Jumat, 29 Desember 2006

Persahabatan Bung Karno dan Kennedy


Di awal sudah dijelaskan bahwa Bung Karno adalah figur presiden yang murah senyum, ramah dan juga bersahabat. Jadi jangan heran, bila Bung Karno memiliki relasi atau teman-teman yang sebagian besarnya merupakan tokoh internasional. Salah satu sahabat dari Bung Karno adalah J.F. Kennedy. Seperti yang sama-sama telah kita ketahui bahwa John Fitzgerald Kennedy pernah menjadi presiden Amerika untuk periode 20 Januari 1961–22 November 1963. Selama tahun-tahun penting tersebutlah, Kennedy menjalin sebuah persahabatan dengan Bung Karno. Sebenarnya, Kennedy sangat ingin bisa bermain ke Indonesia untuk menemui Bung Karno, namun sayangnya, ajal terlebih dahulu menjemputnya. Lalu bagaimana kedekatan tersebut bisa terjadi?. 

Awal Persahabatan Bung Karno Dengan Kennedy

Persahabatan kedua presiden terhebat sepanjang zaman masa itu berawal dari sebuah sebuah serangan udara dengan tembakan dari senjata Canon Caliber 23 mm dari Jet MiG-17 terhadap istana negara. Serangan itu dilakukan oleh seorang anggota CIA yang bernama Allen Pope.
Pada serangan yang sungguh tidak manusiawi tersebut, akhirnya Allen Pope pun tertembak dan jatuh di pulau Morotai. Presiden Amerika saat itu D. Dwight Eisenhower atau Ike John akhirnya kelimpungan, karena dengan tertangkapnya pilot tersebut, maka kedok AS pun terbuka. Ternyata, Amerika Serikat dan CIA memiliki peran penting di balik pemberontakan separatisme di Indonesia.
Tentu saja, peristiwa tertangkapnya Allen Pope adalah tamparan bagi Amerika. Sejak saat itu, Amerika Serikat seringkali melakukan negosiasi dengan Indonesia yang intinya adalah Amerika Serikat meminta agar Allan Pope dibebaskan. Namun sayangnya, tawar menawar tersebut tidak menemukan titik terang. Bung Karno bersikeras untuk tidak menerima tawaran Ike John. Pada bulan Juni 1960 pun, Ike John secara resmi mengundang Bung Karno ke Amerika Serikat, tentunya untuk membahas pembebasan Allan Pope. Usaha tersebut ternyata masih juga berlum berhasil.
Bung Karno memang bukanlah orang yang mau didekte atau diatur-atur. Namun sikapnya tersebut melunak ketika Amerika dipimpin oleh J.F. Kennedy. Ia mampu merangkul Bung Karno. Bahkan dalam suatu kesempatan, Bung Karno sempat berkata, “ Kennedy adalah presiden Amerika Serikat yang mau mengerti saya.”
Setelah melalui pendekatan secara batin, Kennedy pun paham bahwa Indonesia sangat membutuhkan seperangkat alat perang untuk mengambil Irian Barat. Itulah sebabnya, mengapa Kennedy mengajak Bung Karno untuk mengunjungi pabrik pesawat Lockheed di Burbank, California. Di tempat itulah, Kennedy memberikan 10 pesawat Hercules tipe B terdiri dari 8 kargo dan 2 tanker kepada Bung Karno.
Bung Karno pun memanfaatkan pemberian Kennedy tersebut untuk memperkuat armada dalam merebut kembali Irian Barat. Pemberian Kennedy tidak berhenti sampai di situ saja, ia juga mencukupi persedian pangan Indonesia selama perang memperjuangkan Irian Barat dengan memberikan 37.000 ton beras dan ratusan senjata yang lengkap.
Namun sayangnya, hubungan persahabatan tersebut kandas di tengah jalan setelah Kennedy terbunuh  pada 22 November 1963. Kennedy terbunuh saat sedang berada di Dallas. Saat itu, Kennedy tewas seketika karena dya peluru bersarang di leher dan kepalanya. Tentu saja awan mendung kesedihan bergelantungan di Amerika Serikat saat itu. Mereka benar-benar merasa kehilangan figur pemimpin yang selama ini sangat berjasa bagi Amerika Serikat.

Fakta dibalik tewasnya JFK dan lengsernya Bung Karno:
Kronologi tewasnya JF Kennedy

Ada banyak dugaan mengenai terbunuhnya Kennedy, namun salah satu alasan terkuat adalah sebuah konspirasi yang dilakukan oleh Israel. Sebelum meninggal, Kennedy sempat menekan Perdana Menteri Israel pada saat itu yang bernama David Ben Gurion mengenai nuklir. Pendapat tersebut disampaikan oleh Moderchai Vanunu di dalam surat kabar mingguan London berbahasa Arab Al-Hayatt.
Moderchai Vanunu adalah seorang mantan teknisi pada reaktor nuklir Israel di Dimona, selatan Negev. Ia dipenjara setelah ditangkap Mossad pada 1986 karena membocorkan rahasia nuklir Dimona kepada harian Inggris Sunday Times

Hubungan Antara Kematian Kennedy Dengan Lengsernya Presiden Soekarno

Setelah Presiden John F. Kennedy meninggal dunia, Amerika Serikat dengan Presiden barunya, segera menghentikan bantuan kepada Indonesia. Tidak hanya itu saja, mereka justru membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Puncak usaha Amerika Serikat untuk meruntuhkan Bung Karno adalah dengan usaha kudeta yang muncul pada bulan November 1956.
Seorang deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha untuk menundukkan Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun akhirnya usaha pun tersebut bisa digagalkan. Sementara itu, di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah militer berupaya saling mengambil-alih singgasana kekuasaan, namun semuanya juga gagal berantakan. Cara kotor seperti itulah yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk mengganggu ketenangan Bung Karno. Berkat bantuan para perwira yang masih menunjukkan kesetiaannya, Sang Presiden pun bisa mengatasi situasi tersebut. Meskipun demikian, Amerika Serikat pun tidak gentar dan tidak putus semangat untuk memporak porandakan kekuasaan Bung Karno. 
Meskipun demikian, usaha Amerika Serikat cukup membuat Bung Karno kerepotan. Terlebih ketika sektor konstelasi politik dalam negeri Indonesia yang menjadi tidak stabil. Dibantu para perwira dalam negeri, Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan politik dalam negeri. Namun sayangnya, kondisi tersebut tidak berubah sedikit pun, tapi malah cenderung semakin rumit. Ditekan berbagai macam permasalahan di Indonesia dan ditambah faktor kesehatannya yang memburuk, membuat Bung Karno tidak dapat bertahan lagi. Akhirnya, pada 21 Juni 1970 Soekarno pun menghembuskan nafas terakhir.


Selasa, 26 Desember 2006

Eisenhower!, I Don’t Care!


Meninggalnya Muammar Qaddafi sebagai wujud sikapnya yang anti Amerika merupakan pukulan terberat bagi negara-negara Islam di dunia. Muammar Qaddafi yang dianggap sebagai salah satu ikon anti America tersebut kini telah tiada. Namun, tahukah Anda bahwa sebelum Muammar Qaddafi, Indonesia juga punya legend hero yang juga mempertahankan sikapnya yang anti Amerika?, pahlawan tersebut adalah Soekarno. Bung Karno merupakan salah satu tokoh yang benar-benar tidak mau tunduk terhadap negara-negara kapitalis seperti Amerika, Inggris dan sebagainya.
Sikap Bung Karno yang tegas tersebut tentu saja membuat Amerika Serikat kalang kabut dan merasa tidak nyaman. Bangsa Amerika selalu beranggapan bahwa bangsa tersebut adalah bangsa adikuasa, bangsa yang paling ditakuti. Namun, tidak untuk Soekarno. Presiden pertama Indonesia tersebut sama sekali tidak takut terhadap gertakan-gertakan yang diberikan oleh Amerika. Itulah yang konon membuat hubungan Indonesia dengan Amerika tidak pernah harmonis.
Sikap keras kepala Bung Karno yang anti Amerika merupakan salah satu contoh sifatnya yang anti kapitalis dan anti liberalis. Bung Karno berhasil menunjukkan karakteristik kepribadiannya yang nasionalis, bahkan bisa dibilang ultra nasionalis. Konon, sifat nasionalis Bung Karno inilah yang dijadikan motivasi oleh seorang Muammar Qaddafi yang juga secara keras menyebut dirinya sebagai “Anti Amerika.”
Salah satu contoh hubungan Indonesia – Amerika yang tidak harmonis adalah ketika Amerika dipimpin oleh Dwight D. Eisenhower. Hal itu terlihat ketika Eisenhower mengundang Bung Karno namun Eisenhower justru tidak menyambutnya di bandara. Lalu, apa reaksi Bung Karno terhadap sifat acuh presiden Amerika tersebut?,
Bung Karno hanya bisa mengucapkan sepatah kata, “Baiklah”. Namun ternyata, sifat acuh Eisenhower tidak hanya sampai di situ saja. Setibanya Bung Karno di Gedung Putih pun, Eisenhower tidak memperlihatkan wajahnya. Sekali lagi, reaksi Bung Karno saat itu hanya terwakili dengan mengatakan, “Baiklah.”
Puncak kemarahan Bung Karno adalah ketika beliau harus menunggu kedatangan Eisenhower di ruang tunggu. Namun sayangnya, Bung Karno tidak bisa menunggu lama lagi, hingga ia berkata “Keterlaluan!”. Setelah menunggu Eisenhower lebih dari satu jam, maka Bung Karno segera memutuskan untuk pergi. Dalam keadaan marah, beliau berkata, “Apakah saya harus meunggu lebih lama lagi? Oleh karena, kalau harus begitu, saya akan berangkat sekarang juga!”
Setelah kedatangan Eisenhower, presiden tersebut ternyata tidak segera meminta maaf. Dia malah berjalan tanpa rasa bersalah sama sekali. Benar-benar seseorang pemimpin yang tidak patut dicontoh. Ketika mengiringi Bung Karno, Eisenhower pun hanya berjalan begitu saja, tanpa basa-basi dan tanpa permintaan maaf. Wow, seperti itukah sikap seorang pemimpin negara adikuasa terhadap para tamu kenegaraan?.
Sikap dingin Eisenhower tidak hanya terjadi sekali itu saja. Bahkan ketika Itu kali pertama Bung Karno merasakan penghinaan Eisenhower. Rupanya tidak berhenti di situ. Ada peristiwa kedua, yang dianggap Bung Karno merupakan penghinaan, yaitu ketika Eisenhower mengunjungi Manila, Filipina, namun Eisenhower menolak untuk mengunjungi Indonesia. Kepada Cindy Adams, Bung Karno berkata, “Boleh dikata dia sudah berada di tepi pagar rumahku, dia menolak mengunjungi Indonesia,”

Jumat, 22 Desember 2006

Aku Ini Manusia Tahan Banting

Meskipun menjadi seorang presiden, meskipun Soekarno adalah orang nomor satu di Indonesia, Bung Karno masih manusia biasa. Bung Karno juga bisa merasakan kebahagiaan, kesedihan dan sebagainya. Bung Karno pun juga pernah menangis seperti manusia pada umumnya.
Dalam buku Menggali Api Pancasila, Bung Karno menyatakan bahwa, “Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.” Dalam ungkapan tersebut, tercermin sebuah kejujuran. Walaupun Soekarno adalah seorang presiden, seorang orator dan seorang penulis yang berbakat, namun Soekarno masih sangat membutuhkan dukungan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Perlu diketahui, bahwa Soekarno adalah sosok orang yang tidak tahan bila dilanda kesepian. Bung Karno tidak suka bila berada di sebuah tempat yang tertutup. Sikap Bung Karno yang sangat membutuhkan dukungan orang-orang di sekitarnya, tercermin dari pidato dan tulisannya.
Soekarno Adalah Pribadi yang kesepian
Menjelang akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering dilanda kesepian. Tak jarang ia selalu menghabiskan malam harinya untuk menelfon sahabat-sahabatnya. Kenyataan tersebut tertulis dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, ia berkata.
“Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.’… Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.” (Adams, 2000:3)
Dalam buku tersebut, beliau juga menyatakan bahwa “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.” (Adams, 2000:14)
Rasa kesepiannya juga bisa kita lihat ketika beliau berada di dalam penjara Sukamiskin. Selain disiksa oleh hawa dingin yang menusuk sampai persendian, Bung Karno juga disiksa secara batin karena terpisah dari teman-teman seperjuangannya. Saat itu, Bung Karno tidak bisa merasakan apa-apa, kecuali himpitan dinding-dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu. Hal tersebut juga tertuang di dalam buku autobigrafinya, seperti yang tertulis di dalam kutipan berikut ini.
“Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati. Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal.” (Adams, 2000:135)
Banyak praktisi sejarah bahwa Bung Karno adalah figur yang tahan banting. Di masa kecilnya ia merasakan penderitaan, di masa tuanya pun ia tidak jauh-jauh dari penderitaan. Soekarno kecil adalah seorang anak laki-laki yang hanya bisa bermimpi. Ia tidak bisa menikmati benda-benda yang diidamkannya.
Ketika anak-anak seusianya bisa merasakan nikmatnya makanan enak, Bung Karno hanya bisa melihatnya dan bermimpi akan merasakan makanan tersebut suatu hari nanti. Sekali lagi, Bung Karno hanya bisa menangis melihat ketidak berdayaannya tersebut. Siksaan batin lainnya adalah ketika Soekarno kecil berada di dalam sekolah, ia harus menahan dirinya dari ejekkan dan hinaan anak-anak Belanda yang memang memiliki kegemaran suka meremehkan anak-anak pribumi.
Belum lagi pengalaman Soekarno ketika ia berusia lima tahun. Saat itu, Soekarno pernah berturut-turut menderita penyakit tifus, disentri, dan juga malaria. Pengalaman traumatis tersebutlah yang akhirnya membuat kedua orang tua Bung Karno sepakat untuk mengganti nama Bung Karno dari Kusno menjadi Karno. Namun siapa yang mengira bahwa nama Karno yang diberikan oleh sang ayah justru merupakan nama pejuang besar beberapa tahun kemudian.
Sederetan pengalaman pahit tersebut sangat membekas kuat di dalam ingatan Soekarno. Bung Karno menganggap bahwa kebahagiaan di hari tuanya adalah kompensasi dari masa lalunya yang dirampas kemiskinan (Adams, 2000). Pernyataan tersebut seakan-akan menjelaskan bahwa ada semacam dendam terhadap kemiskinan dan ketidakberdayaan di dalam dirinya. Dendam tersebutlah yang kemudian menggerakkan jiwa, raga dan pikiran serta sebagian besar waktunya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan belajar yang tinggi.

Jumat, 15 Desember 2006

From Jakarta To Jogjakarta


Ternyata filosofi hijrah tidak hanya terjadi pada zaman Nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wassalam. Bung Karno pun sempat mengambil filosofi tersebut. Terlebih ketika beliau merasa berada di posisi yang tidak aman. Lalu, kemana Bung Karno hijrah atau berpindah pada saat itu?.
Tidak ada yang menduga bahwa Bung Karno akan memilih kota Jogyakarta sebagai tujuan hijrahnya. Bung Karno merasa, bahwa kota Yogyakarta adalah pilihan tempat yang tepat dan bisa menjamin keamanan baginya, keluarga dan tentu saja rakyat Indonesia. Perpindahan pemerintahan dari Jakarta menuju Jogjakarta ini terjadi setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Saat itu, Belanda melakukan serangkaian ancaman dan tentu saja sangat mengusik kehidupan Bung Karno beserta keluarganya. Di saat-saat genting seperti itulah, Bung Karno menjadikan Jogjakarta sebagai pusat pemerintahan sementara, hingga suasana menjadi aman dan terkendali lagi.
Sebelumnya, Bung Karno beserta keluarga tinggal di keluarga Mualif Nasution, Sofyan Tanjung dan beberapa relasi Bung Karno lainnya. Tentu saja hal tersebut dilakukan untuk menghindari tindakan Belanda yang bisa saja merugikan dan mengancam nyawa Bung Karno beserta keluarganya.
Suasana mencekam kembali menghantui kehidupan Bung Karno pada tanggal 30 Desember 1945. Sepanjang malam, selalu terdengar dentum suara tembakan di sekitar kediaman Bung Karno, Bung Hatta dan juga Bung Sjahrir. Teror yang dilakukan oleh Belanda tidak hanya terjadi pada malam hingga dini hari, namun sepanjang siang pun Belanda tetap melancarkan aksi-aksi gilanya untuk mengusik Bung Karno beserta teman-temannya.
Selanjutnya, pada tanggal 3 Januari 1946, sekitar pukul 18.00, Bung Karno, Bung Hatta, beserta rombongan bertolak dari Jakarta menuju Jogyakarta dengan menggunakan kereta api luar biasa (KLB). Di dalam kereta api tersebut, juga turut diangkut dua buah mobil kepresidenan.
Suasana mencekam pun menyelimuti keberangkatan Bung Karno dan kawan-kawan ke Jogyakarta. Mereka sengaja tidak menyalakan lampu KLB, sehingga Belanda akan mengira bahwa KLB tersebut dalam keadaan kosong. Akhirnya, rombongan tersebut sampai juga di stasiun Manggarai. Di stasiun Manggarai ini, ternyata suasana belum juga aman. Bung Karno beserta teman-temannya masih melihat beberapa serdadu Belanda yang bersiap-siap dengan senapan laras panjangnya. Perlahan-lahan, kereta api pun meninggalkan stasiun Manggarai. 
Sesampainya di Stasiun Jatinegara, keadaan pun kembali mencekam. Para serdadu Belanda mulai mencurigai keberadaan KLB yang gelap tersebut. Bung Karno dan teman-teman hanya bisa berdoa untuk memohon perlindungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun untungnya, para serdadu tersebut tidak sampai masuk ke dalam gerbong. Akhirnya, KLB tersebut segera melanjutkan perjalanannya menuju kota tujuan mereka, yaitu Yogyakarta.
Pada tanggal 4 Januari 1946, rombongan Bung Karno pun sampai juga di Stasiun Tugu Jogyakarta. Setelah itu, mereka segera menuju ke Pura Pakualaman untuk menemui Paduka Sri Paku Alam. Bung Karno dan teman-teman pun istirahat sebentar sambil menunggu abdi dalem Sri Paku Alam yang membersihkan bekas rumah gubernur Belanda yang terletak tepat di depan Benteng Vredenburg. Setelah tempat tersebut selesai dibersihkan, Bung Karno beserta rekan pun segera menempatinya. Setelah kondisi cukup membaik, Bung Karno berpidato di RRI Jogyakarta untuk mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Pemerintah Republik Indonesia sejak saat itu dipindahkan ke Jogyakarta.