Ucapan
Presiden Soekarno pun terbukti nyata. Beliau segera mengangkat Mayjen Pranoto
Reksomudro sebagai caretaker
Menteri/Panglima Angkatan Darat. Namun meskipun demikian, Soeharto lah yang
menguasai Angkatan Darat.
Tidak
terima karena pengangkatan Pranoto sebagai caretaker,
Soeharto pun menggunakan wewenangnya sebagai Pangkopkamtib. Ia “membersihkan”
Angkatan Darat dari orang-orang yang dianggap terlibat G30S. Bahkan pada 16
Oktober 1965, ia juga menangkap Pranoto dengan tuduhan terlibat dalam G30S. Soeharto
berhasil membuat Presiden Bung Karno tidak memiliki alternatif pilihan lain. Akhirnya,
Presiden Soekarno mengangkat Soeharto jadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Soeharto
tidak berhenti sampai di situ saja. Ia tidak mau hanya berada di posisi
menteri. Itulah sebabnya Soeharto tidak pernah berhenti mengusik pemerintahan
Presiden Soekarno. Salah satunya adalah dengan mengerahkan pasukan-pasukan yang
tak dikenal ke dalam rombongan para mahasiswa yang sedang melakukan aksi
demontrasi. Konon, peristiwa kericuhan inilah yang nantinya akan mengawali
kisah kontroversial, “Supersemar” (Baca Bab 21).
Setelah
berhasil memperoleh Supersemar, Soeharto merasa di atas awan. Gerakan Soeharto semakin
mulus dan tak tertahankan lagi. Keesokan harinya, Soeharto segera membubarkan
PKI dan organisasi massanya. Tidak hanya itu saja, ia berhasil tampil dengan
topeng kemunafikannya dan mengatakan bahwa dialah sosok yang berhasil menumpas
PKI. Setelah berhasil menangkap anggota PKI, Soeharto pun menyatakan PKI
sebagai organisasi terlarang.
Aksi
hebohnya kembali berlanjut pada tanggal 17 Maret 1966. Saat itu, Soeharto
menahan 15 menteri anggota Kabinet Dwikora yang diduga terlibat G30S. Masih
soal “bersih-bersih”, ia juga membersihkan MPRS dari orang-orang yang diduga
terlibat dalam G30S. Soeharto juga memasukkan orang-orang yang mendukung G30S.
Presiden Soekarno jengah dengan ulah Soeharto yang menurutnya di luar wewenang
Soeharto ini. Presiden Soekarno sudah berkali-kali memprotes tindakan Soeharto,
namun Soeharto tidak pernah sedikitpun mempedulikannya.
Kejadian
ini, membuat salah satu ajudan Presiden Soekarno yang bernama Bambang
Widjanarko menulis dalam bukunya, Sewindu Dekat Bung Karno, “Berdasarkan
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani oleh BK sendiri
itulah jalan hidup BK berubah dan karier politiknya berakhir.”
Rupanya
Soeharto tahu betul bahwa Presiden Soekarno adalah sosok yang tidak pernah
membiarkan adanya perang saudara. Soeharto telah berhasil memanfaatkan
kelemahan sang Presiden tersebut. Ternyata benar, Presiden Soekarno hanya bisa
duduk bersimpuh. Ia tidak tahu mengapa semua ini bisa terjadi?. Mengapa hanya
karena sebuah kekuasaan, seseorang dengan tega merusak tatanan kesatuan dalam
sebuah negara?. Sementara itu, seluruh aparat negara sedang cemas menanti titah
dari Presiden Soekarno. Namun, perintah tersebut belum keluar-keluar juga. Hal
tersebut juga dipaparkan oleh Oei Tjoe Tat dalam memoarnya, “Mereka
semua menunggu instruksi Presiden untuk bertindak. Dan instruksi itu tak
kunjung… tak kunjung datang.”Oei Tjoe Tat juga menambahkan
bahwa Presiden Soekarno pun akhirnya mengatakan, “Kalau
perlu biarlah aku lepaskan jabatan kepresidenanku daripada harus menyaksikan
perang saudara yang nantinya bisa dimanfaatkan kekuatan-kekuatan Nekolim.”
Cerita Oei Tjoe Tat tersebut juga diperkuat oleh
Roeslan Abdulgani, dalam tulisannya di sebuah buku berjudul Tuhan,
Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku, Pledoi Omar Dani,
terbitan PT Media Lintas Inti Nusantara, tahun 2001. Ia menyebutkan bahwa dalam
pertemuan pada awal tahun 1967 di Istana Bogor, Presiden Soekarno pernah
berkata, “Cak!
Kalau saya maju selangkah lagi memenuhi tuntutan mereka, akan pecah perang
saudara. Brawijaya di Jawa Timur sudah mau mengajak saya ke sana. Saya tidak
ingin ada perang saudara. Nekolim terang-terangan akan masuk. Dan kita akan
dirobek-robek. Sekali lagi Cak, relakan saya tenggelam. Asal jangan bangsa ini
dirobek-robek oleh Nekolim dan kaki tangannya.”
Akhirnya,
taqdir Soekarno sebagai seorang presiden pun berhenti pada tanggal 7-12 Maret
1967. Pada waktu itu sedang berlangsung Sidang Istimewa MPRS yang menghasilkan
sebuah Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/ 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan
Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Akhirnya, kekuasaan pemerintahan
negara dari Presiden Soekarno berangsur-angsur memudar mulai tanggal 22
Februari 1967, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Ketika
mengetahui Ketetapan MPRS itu, Presiden Soekarno sedang berada di Istana Bogor.
Presiden Soekarno hanya duduk termangu. Ada aura kekecewaan dalam wajahnya yang
sudah semakin menua itu. Hal tersebut diperkuat oleh Bambang Widjanarko dalam
bukunya “Sewindu
Dekat Bung Karno” yang menyebutkan,
Kelihatan
benar betapa terpukul hatinya saat itu. Lama ia duduk diam tanpa berkata
sepatah pun. Akhirnya ia menarik napas panjang dan berkata, “Aku telah berusaha
memberikan segala sesuatu yang kuanggap baik bagi nusa dan bangsa Indonesia.”
Cerita di atas adalah bukti bahwa Bung Karno tidak pernah berubah.
Dari awal kiprahnya dalam perjuangan hingga akhir perjuangannya, beliau tak
pernah takut. Bung karno tak pernah takut bila ditangkap atau dimusuhi Belanda,
Amerika dan bangsa-bangsa penjajah lainnya. Beliau juga tidak pernah takut bila
harus ditangkap dan ditahan di penjara demi sebuah kemerdekaan, beliau tidak
pernah takut ketika tiap hari harus berhadapan dengan ancaman dan teror-teror
dari pihak-pihak yang kurang menyukainya. Terakhir, bung Karno juga tidak
pernah takut bila jabatannya diambil. Beliau tidak takut bila jatuh miskin. Bahkan,
Bung Karno pun tersenyum ketika harus meninggalkan Istana Negara. Bung Karno
adalah salah satu figur pemimpin yang tidak pernah takut. Ia selalu tampil
dengan peforma seorang pemberani.