“Habis manis sepah dibuang”, mungkin pepatah tersebut pantas
untuk diterapkan pada sejarah perjuangan mantan Presiden Indonesia. Bung Karno,
sebuah nama yang memang indentik dengan kontroversial tersebut sudah banyak
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi negeri kita ini. Bung Karno-lah,
sosok yang tak pernah berhenti mengumandangkan gaung nasionalisme dan cinta
kepada tanah air. Ia jugalah yang berhasil mengeluarkan kita dari tirani
kekejaman penjajah. Bung Karno lah yang selalu memperhatikan setiap aspek dari
kehidupan rakyatnya, baik itu dari segi pendidikan, keamanan maupun
kesejahteraan ekonomi. Puncak pengorbanan Bung Karno adalah pada 17 Agustus
1945, sebuah momen di mana Bung Karno
sudah berhasil meyakinkan ke semua negara bahwa Indonesia telah merdeka dan
tidak mau dijajah lagi.
Sebagai generasi muda, tentu kita tak boleh lupa akan jasa-jasa
serta perjuangan Ir. Soekarno bersama teman-teman seperjuangannya pada masa
penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia. Kala itu, Bung Karno rela keluar
masuk penjara demi mendapatkan sebuah kemerdekaan untuk Indonesia dan akhirnya
keinginannya tersebut tercapai juga.
Namun sayangnya, perjuangan Bung Karno yang tulus itu harus
ternodai oleh yang namanya kekuasaan. Ya, sebuah jabatan “Presiden” telah membuat
orang gelap mata sehingga bisa melakukan kudeta atau menjatuhkan Bung Karno
dari tahta kepresidenannya. Salah satu orang yang sering disebut sebagai pihak
yang juga menghendaki kursi kepemimpinan di negeri ini adalah Soeharto. Dia lah
yang selama ini selalu dituding sebagai orang yang ingin melempar Soekarno dari
jabatannya sebagai seorang presiden.
Banyak sekali peristiwa memilukan yang menandai jatuhnya
kepemimpinan Soekarno, salah satu di antaranya adalah kasus Supersemar dan
G30S. melalui kedua perisiwa tersebut, rakyat nyaris kehilangan kepercayaannya
terhadap kepemimpinan Soekarno. Sedangkan persitiwa terbesar yang membuat
Soekarno terdepak dari istana negara adalah G30S.
Pada tahun1968, Soeharto resmi diangkat menjadi Presiden RI
ke-2 dan Soekarno harus segera angkat kaki dari Istana Bogor. Tahukah Anda
bahwa untuk berkemas-kemas, Soekarno hanya diberi waktu beberapa jam saja. Bung
Karno diusir secara kasar dari istana tanpa sempat membawa barang-barangnya.
Setelah keluar dari Istana Bogor, Soekarno yang saat itu ditemani oleh Hartini
pun segera pindah rumah peristirahatan di Batu Tulis Bogor. Namun sayangnya,
peristiwa pengusiran tersebut ternyata berdampak serius bagi Soekarno. Akhirnya
beliau sering sakit-sakitan. Ketika Soekarno jatuh sakit, salah satu anaknya
meminta izin kepada Soeharto untuk memindahkan bapaknya yang sudah sakit ke
Jakarta.
Soeharto pun menyetuhui permintaan tersebut. Singkat cerita,
akhirnya Soekarno pun segera dipindahkan ke Jakarta dan ditempatkan di Wisma
Yaso (tempat tinggal Ratna Sari Dewi) dan hari itu, Bung Karno pun menjadi
tahanan rumah. Kehidupan mantan orang nomor satu di Indonesia pun tak ubahnya
seperti seekor burung dalam sangkar. Bung Karno tidak boleh keluar rumah, dan
tidak boleh menerima tamu kecuali anak – anaknya serta Ibu Hartini selaku
istri.
Hal tersebut tentu membuat kondisi Bung Karno semakin
memburuk. Akhirnya, beliau segera dilarikan ke RSPAD untuk mendapatkan
perawatan yang lebih intensif.
Itulah, cerita yang sangat memilukan dari seorang pahlawan.
Jasanya yang begitu besar tidak seimbang dengan hari tuanya.
Masa tuanya yang sangat memperihatinkan adalah bukti bahwa pemerintah
tidak menghargai perjuangan Soekarno yang tak pernah putus dalam berjuang demi kemerdekaan
Indonesia. Namun yang terjadi justru berlawanan, yaitu pemerintah yang berusaha
keras untuk menghilangkan ingatan masyarakat terhadap jasa-jasa Soekarno dan
lebih mengekspose Soeharto.
Sebuah pemandangan yang sangat memilukan akan terlihat lagi
ketika kita mengunjungi makam Bung Karno yang terpisah dari isteri-isteri dan
orang-orang yang disayanginya. Sementara makam Soeharto berada dalam satu
komplek pemakaman keluarga yang mewah. Ketika proses pemakamannya pun juga
sangat berbeda jauh. Upacara pemakaman Soeharto dipimpin langsung oleh Bapak
Presiden yang saat itu sedang menjabat, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono.
Sementara, itu dalam upacara pemakaman Bung Karno tidak dipimpin oleh seorang
presiden, melainkan Panglima ABRI Letjen Maraden Panggabean.
Ada baiknya bila mulai detik ini kita biasakan untuk berdoa
agar suatu hari nanti akan ada seorang presiden yang kharismatik, memiliki
nasionalisme tinggi dan pemberani seperti Bung Karno.