Kamis, 30 November 2006

Bung Karno di Kancah PBB


Selalu tampil penuh dengan percaya diri, itulah yang bisa kita gambarkan tentang figur presiden Soekarno ini. Beliau selalu tampil memukau dan seakan-akan memberikan kesan positif di mata siapa saja yang melihatnya. Tidak cuman penampilan fisiknya yang memiliki daya tarik kuat, namun presiden Soekarno juga memiliki kemampuan dalam berpidato. Kemampuan beliau dalam berpidato tersebut telah terbukti ketika beliau masih aktif dalam pergerakkan untuk memerdekakan Indonesia. Tidak bisa dilupakan ketika beliau mampu membakar semangat para pejuang dan pemuda dengan orasi atau pidatonya yang selalu berapi-api.
Ternyata kemahirannya dalam berpidato tersebut merupakan bakat alami yang tidak bisa luntur begitu saja, bahkan setelah beliau menjadi presiden pun, beliau masih bisa tampil memukau dengan pidato-pidatonya. Kemahiran beliau inilah yang membuat kagum beberapa negara di dunia, bukan hanya Asia saja tapi juga negara nomor satu, Amerika dan PBB pun juga sempat kewalahan ketika berhadapan dengan orasinya Bung Karno.
Bung Karno tampil memukau dengan baju kebesaran berwarna putih. Beliau tampil dengan disertai kopiah dan kacamata baca khasnya. Beliau tidak pernah mempedulikan protokoler Sidang Umum.
Sudah menjadi kebiasaan tiap kepala negara tampil sendiri saja, tapi kebiasaan itu tidak berlaku untuk Soekarno. Untuk pertama kalinya. beliau tampil memukau dengan mengajak ajudannya, Letkol (CPM) M. Sabur. Lima tahun berikutnya, mulai tanggal 1 Januari 1965, secara resmi Bung Karno menyatakan bahwa Indonesia keluar dari PBB. Bung Karno tidak setuju ketika Malaysia yang merupakan antek kolonialisme Inggris, dijadikan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-PBB. Setelah mendengar pernyataan dari Bung Karno tersebut, salah seorang Sekjen PBB yang bernama U Thanh menangis sedih. U Thanh tidak pernah menyangka bahwa Bung Karno akan kecewa dan marah seperti itu.
Bung Karno memang terkenal sebagai seorang presiden yang sering kecewa terhadap cara kerja DK-PBB. Hingga saat ini pun, kita bisa melihat bahwa kewenangan DK-PBB yang terlalu luas tersebut terlihat sangat kontroversial. Misalnya, ketika Amerika Serikat, Inggris dan Perancis bersama dengan Sekjen PBB Koffi Annan, memberikan hukuman yang tidak berperikemanusiaan kepada Irak. Sebenarnya, Bung Karno memang sudah lama sekali tidak menyukai struktur PBB yang didominasi oleh negara-negara barat. Sudah lama memang Bung Karno tidak menyukai struktur PBB yang didominasi negara-negara Barat, tanpa memperhitungkan representasi Dunia Ketiga yang sukses unjuk kekuatan dan kekompakan melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Itulah sebabnya mengapa Bung Karno selalu mengoreksi setiap sikap PBB yang dirasa menyimpang dari tujuan awal dibentuknya PBB tersebut. Tidak hanya itu saja, Bung Karno juga berusaha untuk terus memperjuangkan diterimanya Cina, yang waktu itu diisolasi Barat.
Kita menghendaki PBB yang kuat dan universal, serta dapat bertugas sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itulah, kami konsisten mendukung Cina,” kata Bung Karno. Pola pikir kreatif Bung Karno saat itu memang benar.
Pada waktu itu, Bung Karno memprediksikan bahwa suatu saat nanti Cina akan tumbuh menjadi negara maju yang juga berpengaruh dalam perkembangan dunia. Sekarang kita lihat saja, prediksi Bung Karno tersebut memang benar adanya. Para pakar ekonomi bahkan mematok, beberapa dekade lagi, Cina akan memimpin dunia.
Gebrakkan Bung Karno yang lainnya juga bisa kita lihat dalam pidato beliau yang berjudul To Build the World Anew. Dalam pidatonya tersebut, Bung Karno mengatakan “Adalah jelas, semua masalah besar di dunia kita ini saling berkaitan. Kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan senjata berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum berkembang,” ujar Sang Putra Fajar.
Salah satu ciri khas dari Bung Karno adalah bahwa di mana pun di dunia, Bung Karno tidak pernah lupa membawakan suara Dunia Ketiga dan aspirasi nasionalisme rakyatnya sendiri. Itulah yang membuat orang berpikir bahwa Bung Karno adalah pelopor perjuangan Dunia ketiga melalui Konrefensi Asia-Afrika atau KTT Gerakan Nonblok.
Selain tegas dalam berbicara, Bung Karno juga identik dengan sikapnya keras dan disiplin. Tahukah Anda bahwa, Bung Karno pernah memarahi seorang jenderal besar jago perang, Dwight Eisenhower, yang waktu itu menjadi Presiden AS dan sebagai tuan rumah yang terlambat keluar dari ruang kerjanya di Gedung Putih dalam kunjungan tahun 1956.

Selasa, 28 November 2006

Wanita Tuna Susila Dalam Perjuangan RI


Semangat nasionalisme dan rela berkorban tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang intelektual dan berada. Masyarakat normal dan rakyat jelata pun juga memiliki hak yang sama di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Salah satunya adalah peran serta pelacur atau wanita tuna susila. Partisipasi mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan RI mendapat acungan jempol dan apresiasi tinggi oleh Bung Karno saat itu. Bagaimana tidak?, sejarah mencatat ada sekitar 670 WTS dari kota Bandung yang turut berjuang melawan penjajahan.
Pelacur, meskipun kata-kata tersebut tidak enak didengar, namun Bung Karno menghormati mereka semua. Bahkan kepada Cindy Adams, beliau berkata bahwa ketika ia mendirikan PNI, tiba-tiba saja ada ratusan pelacur yang mendaftarkan diri untuk menjadi anggotanya. Dalam sebuah kesempatan, beliau memuji para pelacur tersebut karena memiliki keberanian yang patut untuk diacungi jempol. Bung Karno juga mengatakan, bahwa para WTS tersebut memiliki loyalitas dan nasionalisme yang tinggi. Mereka rela mengorbankan waktu dan tenaga mereka untuk kemerdekaan Republik Indonesia dan juga untuk kepentingan pergerakkan saat itu.
Saat itu, di dalam PNI sempat terjadi debat yang memanas antara Bung Karno dengan Ali Sastro Amidjojo perihal masuknya WTS di dalam organisasi PNI.
“Sangat memalukan!” Ali Sastroamidjojo pun menyampaikan ketidak setujuaannya dengan keputusan Bung Karno tersebut. “Kita merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal –kalau Bung Karno dapat memaafkan saya memakai nama itu. Ini sangat memalukan!” kecam Ali Sastro bertubi-tubi.
“Kenapa?” sergah Bung Karno, sambil menambahkan, “Mereka jadi orang revolusioner yang terbaik. Saya tidak mengerti pendirian Bung Ali yang sempit!”
“Ini melanggar susila!” Ali terus menyerang Bung Karno.
“Apakah Bung Ali pernah menanyakan alasan mengapa saya mengumpulkan 670 orang perempuan lacur?” tanya Bung Karno, dan segera dijawabnya sendiri, “Sebabnya ialah, karena saya menyadari, bahwa saya tidak akan dapat maju tanpa suatu kekuatan. Saya memerlukan tenaga manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagi saya persoalannya bukan bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang ampuh, itulah satu-satunya yang kuperlukan.”
Ali pun terus mempertahankan protesnya tersebut dengan mengatakan, “Kita cukup mempunyai kekuatan tanpa mendidik wanita-wanita ini. PNI mempunyai cabang-cabang di seluruh Tanah Air dan semuanya ini berjalan tanpa anggota seperti ini. Hanya di Bandung kita melakukan hal semacam ini.”
Bung Karno pun segera menjelaskan, “Dalam pekerjaan ini, maka gadis-gadis pelacur atau apa pun nama yang akan diberikan kepada mereka, adalah orang-orang penting.” Dalam kesempatan tersebut, Bung Karno pun bahkan sempat memberikan ultimatumnya kepada Ali dengan mengatakan, “Anggota lain dapat kulepas. Akan tetapi melepaskan perempuan lacur… tunggu dulu!”
Dengan tenang, Bung Karno pun mengurai satu demi satu alasan mengapa ia memasukkan pelacur ke dalam PNI. Salah satunya adalah dengan mengumpulkan referensi yang ada di kepalanya. Ia menyebutkan tokoh Madame de Pompadour. Semua orang saat itu tahu siapakah Madame de  Pompadour. Wanita tersebut tak lebih dari seorang pelacur pada umumnya, namun kemudian ia dapat memainkan peran politik yang penting, bahkan akhirnya Madame de Pompadour pun menjadi salah satu selir raja Louis XV antara tahun 1745 – 1750.
Selain itu, Bung Karno juga menceritakan tentang kisah Theroigne de Mericourt, seorang pemimpin besar dari Perancis pada awal abad ke-19. Bung Karno juga menyebutkan tetang barisan roti di Versailles. “Siapakah yang memulainya? Perempuan-perempuan lacur,” ujar Bung Karno dengan mantap.
Setelah mendengarkannya dengan seksama, Ali Sastroamidjojo terdiam saja dan tak bisa lagi mendebat. Walaupun ekspresi kekecewaan di wajahnya belum hilang, namun ia harus berusaha untuk tidak memunculkan lagi perdebatan dengan Bung Karno.
Akhirnya, ke 670 pelacur kota Bandung tersebut diposisikan sebagai seorang informan atau mata-mata bagi Bung Karno. Ternyata benar, kita tidak bisa meremehkan sesuatu. Karena sesuatu yang kita benci bisa jadi akan menjadi penolong bagi kita semua.

Minggu, 26 November 2006

Bung Karno, Sang Idaman Wanita


Banyak sekali kisah di dunia ini mengenai pemimpin atau presiden yang digilai atau menjadi pujaan wanita, seperti Kennedy misalnya, ada juga Bill Clinton yang pernah terlibat kasus dengan Monica Lewinsky dan masih banyak lagi. Ternyata di negara kita pun ada sosok figur presiden yang juga memiliki “penggemar” wanita. Presiden tersebut adalah Soekarno.
Sejarah mencatat bahwa kehidupan Bung Karno tidak pernah terlepas dari wanita. Perlu diketahui, bahwa pesona Soekarno  tidak hanya membuat gentar kaum kolonialis dan lawan-lawan politiknya. Tetapi juga sanggup meluluh lantakkan hati setiap wanita di jamannya. Beliau pandai sekali dalam menebarkan pesonanya di mata wanita.
Hampir setiap sisi kehidupannya, Bung Karno tidak pernah bisa dilepaskan dari wanita. Bahkan ketika beliau sedang berada di dalam penjara sekali pun, dia tetap menjadi incaran wanita. Apalagi ketika beliau berkuasa. Saat terpuruk dari kekuasaan dan hampir meninggal dunia sekalipun, beliau masih sempat - sempatnya duduk di pelaminan menyunting gadis belia.
Sebagai seorang Presiden yang memang penuh dengan kharisma dan juga pesona, maka tak salah jika di dalam perjalanan hidupnya, Bung Karno sering kali terlibat permasalahan dengan wanita. Tapi apakah semua itu mutlak salah Bung Karno?. Tidak ada yang bisa disalahkan dari sikap Bung Karno tersebut, karena Bung Karno hanya manusia biasa yang hanya bisa menerima apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Lalu, di mana salahnya bila Bung Karno terlahir dengan penuh pesona.
Daya tarik dan pesona Bung Karno inilah yang sulit untuk ditolak oleh beberapa perempuan yang pernah hadir dalam kehidupan bapak proklamator Indonesia ini. Selain daya tarik dan pesona, apalagikah yang membuat Bung Karno selalu dikelilingi oleh wanita?.
Menurut Bambang Widjanarko, seorang ajudan yang telah dengan setia mendampingi Bung Karno dan tahu banyak tentang Bung Karno dan wanita-wanita di sekelilingnya. Menjelaskan bahwa alasan terkuat mengapa Bung Karno dicintai wanita adalah karena Bung Karno selalu dapat mencurahkan perhatiannya kepada wanita itu. Tentu saja tidak sembarang wanita. Biasanya, ia selalu rela mencurahkan waktu dan perhatiannya kepada wanita yang benar-benar dicintainya, seperti para isterinya.
Selain itu, Bambang juga mengungkapkan bahwa Bung karno memiliki daya tarik berupa taraf intelektualitasnya yang tinggi, serta sikap gallant (gagah) setiap kali ia berhadapan dengan dengan wanita, tak peduli tua atau muda. Kegagahan Bung Karno inilah yang pertama-tama akan membuat wanita senang dan juga merasa dihargai oleh Bung Karno. Sikapnya tersebut sempat beberapa kali tertangkap oleh kamera, seperti Bung Karno yang tidak segan-segan mengambilkan sendiri minuman bagi seorang tamu wanita, atau membantu memegang tangan wanita itu sewaktu turun dari mobil.
Bung Karno memiliki 9 isteri hingga akhir hidupnya. Ada yang bercerai karena tidak kuat dimadu dan ada pula yang masih menjadi isteri syah beliau hingga di akhir usianya.
Kepada Cindy Adams, Bung Karno pernah mengeluarkan pendapatnya mengenai dirinya dan wanita. Bahkan, secara lugas dan jelas Bung Karno berkata kepada Cindy,” I’m a very physical man. I must have sex everyday.
Bambang Widjanarko, juga mengatakan bahwa Bung Karno pernah berkata, “Ya, aku senang melihat wanita cantik. Aku akan merasa lebih berdosa bila berpura-pura dengan mengatakan tidak atau bersikap seakan tidak senang. Berpura-pura seperti itu namanya munafik dan aku tidak mau munafik.”
 Di saat yang berbeda, Bung Karno pun juga pernah mengatakan, “Aku menjunjung Nabi Besar. Aku mempelajari ucapan-ucapan beliau dengan teliti. Jadi, moralnya bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang mengagumi perempuan yang cantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu, karena melakukan itu pada hakekatnya aku memuji Tuhan dan memuji apa yang telah diciptakanNya.
Sebut saja kesembilan wanita yang pernah singgah di hati sang presiden, yaitu Siti Utari Tjokroaminoto, Inggit Ganarsih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manopo, Naoko Nemoto yang kemudian berganti nama menjadi Ratnasari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar, mereka semua memiliki paras yang benar-benar cantik.
Mengenai perbedaan usia, itu tidak pernah menjadi soal bagi sang presiden. Bung Karno pernah memperisteri wanita yang usianya lebih tua 15 tahun darinya (Inggit Ganarsih) hingga yang memiliki usia lebih muda 46 tahun darinya (Heldy Djafar). Semua tersebut telah tunduk dan jatuh ke dalam pesona Soekarno yang maha dahsyat.
Kepiawaian Sukarno mengambil hati wanita memang tidak diragukan lagi. Surat cinta, rayuan, dan sikap gentleman khas Sukarno menjadi hal yang masih dapat dikenang oleh istri dan mantan istrinya. Kendati beberapa diantaranya sudah bercerai dan menikah lagi dengan pria lain, mereka masih fasih membahasakan kembali sederetan kata indah yang pernah ditulis dan diucapkan oleh Sukarno.
Melihat tingkah Bung Karno yang sangat memuja wanita tersebut, beliau mendapatkan banyak sekali gelar. Beberapa gelar tersebut, di antaranya Arjuna, Casanava Cinta, dan Don Juan. Sedangkan dari pengagumnya yang berada di luar negeri, beliau dijuluki A Great Lover. Petualangan cintanya memang begitu terkenal, tidak hanya di dalam negeri tapi juga di mancanegara. Bahkan, pers barat dengan sinis menyebut beliau dalam istilah ”Le Grand Seducteur – tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu”.
Bagaimanapun penilaian kita pada pribadi Sukarno dan petualangan cintanya, Bung Karno tetaplah salah seorang figur yang patut kita hormati. Segala catatan atau track record miring tentang beliau hendaklah tidak menjadi alasan untuk menghujat beliau. Bung Karno sama seperti kita semua, beliau masih manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Mungkin “mudah jatuh cinta” adalah salah satu kesalahan terbesar beliau, tapi apakah benar bila satu kesalahan dapat menggugurkan ribuan kebaikan yang pernah beliau berikan untuk negeri tercinta ini?.
Wanita dan perjuangan Bung Karno memang tidak bisa dipisahkan. Salah satunya adalah perjuangan Inggit Ganarsih, seorang wanita yang juga berada di balik perjuangannya bagi bangsa ini. Bahkan, Bung Karno menyebut Inggit sebagai Srikandi Indonesia di depan khalayak ramai pada waktu Kongres Indonesia Raya di Surabaya tahun 1931. Tidak hanya Inggit juga, masih ada Fatmawati yang namanya juga tercatat sebagai pahlawan Indonesia dengan predikatnya yang teman berjuang Bung Karno.
Selanjutnya, ada nama Ratna Sari Dewi dalam buku Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, yang menyatakan bahwa sesungguhnya Sukarno adalah seorang pahlawan sejati yang hanya mencintai negara dan bangsanya.
Dalam wawancara dengan majalah Tempo pada tahun 1999, Hartini yang juga merupakan salah satu isteri Soekarno menceritakan mengenai kegemaran Sukarno kepada wanita cantik.
”Cintanya kepada wanita yang cantik adalah beban bagi saya. Walaupun saya sudah berusaha menerima dia sebagaimana adanya, dia sangat mencintai keindahan, termasuk keindahan dalam kecantikan wanita,” kata Hartini.
Malah bekas ajudannya, Bambang Widjanarko sebagaimana dilaporkan oleh majalah Tempo pernah berkata, ”Daya tarik dan daya intelektualnya yang tinggi menjadikan Sukarno seorang master dalam menakluk hati wanita.''

Jumat, 24 November 2006

Kisah Cinta Soekarno, Inggit Ganarsih Dan Fatimah


Bila berbicara tentang kisah cinta Soekarno dengan Inggit Ganarsih, mungkin kita akan terpaku sejenak. Karena kisah cinta Soekarno dengan Inggit Ganarsih lebih dari sekedar roman kondang Shakespeare yang berjudul Romeo & Juliet atau dongeng 1001 malam Aladin dan Lampu Wasiat. Kisah cinta Soekarno  dan Inggit yang merupakan pasangan pejuangan pergerakan melebihi cerita-cerita kepahlawanan Clark and Louis Lane (Superman) ataupun Peter Parker and Mary Jane (Spiderman). Kekuatan cinta mereka berdua sama sekali tidak ada tandingannya. Kisah cinta mereka tertanam begitu jelas dalam sebuah pepatah, “Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita kuat dan istimewa di belakangnya”.
Lalu, siapakah sebenarnya Inggit Ganarsih?. Mengapa ia begitu spesial di mata Soekarno?. Mengapa nama itu begitu berharganya hingga diciptakan sebuah buku  khusus untuk seorang Inggit Ganarsih?. Inggit Ganarsih adalah seorang wanita yang terlahir di Kamasan, Banjaran pada tanggal 17 Februari 1888.
Perjalanan hidup Inggit juga bisa dibilang cukup memperihatinkan, karena pada usia 12 tahun Inggit sudah dinikahkan dengan Nata Atmaja, yang saat itu merupakan seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun sayangnya, perkawinan ini tidak bertahan lama dan beberapa tahun kemudian Inggit menikah lagi dengan seorang pedagang kaya yang juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi. Mereka tinggal di Jl. Kebonjati. Pernikahan keduanya pun terpaksa harus berakhir, H. Sanoesi pun menceraikan Inggit secara baik-baik untuk dinikahkan dengan Soekarno yang saat itu tinggal di rumahnya sebagai seorang pelajar.
Kisah cinta Inggit Ganarsih dan juga Soekarno berawal di tahun 1921. Saat itu, salah seorang tokoh Sarekat Islam (SI) yang bernama Haji Sanusi (Kang Uci) dipanggil oleh pemimpinnya, H. Umar Said Tjokroamidjodjo (Pak Tjok). Tentu saja, saat itu Pak Tjok ingin menugaskan Kang Uci untuk sebuah misi yang tidak sebentar, dalam artian misi tersebut membuntuhkan waktu yang lama. Di satu sisi, Pak Tjok juga meminta Kang Uci agar menyiapkan akomodasi untuk salah seorang kader politiknya yang akan kuliah di THS ((Technische Hogeschool) di Bandung. Saat itulah, Kang Uci menawarkan rumahnya  Siapakah kader dari Pak Tjok tersebut?, dialah Soekarno.
Keberadaan Soekarno yang cukup tenang, kalem, ramah dan juga berkarisma ternyata cukup menarik perhatian Pak Tjok. Akhirnya, Pak Tjok pun memperkenalkan puteri tunggalnya yang bernama Oetari kepada Soekarno. Setelah sama-sama tertarik, Pak Tjok pun segera menikahkan keduanya. Namun sayangnya, pernikahan ini hanya bertahan seumur jagung. Keduanya pun berpisah tanpa alasan yang jelas. Mereka bercerai tanpa sempat melakukan hubungan suami isteri seperti pada umumnya. Setelah bercerai, Oetari pun segera pulang ke Surabaya, sementara itu Soekarno tetap melanjutkan pendidikannya di Bandung dan memilih untuk menetap di kediaman Kang Uci.
Kang Uci adalah seorang sahabat yang cukup baik kepada Soekarno. Bahkan, bersama isterinya yaitu Inggit Ganarsih, Kang Uci selalu melayani Soekarno dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sebenarnya, saat itu tidak hanya Soekarno yang tinggal di kediaman Kang Uci, tapi juga ada beberapa pemuda lainnya yang juga menempuh pendidikan di THS. Namun, hanya Soekarno lah yang paling menonjol. Selain penampilannya yang bersih, putih dan juga selalu rapih, Soekarno juga tidak pernah menghabiskan malamnya untuk berhura-hura seperti para pelajar lainnya. Setiap malam, Soekarno selalu menghabiskan waktunya untuk bercengkrama dengan sesama pejuang pergerakkan. Tentu saja, hal tersebut membuat Soekarno lebih sering bertemu dengan Inggit Ganarsih.
Soekarno yang saat itu berusia 20 tahun, ternyata begitu tertarik dengan Inggit Ganarsih. Wawasan Inggit begitu luas, hal tersebut bisa dilihatnya dari cara Inggit berbicara. Namun sayangnya, saat itu Inggit berusia 35 tahun dan statusnya juga isteri orang. Sehingga, Soekarno tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berusaha untuk memendam perasaannya yang ia anggap sebagai “cinta terlarang” tersebut.
Ternyata rasa cinta Soekarno kepada Inggit Ganarsih benar-benar sudah tidak bisa dibendung lagi. Ia tidak bisa berlama-lama menyiksa bathinnya dengan perasaan seperti itu. Selain itu, rasa cintanya terhadap Inggit membuatnya tidak bisa berkonsentrasi selama menempuh pendidikan di THS. Bukan Soekarno jika mudah menyerah.
Akhirnya, Soekarno pun melakukan sebuah tindakan yang paling berani atau bisa juga yang paling nekad seumur hidupnya. Dengan percaya diri, ia mendatangi Kang Uci untuk menyatakan ketertarikannya terhadap isterinya tersebut. Sejurus kemudian, Soekarno juga mengatakan bahwa ia sangat ingin memperistri Inggit Ganarsih. Setelah mempertimbangkan dengan bijak, pengusaha kaya raya tersebut segera menceraikan isterinya, Inggit Ganarsih. Akhirnya mereka menikah pada 24 Maret 1923, Inggit pun segera dinikahkan dengan Soekarno.
Soekarno merasa sangat beruntung sekali karena telah memiliki Inggit Ganarsih. Ia sama sekali tidak peduli dengan omongan orang yang selalu mempermasalahkan tentang perbedaan usia di antara mereka berdua. Beberapa orang mungkin menganggap bahwa Soekarno putus asa karena kegagalan dalam pernikahan pertamanya, sehingga ia memilih wanita yang jauh lebih tua darinya. Namun semua itu didiamkannya saja. Ia tidak pernah mau terlalu memikirkan perkataan orang.
Ternyata benar, kedewasaan Inggit inilah yang akhirnya menempa pribadi seorang Soekarno saat itu. Inggitlah yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan pada calon proklamator itu. Selain itu, posisi Soekarno yang saat itu merupakan seorang pemimpin pergerakkan nasional, membuat Inggit Ganarsih harus menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Bu Inggit menjual bedak, meramu jamu dan juga menjahit kutang untuk menafkahi keluarganya. Sementara Soekarno yang memang mendapat julukan “Singa Podium” ini selalu mengaum dari satu podium ke podium berikutnya untuk membakar semangat juang pemuda Indonesia saat itu. Pikirannya tercurah untuk untuk pergerakan. Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi.
Banyak yang mengatakan bahwa Inggit Ganarsih adalah isteri Bung Karno yang terbaik. Jika Bung Karno adalah api, maka bu Inggit adalah kayu bakarnya. Inggit selalu menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan. Inggit jugalah menghibur ketika Soekarno kesepian. Beliau jugalah yang menjahitkan ketika kancing baju Soekarno lepas. Inggit Ganarsih selalu hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai ibu maupun teman.
 Kesetiaan dan pengorbanan Inggit Ganarsih memang tidak pernah berhenti. Ia jugalah yang mengatur jadwal dan akomodasi Soekarno berpidato di depan massa untuk menyebarkan semangat perjuangan dan juga nasionalisme. Selain itu, Inggitlah yang dengan setia menemani masa-masa sedih Soekarno ketika ia dipenjara di Bandung, lalu dibuang ke Ende, dan dilanjutkan ke Bengkulu. Inggit-lah yang selalu menjadi sumber inspirasi politik kedua bagi Soekarno, setelah Tjokroaminoto. Sungguh, sebuah kolaborasi yang cemerlang dalam sebuah pergerakkan. Mereka berdualah yang akhirnya membuat gagasan tentang sebuah nasionalisme dalam sebuah tulisan yang berjudul Nasionalisme, Agama dan Marxisme (1926). Ketahuilah, bahwa tulisan tersebutlah yang nantinya akan menjadi format ideologi Indonesia.
Selama di Bengkulu inilah, Soekarno menampung seorang pelajar putri yang merupakan dari Hassan Din. Pelajar puteri tersebut bernama Fatimah. Karena Soekarno dan Inggit tidak memiliki keturunan, maka Soekarno memberanikan diri berkata kepada Inggit untuk menikahi Fatimah. Meskipun Inggit tahu betul keinginan Soekarno untuk memperoleh keturunan, namun sayangnya Inggit bukanlah seorang wanita yang mau dimadu. Inggit justru memilih bercerai daripada harus membagi cinta dan berbagi suami dengan wanita lain. Akhirnya, mereka kemudian bercerai di Bandung pada tanggal 29 Feruari 1942 dengan disaksikan oleh KH Mas Mansur. Kemudian, Soekarno pun segera menyerahkan surat cerainya kepada H. Sanoesi yang mewakili Inggit.
Kesetiaan Inggit Ganarsih kepada Soekarno sangat sesuai dengan buku roman-biografis Soekarno-Inggit karya Ramadhan KH, “Kuantar ke Gerbang” (1981). Inggit memang hanya mengantarkan Soekarno ke depan pintu gerbang kemerdekaan Republik Indonesia. Demikianlah kekuatan dan ketulusan cinta Inggit Ganarsih pada Soekarno. Cinta yang semata-mata karena cinta, bukan karena alasan lainnya. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti.
Beberapa orang juga sering menyamakan sosok Inggit Ganarsih ini dengan Maria Theresa yang merupakan istri Rousseau atau Kasturbay yang merupakan istri Mahatma Gandhi. Theresa memang bukanlah pemberi sumbangan pikiran atau teori untuk revolusi Perancis. Begitu juga dengan Kasturbay yang memang tidak pernah memberikan sumbangan pikiran atau teori revolusi India. Demikian juga halnya dengan Inggit Ganarsih, ia tidak pernah memberikan sumbangan pikiran dan teori untuk revolusi Indonesia. Inggit Ganarsih hanya bisa menunjukkan kasih sayang dan kesetiaan yang tiada goyah kepada suami yang sedang mengalami cobaan dan derita dalam perjuangan. Maria Theresa, Kasturbay, dan juga Inggit Ganarsih memang memiliki satu kesamaan yang patut kita contoh, yaitu berbakti kepada bangsanya.
Inggit Ganarsih tidak pernah kecewa dengan jalan hidup yang dipilihnya. Ia bangga karena pernah menjadi seseorang yang sangat berarti di hati Sang Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno. Setelah perceraiannya tersebut, Inggit pun beberapa kali harus berpindah rumah. Inggit pernah berada Banjaran dan Garut selama terjadinya Agresi Militer I & II (1946-1949). Setelah itu, Inggit kembali lagi ke  Bandung dan tinggal di rumah keluarga H. Durasid di Gg. Bapa Rapi. Inggit terpaksa hidup di rumah orang lain, karena rumahnya yang berada di Jl. Ciateul rusak karena peristiwa Agresi Militer. Akhirnya, rumah tersebut kembali di bangun dengan bangunan yang lebih permanen pada 1951 atas prakarsa. Di rumah inilah, Inggit Garnasih melanjutkan hari tua hingga akhir hayatnya. Inggit wafat pada 13 April 1984 dalam usianya yang menginjak 96 tahun. Kemudian, ia dimakamkan di komplek permakaman Caringin (Babakan Ciparay), Bandung.
Perlu diketahui bahwa, Soekarno meninggal terlebih dahulu yaitu pada 21 Juni 1970 di Jakarta. Saat itu, Inggit masih bisa datang ke kediaman Soekarno untuk melayat dan mendoakan Soekarno dengan mengatakan, “Ngkus, gening Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun… (Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan….).
Bila Anda datang ke Bandung, tidak ada salahnya bila Anda melewati Jl. Ciateul (kini bernama Jl. Inggit Ganarsih). Berhentilah di sebuah rumah lama yang telah dicat baru. Di situlah dulu Inggit Ganarsih tinggal. Sempatkanlah untuk menengok ke dalam rumah tersebut, niscaya Anda tidak akan menemukan apa-apa, kecuali satu pelajaran tentang CINTA.
Soekarno dan Fatmawati
Setelah bercerai dengan Inggit, Soekarno pun segera menikahi Fatimah dan membawanya ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, Bung Karno merubah nama Fatimah menjadi Fatmawati yang artinya adalah “bunga teratai”.
Fatmawati adalah seorang wanita yang banyak menemani perjuangan Soekarno sebelum proklamasi kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Wanita cantik ini juga ikut serta dalam menggoreskan sejarah Indonesia dengan menjahit bendera pusaka merah-putih dengan tangan beliau sendiri. Adapun bendera hasil buah tangan beliau tersebut, dikibarkan pada saat upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Fatmawati juga selalu berada di mana pun suaminya berada. Hal tersebut terlihat ketika peristiwa Rengasdengklok. Saat itu, beberapa pemuda menculik Soekarno dan membawanya ke Rengasdengklok. Lalu di mana Fatmawati saat itu?, ternyata Fatmawati pun juga ikut serta Bung Karno dengan membawa Guntur Soekarnoputra yang saat itu mash bayi.
Setelah upacara proklamasi kemerdekaan, maka Fatmawati pun resmi menjadi seorang ibu negara. Sebuah posisi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, karena Fatmawati memang tidak pernah berpikir bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi seorang first lady.
Meskipun posisi dirinya adalah sebagai seorang ibu negara, namun kehidupannya lebih merakyat dan inklusif. Dia telah berhasil menciptakan image bahwa seorang ibu itu harus bersahaja, dan memang sudah menjadi tugas seorang wanita untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Dari pernikahan Soekarno dengan Fatmawati ini membuahkan lima orang anak, mereka adalah Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Sebuah berita mengejutkan terdengar pada tanggal 14 Mei 1980. Berita tersebut adalah meninggalnya ibu Fatmawati karena serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Mekah yang lalu dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.