Selasa, 25 Juli 2006

Soekarno, Presiden Yang Terbuang


“Habis manis sepah dibuang”, mungkin pepatah tersebut pantas untuk diterapkan pada sejarah perjuangan mantan Presiden Indonesia. Bung Karno, sebuah nama yang memang indentik dengan kontroversial tersebut sudah banyak memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi negeri kita ini. Bung Karno-lah, sosok yang tak pernah berhenti mengumandangkan gaung nasionalisme dan cinta kepada tanah air. Ia jugalah yang berhasil mengeluarkan kita dari tirani kekejaman penjajah. Bung Karno lah yang selalu memperhatikan setiap aspek dari kehidupan rakyatnya, baik itu dari segi pendidikan, keamanan maupun kesejahteraan ekonomi. Puncak pengorbanan Bung Karno adalah pada 17 Agustus 1945,  sebuah momen di mana Bung Karno sudah berhasil meyakinkan ke semua negara bahwa Indonesia telah merdeka dan tidak mau dijajah lagi.
Sebagai generasi muda, tentu kita tak boleh lupa akan jasa-jasa serta perjuangan Ir. Soekarno bersama teman-teman seperjuangannya pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia. Kala itu, Bung Karno rela keluar masuk penjara demi mendapatkan sebuah kemerdekaan untuk Indonesia dan akhirnya keinginannya tersebut tercapai juga.
Namun sayangnya, perjuangan Bung Karno yang tulus itu harus ternodai oleh yang namanya kekuasaan. Ya, sebuah jabatan “Presiden” telah membuat orang gelap mata sehingga bisa melakukan kudeta atau menjatuhkan Bung Karno dari tahta kepresidenannya. Salah satu orang yang sering disebut sebagai pihak yang juga menghendaki kursi kepemimpinan di negeri ini adalah Soeharto. Dia lah yang selama ini selalu dituding sebagai orang yang ingin melempar Soekarno dari jabatannya sebagai seorang presiden.
Banyak sekali peristiwa memilukan yang menandai jatuhnya kepemimpinan Soekarno, salah satu di antaranya adalah kasus Supersemar dan G30S. melalui kedua perisiwa tersebut, rakyat nyaris kehilangan kepercayaannya terhadap kepemimpinan Soekarno. Sedangkan persitiwa terbesar yang membuat Soekarno terdepak dari istana negara adalah G30S.
Pada tahun1968, Soeharto resmi diangkat menjadi Presiden RI ke-2 dan Soekarno harus segera angkat kaki dari Istana Bogor. Tahukah Anda bahwa untuk berkemas-kemas, Soekarno hanya diberi waktu beberapa jam saja. Bung Karno diusir secara kasar dari istana tanpa sempat membawa barang-barangnya. Setelah keluar dari Istana Bogor, Soekarno yang saat itu ditemani oleh Hartini pun segera pindah rumah peristirahatan di Batu Tulis Bogor. Namun sayangnya, peristiwa pengusiran tersebut ternyata berdampak serius bagi Soekarno. Akhirnya beliau sering sakit-sakitan. Ketika Soekarno jatuh sakit, salah satu anaknya meminta izin kepada Soeharto untuk memindahkan bapaknya yang sudah sakit ke Jakarta.
Soeharto pun menyetuhui permintaan tersebut. Singkat cerita, akhirnya Soekarno pun segera dipindahkan ke Jakarta dan ditempatkan di Wisma Yaso (tempat tinggal Ratna Sari Dewi) dan hari itu, Bung Karno pun menjadi tahanan rumah. Kehidupan mantan orang nomor satu di Indonesia pun tak ubahnya seperti seekor burung dalam sangkar. Bung Karno tidak boleh keluar rumah, dan tidak boleh menerima tamu kecuali anak – anaknya serta Ibu Hartini selaku istri.
Hal tersebut tentu membuat kondisi Bung Karno semakin memburuk. Akhirnya, beliau segera dilarikan ke RSPAD untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif.
Itulah, cerita yang sangat memilukan dari seorang pahlawan. Jasanya yang begitu besar tidak seimbang dengan hari tuanya.
Masa tuanya yang sangat memperihatinkan adalah bukti bahwa pemerintah tidak menghargai perjuangan Soekarno yang tak pernah putus dalam berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Namun yang terjadi justru berlawanan, yaitu pemerintah yang berusaha keras untuk menghilangkan ingatan masyarakat terhadap jasa-jasa Soekarno dan lebih mengekspose Soeharto.
Sebuah pemandangan yang sangat memilukan akan terlihat lagi ketika kita mengunjungi makam Bung Karno yang terpisah dari isteri-isteri dan orang-orang yang disayanginya. Sementara makam Soeharto berada dalam satu komplek pemakaman keluarga yang mewah. Ketika proses pemakamannya pun juga sangat berbeda jauh. Upacara pemakaman Soeharto dipimpin langsung oleh Bapak Presiden yang saat itu sedang menjabat, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara, itu dalam upacara pemakaman Bung Karno tidak dipimpin oleh seorang presiden, melainkan Panglima ABRI Letjen Maraden Panggabean.
Ada baiknya bila mulai detik ini kita biasakan untuk berdoa agar suatu hari nanti akan ada seorang presiden yang kharismatik, memiliki nasionalisme tinggi dan pemberani seperti Bung Karno.

Selasa, 11 Juli 2006

Misteri Wafatnya Soekarno


Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno masih menyisakan misteri hingga detik ini. Banyak sekali keganjalan di balik meninggalnya Presiden Soekarno. Keganjalan tersebut bisa dilihat dalam perawatan penyakit, masalah pemakaman dan pembatasan keluarga Soekarno sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah selesai dan menjadi pergunjingan, kontroversi dan juga misteri. Ada beberapa keanehan dalam meninggalnya Bung Karno ini. Berikut adalah beberapa keanehan tersebut.
1.      Berkas yang Hilang (Sumber Sinar Harapan)
Keanehan pertama adalah hilangnya berkas-berkas tentang kesehatan Bung Karno yang telah disimpan rapih di kediaman Rachmawati Soekarnoputri, Jl. Jati Padang Raya No. 54 A, Pejaten, Jakarta Selatan. Buku tersebut berisikan tulisan tangan (catatan medis) Soekarno selama beliau sakit di Wisma Yaso, Jakarta.
Selain laporan tentang kesehatan Bung Karno, dalam berkas tersebut juga terdapat pula tujuh lembar kertas yang sudah terlihat tua dan warnanya pun sudah pudar sekali. Surat tersebut juga merupakan bukti riwayat penyakit Bung Karno. Adapun bentuk surat tersebut adalah surat resmi yang menggunakan kop bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi, Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Namun yang lebih mengagetkan lagi adalah nama pasien yang disamarkan. Saat itu, nama Soekarno tertulis “Taufan” yang merupakan nama dari salah satu putera Soekarno.
Bila kita hendak berbicara mengenai peristiwa bersejarah yang terjadi pada kisaran tahun 1965-1970, maka kita akan disudutkan dalam fakta yang bernama “ketidak jelasan”. Hal tersebut bisa disebabkan karena ada beberapa sejarah yang dipalsukan atau sengaja dibelokkan. Itulah yang menyebabkan para generasi sekarang bingung atau bahkan lupa tentang fakta sejarah yang sebenarnya. tersebut. Namun ketika semua mata tertuju di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sehubungan dengan sakitnya mantan Presiden Soeharto sejak 4 Januari 2008, rasa ingin tahu tentang kebenaran sejarah di masa lalu pun mucul lagi.
Fakta lainnya adalah pengakuan dari Rachmawati yang menjelaskan bahwa perawatan untuk almarhum ayahnya itu seperti perawatan untuk orang miskin. Bung Karno dirawat tidak seperti perawatan para preseiden atau mantan petinggi negara lainnya. Rachmawati hanya bisa menangis bila teringat kejadian memilukan di rumah sakit waktu itu.
Rachmawati memang tidak sanggup berkata apa-apa. Ia masih trauma bila mengingat kejadian waktu itu, karena Rachmawati lah yang paling sering menunggui ayahnya di rumah sakit. Tetapi sebuah artikel yang pernah dimuat SH pada 15 Mei 2006, menjelaskan secara lebih terperinci. Dalam surat kabar tersebut dijelaskan bahwa ada seorang perempuan yang  muncul di Kantor IDI di Jakarta, awal 1990-an. Kemudian, dijelaskan bahwa perempuan itu sangat ingin bertemu dengan Kartono Mohamad. Ketika ditanyai mengapa ia sangat ingin bertemu dengan Kartono, perempuan tersebut menjawab bahwa ia ingin menyerahkan beberapa bundel buku yang berisi tentang catatan para perawat jaga Soekarno.
Namun sayangnya, sebelum perempuan tersebut bisa bertemu dengan Kartono Muhammad, Kartono terlebih dulu bertemu dengan dokter Wu Jie Ping. Dokter tersebut adalah seorang dokter yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu menjelaskan kepada Kartono bahwa Soekarno hanya mengalami transient ischemic attack atau stroke ringan yang disebabkan oleh adanya penyempitan sesaat di pembuluh darah otak. Ia juga menambahkan bahwa Soekarno sama sekali tidak pernah mengalami koma seperti isu yang beredar. Dokter Wu berkata bahwa ia sempat kaget mendengar pemberitaan yang beredar di dunia bahwa Soekarno mengalami koma, itu sebabnya Dokter Wu menyempatkan untuk datang ke Indonesia.
2.      Soekarno Pernah Diperiksa Dokter Hewan
Setelah pulang ke Jakarta, Kartono pun segera bertemu dengan Mahar Mardjono, seorang dokter yang tahu banyak mengenai stroke. Ternyata, Kartono tak hanya bercerita tentang stroke kepada dokter Mardjono, tapi juga serangkaian peristiwa yang menurutnya adalah perbuatan sadis, yaitu dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Untuk memperkuat bukti dari peristiwa penelantaran tersebut, Kartono sengaja membawa bundel buku yang dibawa perempuan itu dan menunjukkannya kepada dokter Mardjono.
Namun seperti yang sudah dijelaskan di awal, bahwa sejarah masa lalu negeri ini penuh dengan rekayasa dan dengan mudah diputarbalikkan. Sehingga peristiwa penelantaran Bung Karno di rumah sakit, tidak pernah diangkat di media massa. Bundel buku itu hanya teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun.
Namun ketika krisis moneter melanda Indonesia, Kartono pun teringat bundel buku tersebut. Ia segera menuju ke RSPAD, dan ingin bertanya kepada keempat perawat yang dulu sempat merawat Bung Karno, yaitu Dinah, Dasih, J. Sumiati, dan Masnetty. Kartono ingin meuruskan sejarah yang selama ini memang sudah dibelokkan sesuka hati oleh kepemerintahan Soeharto. Namun sayangnya, usaha Kartono untuk menemukan keempat perawat tersebut tidaklah mudah. Seorang di antara mereka meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun. Tentu saja, semua itu membuat Kartono kehilangan jejak.
Kartono pun tidak mau putus asa dalam mencari kebenaran. Akhirnya Kartono pun tahu tentang sebuah fakta yang membuatnya terharu. Sebelum dibawa ke Jakarta, ternyata Soekarno pernah ditangani oleh dokter Soerojo yang notabenenya adalah seorang dokter hewan. Hal tersebut terlihat dari berkas berkop Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi.
Kartono akhirnya semakin membenarkan pernyataan Rachmawati tentang penelantaran ayahnya tersebut ketika mengetahui bahwa RSPAD tidak pernah melakukan cuci darah terhadap Soekarno dengan alasan kurangnya alat untuk melakukan cuci darah. Tidak hanya itu saja, obat-obatan yang diberikan kepada Soekarno pun tidak ada yang bisa menyembuhkan penyakit yang saat itu diderita oleh Bung Karno, karena beliau hanya mendapatkan Vitamin B12, B kompleks, royal jelly dan Duvadillan, obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer.
Rachmawati juga bercerita tentang satu keanehan lagi kepada Kartono, yaitu mengenai tekanan darah tinggi yang juga disebutkan dalam catatan medis. Menurut Rachmawati, setiap kali menjenguk sang ayah dan mencicipi masakan yang disediakan oleh RSPAD, Rachmawati selalu merasakan bahwa makanan tersebut terlalu asin. Rachmawati sempat takut untuk menyuapi Bung Karno karena ia takut akan efek dari makanan asin tersebut untuk kesehatan Bung Karno.


Rabu, 05 Juli 2006

Detik-Detik Wafatnya Sang Proklamator


Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. RSPAD Gatot Soebroto dipenuhi oleh tentara, termasuk ruangan intensive care. Serdadu berseragam dan lengkap dengan senjata sudah bersiaga penuh sejak hari masih pagi. Mereka berjajar dan berbaris, ada juga yang berjaga-jaga di beberapa titik strategis di dalam rumah sakit tersebut. Suasana semakin terlihat mencekam ketika terdapat beberapa petugas keamanan yang menyamar sebagai preman berjalan hilir mudik di koridor rumah sakit hingga ke area parkir.
Suasana yang mencekam dan mendebarkan memang sudah mulai terasa sejak pagi. Kabar terakhir menyebutkan bahwa mantan pemimpin negeri ini, yaitu Presiden Soekarno dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang semakin memburuk. Soekarno terpaksa dilarikan dari rumah tahanannya di Wisma Yaso karena penyakitnya yang semakin parah.
Lelaki yang dulunya bergelar “Singa Podium” tersebut tergolek lemas tak berdaya. Matanya sayu dan terus menerus tertutup. Suhu badannya yang tinggi pun tak kunjung turun juga. Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Orang yang dulu pemberani itu, terlihat begitu lemah. Bung Karno yang dulu selalu dikelilingi wanita tersebut, saat itu hanya dikelilingi oleh beberapa orang yang terus memberinya semangat hidup dan doa. Dari sorot matanya terlihat jelas menurunnya vitalitas seorang Soekarno. Orang yang dulu selalu bisa menghipnotis dan membakar semangat banyak orang, sekarang pun tidak bisa menatap atap langit kamar rumah sakit itu sekalipun. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Wajah tampannya yang dihiasi gigi gingsul itu telah membengkak. Hal tersebut adalah pertanda bahwa racun telah menyebar ke beberapa bagian dalam tubuhnya. Wajahnya tidak hanya bengkak, tapi penuh dengan lubang-lubang kecil seperti pada permukaan bulan. Wajahnya benar-benar bisa membuktikan bahwa Soekarno sedang berusaha untuk menahan sakit
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu
Setelah ruangan tempat Bung Karno disterilkan, dua hari kemudian, Megawati yang merupakan anak sulungnya dari Fatmawati pun diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Mega pun hanya bisa meneteskan air matanya ketika melihat kondisi ayahnya yang sangat memperihatinkan. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Perlahan-lahan, Megawati pun mendekatkan bibirnya ke telinga sang ayah sambil berkata,
“Pak, Pak, ini Ega …”
Namun perkataan tersebut tidak juga mendapat respon, keadaan waktu itu tetap sunyi senyap. Kedua mata Bung Karno memang tertutup, namun bibirnya seperti sedang ingin mengatakan sesuatu. Sepertinya, jari jemarinya ingin menulis. Namun sayang, jangankan untuk menulis, untuk menggerakkan jemari saja, Bung Karno tak bisa.
“Bapak enggak kuat menahan sakitnya ya, biar Ega yang gantiin sakitnya Bapak….” Air mata pun kembali menetes dari mata sang puteri tercinta.
Megawati yang tak kuasa saat harus diperlihatkan dengan pemandangan seperti itu pun akhirnya tumbang juga. Ia pingsan dan segera dipapah keluar oleh beberapa petugas Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
Pada malam harinya ketahanan tubuh Soekarno pun semakin melemah. Beliau pun comma, dan segera mendapatkan pertolongan serius dari tim medis. Esok harinya, Bung Hatta pun diijinkan menjenguk sahabat karibnya itu. Air mata Bung Hatta pun menetes perlahan.
Berutunglah Bung Hatta karena masih bisa melihat senyum kecil teman seperjuangannya dulu. Bung Hatta pun segera menghapus sisa air mata yang menempel di pipinya. Soekarno pun membuka mata dan dengan lirih beliau bertanya,
“Hatta….apakah kau di sini?”
Sambil mengangguk perlahan, Bung Hatta pun menjawab, “Yah, aku di sini. Bagaimana keadaanmu, No?”
Bung Hatta pun menjabat tangan sabat karibnya itu. Saat itu, Bung Hatta merasakan adanya aliran hawa panas yang menjalar melalui jemarinya. Dalam keadaan lemah, Bung Karno pun berusaha sekuat mungkin untuk mengumpulkan kekuatan dalam dirinya. Beliau tersenyum kecil dan bertanya dalam bahasa Belanda, “Hoe gaat het met jou…? (Bagaimana keadaanmu?)”
Bung Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya pun semakin erat memegang jemari Bung Karno. Tiba-tiba saja, pecahlah pertahanan Bung Karno. Beliau menangis cukup keras. Beliau terisak-isak seperti seseorang yang benar-benar kesakitan. Air matanya pun tumpah dengan derasnya.
Bung Hatta yang melihatnya pun tak kuasa menahan diri. Ia menangis dan sesekali mencium tangan lelaki tua yang dulu ia banggakan dan selalu ia puji itu. Bung Hatta tahu betul perasaan sahabatnya itu. Rasanya, Bung Hatta ingin membawa lari sahabatnya itu dan membawanya ke tempat yang lebih indah. Namun, gambaran kesedihan di waktu itu hanya bisa dilukiskan dengan isakan dua mantan orang terbesar di Indonesia, seperti dua anak lelaki yang kehilangan mainannya. Ajudan dan beberapa tentara yang berada di tempat itu pun terbawa suasana. Mereka sesekali menangis dan mengusap air matanya dengan sapu tangan.
Para ajudan itu juga melihat, bagaimana eratnya jabatan tangan antara dua orang yang telah lama terpisahkan itu. Bung Hatta pun kembali mencium jemari sahabatnya. Ia tahu betul penderitaan sahabatnya itu. Tiba-tiba saja, terlihat aura kemarahan dalam tatapan mata Bung Hatta. Ia terlihat marah sekali dengan sikap penguasa baru yang sudah tega berbuat dzalim terhadap orang yang pernah berjasa bagi Indonesia.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka. Sehari setelah pertemuan tersebut, kondisi Bung Karno pun semakin memburuk. Kondisi tubuh Bung Karno semakin melemah. Beberapa orang yang salah satunya Ratna Dewi Soekarno dan anaknya pun terlihat sedang duduk khusyuk memanjatkan doa bagi orang yang paling mereka cintai itu.
Pada hari Minggu pagi, 21 Juni 1970, datanglah Mardjono menemui keluarga Bung Karno. Mardjono adalah seorang dokter yang sudah lama merawat Bung Karno menyebutkan bahwa harapan Bung Karno sangat tipis.  Suasana saat itu pun mendadak menjadi suasana yang penuh dengan kecemasan.
Mardjono pun kembali masuk ke ruangan di mana Bung Karno selama ini dirawat intensif. Ia pun segera memeriksa denyut nadi Bung Karno. Dengan kekuatan penuh, Bung Karno pun berusaha memegang tangan Mardjono. Setelah tangan Mardjono terpegang, tiba-tiba saja Mardjono merasakan aliran hawa yang panas sekali dari tangan yang lemah itu. Tiba-tiba saja, tangan yang panas itu mendadak lemah tak berdaya. Saat itulah, Bung Karno menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tubuh Bung Karno pun tergolek lemas tak berdaya sedikitpun. Kehampaan pun terasa, suasana begitu mencekam. Terlebih setelah terdengar isak tangis keluarga besar Soekarno, termasuk tangis sang puteri, Megawati. Tak lama kemudian, Mardjono dan beberapa tim medis pun mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan bahwa Bapak Proklamator, Soekarno telah meninggal dunia.
Itulah saat-saat di mana dunia ini kehilangan orang terhebat, yang bahkan kehebatannya membuat dunia internasional turut mengagumi dan mengakuinya. Dialah Soekarno, sang pahlawan proklamator. Seorang presiden yang penuh dengan kontroversi.
Soekarno memang bukan manusia biasa. Semua sejarahwan pun sepakat mengakui pernyataan tersebut. Ia merupakan sosok yang sulit dicari dan tergantikan. “Selamat jalan Bung Karno, beristirahatlah dengan tenang. Jasamu yang begitu besar ini akan kami kenang dan perjuanganmu kan kami lanjutkan.” Ucap Mardjono, mengakhiri pernyataan resminya.

Selasa, 04 Juli 2006

Duka Isteri-Isteri Soekarno


Setelah wafatnya sang proklamator, kedukaan pun menyelimuti negeri ini. Namun tidak hanya itu saja, dunia internasional pun turut berduka. Berbagai macam ucapan bela sungkawa menghiasi media massa waktu itu. Ada juga beberapa tokoh dan pemimpin dunia yang menyempatkan diri bertandang ke Indonesia untuk menunjukkan rasa bela sungkawanya atas meninggalnya sang mantan presiden, Soekarno. Di luar istana, banyak sekali rakyat Indonesia yang turut berbela sungkawa. Sebagian dari mereka masih ada yang menangis, sepertinya mereka masih terpukul atas meninggalnya orang yang telah melepaskan mereka dari belenggu penjajahan. Mereka masih bersedih atas meninggalnya orang yang telah membawa mereka kepada kemerdekaan.
Kedukaan tidak hanya terjadi di luar istana, di dalam istana pun air mata kesedihan masih terlihat ada di beberapa pipi keluarga besar Soekarno, termasuk para isteri Bung Karno. Kedukaan bisa terlihat jelas di wajah Hartini, seorang wanita yang dengan setia menemani Bung Karno hingga akhir hayatnya. Matanya sembap karena terlalu lama menangis. Ada juga Ratnasari Dewi yang duduk bersimpuh sambil membawa anaknya yang belum pernah dilihat oleh Soekarno.
Inggit Ganarsih, wanita tua yang pernah dinikahi Bung Karno pun turut berduka. Air mata menghiasi wajahnya yang sudah senja. Bahkan, ia nyaris pingsan karena sedih mendengar berita meninggalnya orang yang pernah dicintainya. Namun, bu Wardoyo yang merupakan kakak kandung dari Bung Karno segera memapah tubuh tua Inggit. Pada saat upacara pemakaman Soekarno, Inggit mendapat perlakuan istimewa. Ia diperkenankan untuk mendekati peti Bung Karno. Inggit juga berkesempatan untuk membisikkan sesuatu ke telinga Bung Karno. Perlahan-lahan, Inggit mendekati peti jenazah Bung Karno. Kemudian, dengan lembut Inggit pun membisikkan, “Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun…” (Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan….)
Sementara itu, Fatmawati hanya bisa terdiam diri di rumahnya. Ia hanya bisa menangis sambil mengurung diri di kamarnya. Semenjak pernikahan Bung Karno dengan Hartini, Fatma sudah berjanji untuk tidak akan menginjakkan kakinya lagi di Wisma Yaso. Namun, ia sempat meminta kepada Soeharto untuk mengijinkan jenazah Soekarno dimakamkan di kediamannya, di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru. Namun saat itu, Soeharto segera menolak permintaan Fatmawati tersebut.
Lain Hartini, Inggit dan juga Fatma, lain pula ekspresi Ratnasari Dewi. Ia masih terpukul dengan kasus “dijatuhkannya” Soekarno oleh Soeharto. Belum lagi larangan dari tim penjaga rumah sakit ketika Ratna datang untuk menjenguk Bung Karno. Saat itu, para tentara dengan tegas mengusir Ratna yang sedang hamil tua. Di antara isteri-isteri Soekarno, memang Ratna-lah yang terkesan “vocal”. Ia pernah beradu mulut dengan ajudan Soeharto, bahkan dengan tegas Ratna pun mengkritik Soeharto melalui surat terbukanya pada 16 April 1970. Adapun isi suratnya adalah sebagai berikut;

“Tuan Soeharto, Bung Karno itu saya tahu benar-benar sangat mencintai Indonesi dan rakyatnya. Sebagai bukti bahwa meskipun ada lawannya yang berkali-kali menteror beliau, beliau pun masih mau memberikan pengampunan kalau yang bersangkutan itu mau mengakui kesalahannya. Dibanding dengan Bung Karno, maka ternyata di balik senyuman Tuan itu, Tuan mempunyai hati yang kejam. Tuan telah membiarkan rakyat, yaitu orang-orang PKI dibantai. Kalau saya boleh bertanya, ‘Apakah Tuan tidak mampu dan tidak mungkin mencegahnya dan melindungi mereka agar tidak terjadi pertumpahan darah?”