Minggu, 06 Mei 2007

The Great Soekarno


Ir. Soekarno adalah Presiden Indonesia yang pertama kali. Beliau menjabat pada periode 1945 – 1966. Selain menjadi seorang presiden, beliau juga terkenal sebagai penyambung lidah rakyat. Kedekatannya dengan rakyat memang pantas diacungi jempol dan juga pantas dicontoh oleh pemimpin di era sekarang. Ia juga berperan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno terlahir dengan nama Koesno Sosrodihardjo. Ia lahir di Surabaya pada 06 Juni 1901. Ia merupakan putra dari Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Namun karena sebuah sakit yang berkepanjangan, kedua orang tua Soekarno, pun merubah nama “Koesno Sosrodiharjo” menjadi Soekarno. Namun, tahukah Anda bahwa di beberapa Negara barat, nama Soekarno memiliki nama depan, yaitu Achmed. Sehingga, orang-orang barat tersebut terbiasa menyebut nama Soekarna dengan Achmed Soekarno.
Soekarno kecil merupakan seorang anak yang cukup pintar. Ia tercatat pernah bersekolah di Eerste Inlandse School, yaitu sekolah tempat ia bekerja. Pada tahun 1911, Soekarno melanjutkan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS). Pada tahun 1920, Soekarno pun berhasil lulus dari HBS. Setelah itu, ia pun segera melanjutkan pendidikannya di Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925. Setelah Soekarno menamatkan pendidikannya di Technische Hoge School, ia pun menjadi seorang arsitek.
Selama menempuh pendidikan di HBS, Soekarno pernah bertemu dengan ketua Sarekat Islam yaitu HOS. Tjokroaminoto. Bahkan Tjokoroaminoto pun mengijinkan Soekarno untuk menetap di kediamannya. Soekarno melewati masa mudanya dengan berbagai macam organisasi, salah satunya adalah Tri Koro Darmo, sebuah organisasi yang dibentuk dari Budi Utomo. Pada tahun 1918, Soekarno mengganti nama organisasi tersebut menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Tidak hanya itu saja, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Ketika berada di Technische Hoge School Bandung, Soekarno pun bertemu dengan sahabat kari Tjokroaminoto, yaitu H. Sanusi yang pada waktu itu juga merupakan ketua dari Sarekat Islam. Di sanalah, ia membuat sebuah organisasi bersama dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan juga Dr. Douwes Dekker.
Semangat nasionalisme Soekarno yang tinggi, membuatnya merasa tertantang untuk membuat sebuah organisasi. Akhirnya, pada tahun 1926, Soekarno pun mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi tersebut merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Fakta yang harus diketahui adalah, bahwa organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.
Sepak terjang Soekarno di PNI ternyata sangat meresahkan bagi Belanda. Akhirnya, pada bulan Desember 1929, Soekarno ditangkap dan kemudian ditahan di Penjara Banceuy. Selanjutnya di tahun 1930, Soekarno pun dipindahkan ke Sukamiskin. Pada waktu itu ia mengeluarkan sebuah pembelaan (pledoi) yang cukup terkenal, yaitu Indonesia Menggugat (pledoi). Berkat pledoi tersebut, Soekarno pun akhirnya dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Ternyata pengalaman pernah ditangkap oleh Belanda, tidak membuat nyali Soekarno mengecil. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia), yang merupakan pecahan dari PNI. Ternyata nasib naas pun kembali menimpa Soekarno. Beliau kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores.
Soekarno memang mengalami beberapa kali pengasingan. Namun, ketika ia dtahan di tempat ini. Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Walaupun ia acap kali ditangkap dan ditahan oleh Belanda, namun semangatnya tetap berkobar-kobar. Setelah diasingkan di Ende, Flores, pada tahun 1938 hingga tahun 1942, Ir. Soekarno pun diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru dibebaskan kembali di tahun 1942,  pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Kegigihan dan sepak terjang Soekarno pun ternyata mampu memikat pemerintahan pendudukan Jepang. Akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Pemerintah kependudukan Jepang memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain untuk berperan aktif dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia, seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI. Akhirnya, beberapa tokoh nasional pun bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk tetap berjuang demi terwujudnya Indonesia yang merdeka. Meskipun, masih ada tokoh-tokoh nasional yang masih beranggapan bahwa Jepang adalah fasis yang berbahaya, seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin.
Selain ikut aktif dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh pemerintah kependudukan Jepang, Soekarno juga selalu aktif dan berperan penting di dalam usaha untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945, dasar-dasar pemerintahan Indonesia dan juga berperan di dalam merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan.
Di tahun 1943, seorang Perdana Menteri Jepang yang bernama Hideki Tojo mengundang Soekarno, Mohammad Hatta dan juga Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang. Mereka bertiga disambut dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan pada kesempatan tersebut, Kaisar Hirohito memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada ketiga tokoh Indonesia tersebut.
Tentu saja hal tersebut membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena dengan pemberian penghargaan tersebut, sama artinya bahwa ketiga tokoh tersebut dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri.
Namun sayangnya, hubungan harmonis antara Soekarno dengan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda yang mengira bahwa Soekarno telah bekerja sama dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha.
Pada masa perang revolusi, ada sebuah peristiwa yang cukup terkenal hingga kini yaitu Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.
Pagi harinya, yaitu 16 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Hatta sudah tidak dapat ditemukan lagi di Jakarta. Mereka sudah dibawa pergi oleh beberapa pemuda, seperti Sukarni, Yusuf Kunto, dan Syudanco Singgih ke Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak sebelah Utara Karawang. Mengapa harus Rengasdengklok?, dipilihnya Rengasdengklok sebagai tempat persembunyian yang tepat karena didasarkan pada perhitungan militer. Jika dilihat secara geografis, Rengasdengklok letaknya cukup terpencil, sehingga bisa dengan mudah dideteksi setiap gerakan tentara Jepang yang menuju Rengasdengklok, baik dari arah Jakarta, Bandung, atau Jawa Tengah. Di Rengasdengklok tersebut, beberapa pemuda tersebut kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apapun risikonya.
Sementara itu, suasana di Jakarta pun ikut memanas. Terlebih, setelah bertemunya golongan muda, yang diwakili Wikana, dan golongan tua, yang diwakili oleh Mr. Ahmad Soebardjo. Kedua golongan tersebut berunding mengenai nasib bangsa ke depannya. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka mereka segera mengutus Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo menuju Rengasdengklok.
Sesampainya di sana, mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs.Moh. Hatta untuk kembali ke Jakarta. Sesampainya mereka di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak bisa dipakai untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka mereka pun menyetujui tawaran Laksamana Muda Maeda untuk rapat PPKI di rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi).
Golongan muda dan tua pun kembali berunding untuk merumuskan dan juga menyusun teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Perundingan tersebut berlangsung pada pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Adapun para penyusun teks proklamasi tersebut adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan juga Mr. Ahmad Soebarjo tentunya. Sedangkan untuk konsep teks proklamasi, ditulis langsung oleh Ir. Soekarno sendiri.
Sementara itu, di ruang depan juga hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Pada kesempatan itu, Sukarni turut menyumbangkan ide segar agar Soekarno dan juga Drs. Moh. Hatta yang menandatangani teks proklamasi itu. Setelah berhasil dirumuskan, teks proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik.
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dari pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Ir. Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang sebelumnya sudah dijahit oleh Ibu Fatmawati pun segera dikibarkan. Acara pun dilanjutkan dengan sambutan walikota Jakarta yang saat itu dijabat oleh Soewirjo, dan juga pimpinan barisan pelopor, yaitu Moewardi.
Sehari setelah itu, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI pun segera mengangkat Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi presiden dan juga Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945, KNIP pun mengukuhkan pengangkatan tersebut.
Soekarno Kelahiran Surabaya, Bukan Blitar
Hingga saat ini, belum jelas mengapa fakta sejarah mengenai tempat kelahiran Soekarno bisa diputar balikkan. Padahal, Soekarno bukanlah pemuda kelahiran Blitar, melainkan Surabaya. Hal ini diperjelas oleh Ketua Umum Soekarno Institute, Peter A. Rohi yang mengatakan bahwa sang proklamator Indonesia itu dilahirkan di Surabaya, tepatnya di Jalan Pandean IV/40. Saat ini, sejarah yang telah dibelokkan tersebut sedang diluruskan oleh warga Surabaya dengan cara memasang prasasti di kediaman Bung Karno tersebut. Adapun proses pembuatan prasasti sudah dimulai sejak 6 Juni 2011 lalu.
Peter juga menjelaskan ibahwa Bung Karno lahir di sebuah rumah kontrakan yang berada di Jalan Lawang Seketeng, Surabaya. Sekarang, nama tersebut berubah menjadi Jalan Pandean IV/40.
Peter A. Rohi pun juga menjelaskan bahwa Jalan Lawang merupakan tempat berkumpulnya beberapa pemuda yang tergabung di dalam 'Laskar Pemuda Revolusi' pimpinan Soekarno di zaman penjajahan dulu. Tidak hanya itu saja, di kampung ini juga bisa ditemukan rumah-rumah pejuang lainnya seperti rumah Mayjen Soengkono, Gubernur Suryo dan juga Bung Tomo.
Peter pun telah melakukan banyak cara untuk membuktikan fakta sebenarnya bahwa Soekarno lahir di Surabaya, bukan di Blitar. Salah satu caranya adalah dengan mengumpulkan bukti-bukti yang mampu menguatkan argumennya tentang kota kelahiran Soekarno tersebut. Bukti tersebut berupa buku-buku yang menuliskan Soekarno lahir di Surabaya. Di antaranya, buku berjudul 'Soekarno Bapak Indonesia Merdeka' karya Bob Hering, 'Ayah Bunda Bung Karno' karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, 'Kamus Politik' karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950, 'Ensiklopedia Indonesia' tahun 1955, 'Ensiklopedia Indonesia' tahun 1985, dan 'Im Yang Tjoe' tahun 1933 yang ditulis kembali oleh Peter A. Rohi dengan judul 'Soekarno Sebagai Manoesia' pada tahun 2008
Di Jalan Pandean tersebut berdiri sebuah rumah dengan ukuran 6 x 14 meter. Ada pun rumah tersebut terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga untuk santai dan juga dua kamar. Di bagian belakang, terdapat dapur dan juga sebuah tangga kayu untuk akses ke lantai dua. Sedangkan di lantai dua tersebut, biasanya hanya digunakan untuk menjemur pakaian. “Dari dulu hingga kini, ya seperti ini. Kami sama sekali tidak pernah mengubahnya, atau merenovasi,” ujar Siti Djamilah, pemilik rumah saat ini. Siti Djamilah mengaku bahwa ia sudah memiliki rumah tersebut semenjak tahun 1990.

Senin, 16 April 2007

Soekarno Presiden Termiskin di Dunia


Penulis buku “Fatmawati Sukarno, The First Lady” sempat menambahkan dalam tulisannya bahwa “Sukarno, mungkin satu-satunya presiden termiskin di dunia. Semasa hidupnya, ia hanya memiliki satu rumah di Batutulis, Bogor. Untuk melukiskan “kemiskinannya”, kepada Cindy Adams, Bung Karno pernah bertutur, “Dan, adakah kepala negara lain yang lebih melarat dari aku, dan sering meminjam-minjam (uang) dari ajudannya?”….
Wow!, sebuah hal langka yang sangat kecil kemungkinannya bila terjadi di era sekarang, di mana sebagian besar pemimpin justru asyik “menebalkan” dompet dan memperkaya diri mereka sendiri-sendiri. Mari sejenak kita lihat seberapa miskinkah presiden pertama kita dulu.
Selama menjabat sebagai presiden, Bung Karno memang menetap di istana, sebagaimana presiden-presiden kita sekarang. Istana tersebut tentunya merupakan milik negara. Sementara itu, Bung Karno sendiri tercatat hanya memiliki sebuah rumah di Batu Tulis, Bogor. Adapun untuk rumah-rumah yang lain, ia belikan untuk istri-istrinya.
Rumah beliau yang berada di Batu Tulis pun, selengsernya Bung Karno langsung disita oleh Sekretariat Negara. Sebenarnya, hal ini merupakan sesuatu yang sangat aneh sekali. Tidak pernah diketahui apakah alasanya mengapa satu-satunya rumah milik pribadi Bung Karno diambil oleh negara.
Penderitaan Bung Karno tidak hanya berhenti di situ saja. Ketika beliau “diasingkan” oleh rezim baru, pemerintah Indonesia saat itu hanya mendata tentang barang-barang yang raib saja, tanpa memberikan ganti yang berarti.
Sementara itu, nasib buruk juga menimpa putera-puteri Bung Karno. Mereka tidak pernah mendapatkan harta warisan dari ayahnya yang layak. Bahkan untuk hidup saja, mereka harus bekerja. Guntur Soekarno Putra harus berhenti sekolah untuk membantu sang bunda. Mega, Rachma dan Sukma hidup bersama suaminya. Mereka masih sering berkumpul di rumah ibunya, di Jl. Sriwijaya 26, Jakarta Selatan. Selain itu, kehidupan Fatmawati pun sangat jauh dari kesan “mewah”, walaupun beliau adalah janda presiden, mantan first lady negara ini.
Sebuah kisah nyata yang memilukan pun juga terjadi di kediaman Bung Karno sendiri. Ketika hujan deras, air pun masuk karena atap yang bocor. Beberapa bagian langit-langit rumahnya pun terlihat rapuh dan rusak parah. Perlu untuk diketahui, sebagai janda presiden, Fatmawati tidak menerima tunjangan barang sepeser pun. Ia, baru menerima tunjangan resmi dari negara, pada bulan Juni 1979, tepatnya sembilan tahun setelah wafatnya sang presiden, Sukarno.
Pada tahun 1972, rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya harus ditinggalkannya karena tak kuat dalam menanggung biaya perawatan rutin rumah tersebut. Fatmawati terpaksa mengontrakan rumah yang telah menemaninya bertahun-tahun, di dalam suka dan duka maupun di saat-saat kesedihan dan juga kesepiannya. Uang kontrakan tersebutlah yang digunakan Fatmawati untuk menghidupi putera-puterinya, seperti untuk membiayai Guruh kuliah di Belanda. Sementara itu, Fatma tinggal bersama ibunya di di Jalan Cilandak V, Jakarta Selatan. Sebuah lokasi yang tak jauh sekarang terkenal dengan Rumah Sakit Fatmawati. Namun saat itu, jalan menuju rumahnya sempit dan berlumpur.
Soekarno, The Simple Man
Bila berbicara mengenai pola hidup seorang presiden yang sederhana, maka hal tersebut tidak akan terlepas oleh dua sosok, yaitu Mahmoud Ahmadinejad (Presiden Irak) dan juga Soekarno. Kehidupan kedua presiden tersebut memang sangat jauh dari kesan mewah dan glamor, sangat berbeda dengan pemimpin-pemimpin negara pada umumnya.
Bung Karno memang memiliki kebiasaan makan yang sangat sederhana sekali. Meskipun berada di sebuah istana yang serba ada, namun Bung Karno selalu makan hanya dengan menggunakan tangan saja, tanpa sendok, garpu maupun pisau. Beliau jarang sekali makan daging, melainkan cukup hanya dengan nasi semangkuk kecil, sayur lodeh atau sayur asam, sambal dan telor mata sapi atau ikan asin. Benar-benar sederhana bukan?. Ketika beliau makan sambal, Bung Karno tidak pernah memindah sambal ke dalam piringnya, melainkan ia memakan langsung dari cobeknya. Benar-benar menu rakyat biasa. Di samping itu, Bung Karno juga sangat menyukai kopi tubruk, sayur daun singkong, sawo, dan pisang. Ketika selesai makan, beliau tak lupa mengeluarkan sebatang rokok States Express (“555″).
Sebuah kejadian unik pernah dialami oleh Letnan Soetikno, seorang pembantu ajudan Presiden dan juga Mangil. Pada suatu hari, mereka berdua diajak makan oleh Bung Karno. Tentu saja mereka tidak menolak ajakan tersebut, satu kebanggaan bisa makan bersama orang nomor satu di Indonesia, pikir mereka tentunya. Namun, mereka berdua terlihat kaget ketika melihat menunya yang cukup sederhana sekali, satu mangkuk kecil nasi, sayur daun singkong, sambal dan juga ikan asin. Keanehan berikutnya terjadi ketika mereka bertiga makan. Pada saat itu, Soetikno beserta Mangil makan dengan sendok dan garpu sementara Bung Karno cukup dengan tangannya, wow!....benar-benar kehidupan yang merakyat.
Selain dari kebiasaan makan beliau, kesederhanaan Bung Karno juga bisa kita lihat pada cara berpakaian beliau yang benar-benar sederhana. Beliau jarang beli pakaian baru, apabila pakaian yang sobek dirasa masih bisa dipakai, maka Bung Karno cukup menjahitnya saja.

Selasa, 10 April 2007

Soekarno dan Supir Taksi


Banyak sekali kisah dan fakta unik mengenai Soekarno yang akan dibahas di dalam buku ini. Salah satunya adalah persahabatan antara Soekarno dengan seorang supir taksi yang bernama Arif. Siapakah sebenarnya Arif ini?, mengapa ia bisa memiliki hubungan yang cukup dekat dengan “Sang Presiden”?.
Usut punya usut, ternyata persahabatan Soekarno dan Arif udah lama terjalin, yaitu semenjak masa-masa tahun 1930-an. Saat itu, Bung Karno masih aktif berkomunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakkan Betawi yaitu M. Husni Tamrin yang bertempat tinggal di Gang Kenari, Kramat, Jakarta Pusat. Setiap minggu, Bung Karno bisa dipastikan pergi ke Jakarta, tentu saja untuk menemui sahabatnya, Husni Thamrin. Bung Karno acap kali ke Jakarta dengan menggunakan jasa kereta api. Beliau naik kereta api dan turun di stasiun Gambir.
Setelah Bung Karno keluar peron, Bung Karno pun segera menoleh ke kanan dan juga ke kiri. Ia sedang mencari-cari supir langganannya, yaitu Arif. Sementara itu, Arif sendiri tahu bahwa ia sedang dicari oleh Bung Karno. Terkadang, Arif justru terkesan menjauhi pandangan Bung Karno. Arif malah jalan melingkar dan mengendap-endap namun arahnya ke belakang. Ketika ia sudah dekat, barulah ia memberanikan diri untuk menepuk pun sambil menyapa, “Sedang melamun bung?.”
Bung Karno pasti berjingkat karena kaget “Oh… kau Rif. Saya sudah mencari-cari kamu dari tadi,” tutur Bung Karno, yang digambarkan Arif sebagai pemuda berparas tampan dan juga jangkung yang selalu tampil dengan mengenakan peci.
Sejurus kemudian mereka berdua saling pandang sambil menunggu suasana jadi lebih encer lagi. Hingga terdengarlah sebuah pertanyaan yang keluar dari mulut si Arif.
“Mau kemana ya Bung?” tanya Arif. Meskipun pertanyaan tersebut terkesan basi, namun setidaknya bisa meluluhkan suasana. Pertanyaan tersebut pun berhenti, dan kemudian terdengarlah sebuah jawaban dari pertanyaan basi tadi, “Ke Gang Kenari?”
Bung Karno pun segera menuju taksi Arif yang sedang diparkir di halaman depan stasiun sambil mengatakan, “Iya emang mau kemana lagi?”
Ketika sampai di dalam taksi, Bung Karno pun segera masuk dan duduk. Pada saat itulah, beliau pun berkata kepada Arif, “Eh… Rif, tapi kali ini uang saya pas-pasan, bagaimana yaaa…?”
“Santai saja, Bung. Soal uang pas-pasan, Bung tidak perlu susah-susah memikirkannya, Bung,” kata Arif. Sebenarnya, hati Arif berkata bahwa ia cukup bangga dan bersyukur karena bertemu dengan seorang pemuda yang dikenalnya sebagai seorang figur dalam pergerakkan pemuda. Arif senang sekali bila mendengar cerita-cerita pergerakan, optimisme para pemuda, cita-cita kebangsaan, dan obrolan-obrolan ringan dari Bung Karno, setiap beliau berada di dalam taksinya.
Kadang kala, Arif yang saat itu berusia 20-tahun merasa malu bahkan rendah diri. Bagaimana ia bisa begitu sibuknya mencari rezeki?, sementara orang-orang seperti Bung Karno, Husni Thamrin dan para pemuda lainnya sibuk membela kaumnya dari penjajahan Belanda. Hal tersebutlah yang membuat ia rela tidak dibayar. Arif menyadari bahwa Bung Karno kemungkinan besar sedang tidak berduit karena bisa saja uangnya sudah terkuras habis untuk berbagai aktivitas di dalam pergerakkannya.
Bagi Arif, mengantar Bung Karno dari Gambir menuju gang kenari dengan tidak dibayar tidak sebanding dengan perjuangan Bung Karno dan kawan-kawannya. Mereka semua rela berurusan langsung dengan Belanda, mereka semua berani mengabaikan dirinya sendiri demi tanah air dan bangsa. Bahkan, mereka pun juga rela mendekam di dalam penjara.
Satu yang paling Arif sukai adalah ketika Bung Karno menceritakan tentang kisah Marhaenisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan kekejaman lainnya yang benar-benar membuat darah merah Arif seperti mendidih.
Di samping itu, masih ada nasehat atau petuah-petuah dari Bung Karno yang masih melekat erat di dalam telinganya, antara lain adalah “Arif, kita harus sadar bahwa kita ini bukan bangsa tempe, tetapi masih cucu elang rajawali. Coba saja siapa yang tidak kenal tokoh Gajah Mada yang dapat menyatukan Majapahit. Bukankah pada waktu itu negara Majapahit berpengaruh sampai luar negeri? Nah, di sinilah Arif, kita harus sadar sesadar-sadarnya, dan ketahuilah tidak seorangpun dapat mengubah nasib bangsanya kalau bangsa itu sendiri tidak mau berusaha, tidak mau bangkit, mengubahnya sendiri.”
Meskipun Bung Karno pernah berhutang ongkos taksi kepada Arif, namun Bung Karno tetaplah seseorang yang berhati baik, beliau pasti mengembalikan hutangnya tersebut.

Gambar 1: Arif dan Bung Karno
 
Kisah persahabatan Bung Karno dengan Arif pun masih berlanjut ketika Arif mengantar Bung Karno ke Gang Kenari. Sebelum Bung Karno turun dari taksi, beliau berpesan kepada Arif “Besok jemputlah di tempat ini. Jangan lupa Rif, besok pun masih ngutang lagi yaa” kata Bung Karno dengan senyum khasnya sambil menepuk pundak Arif.
Arif pun segera menjawab, “Bung, jangan berkata begitu terus, bikin malu saya saja… sampai besok pagi bung!”
Esok harinya, yaitu pada tanggal 1 Agustus 1933, Arif pun segera meninggalkan rumahnya dan membawa taksinya ke Gang Kenari untuk menjemput Bung Karno. Sesampainya di Gang Kenari, Arif pun terkejut bukan main ketika mendengar bahwa Bung Karno telah tertangkap oleh Belanda semalam. Seperti tak bernyawa lagi, Arif menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi kemudi taksinya sambil bergumam, “Nasib pejuang. Kemarin masih bercanda sama saya, hari ini sudah meringkuk di penjara.”
Arif yang sudah menganggap Bung Karno lebih dari sahabat pun selalu mengupdate data tentang Bung Karno. Ia selalu mencari kabar baru tentang sahabatnya tersebut melalui surat kabar maupun teman-teman seperjuangan Bung Karno. Arif pun pun juga mengetahui kabar-kabar tentang Soekarno seperti ketika ia dibuang ke Ende, Bengkulu dan sebagainya. Hingga tahun 1942, yaitu ketika Jepang masuk ke Indonesia, ia belum pernah bertemu dengan Bung Karno.
Pada masa kependudukan Jepang, Arif mendapatkan sebuah kejutan. Tiba-tiba ia kedatangan seorang tamu yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Lelaki tersebut pun menyapa Arif dengan sebuah pertanyaan, “Arif… apa kabarnya?,” sapa tamu itu ramah. Arif pun menyambut tamu tersebut dengan senyum manis. Mereka berpelukkan sebagai mana sepasang sahabat yang saling melepas rindu. Tamu yang dimaksud, tak lain dan tak bukan adalah Bung Karno. Ia datang bertamu malam-malam ke rumah Arif dengan membawa dua tujuan. Pertama, melunasi semua utang ongkos taksi terdahulu. Tujuan kedua, menawari Arif untuk sopir pribadi Bung Karno.
Kisah persahabatan ini berujung pada kebersamaan Arif dan Bung Karno yang hampir tak bisa dipisahkan. Ia merasa terhormat dan tersanjung karena menjadi supir seorang “Bung Karno”. Sejarah mencatat, bahwa Arif mengabdi sebagai pengemudi pribadi Bung Karno hingga tahun 1960. Saat Bung Karno bertanya, tentang keinginan Arif setelah berhenti bekerja sebagai supir? Spontan Arif pun menmjawab bahwa ia sangat ingin naik haji, Bung Karno pun mengabulkan Arif pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.

Minggu, 08 April 2007

Antara Bung Karno Dengan Mahasiswa


Kedekatan Soekarno tidak hanya dengan Arif, sang supir taksi saja. Sejarah merekam sifat Soekarno yang memang terkenal ramah dan bisa bergaul dengan masyarakat umum. Bung Karno merupakan salah satu tokoh bangsa yang bisa melakukan komunikasi dengan baik, tidak hanya kepada teman seperjuangan tapi juga kepada semua lapisan masyarakat, termasuk juga dengan mahasiswa yang pada saat itu cukup kritis dalam menilai perkembangan bangsa. Saking kritisnya sang mahasiswa, Soekarno pun sempat agak “naik darah” ketika berdialog dengan mereka, berikut ceritanya.
Sebut saja sebuah peristiwa terjadi pada hari Selasa 18 Januari 1966. Pada saat itu, delegasi KAMI bertemu dengan Soekarno. Sebenarnya, pertemuan ini adalah yang kedua kalinya setelah pertemuan yang terjadi pada 15 Januari dalam rangka Sidang Paripurna Kabinet. Dalam pertemuan tersebut, utusan mahasiswa menyampaikan beberapa permintaan, yaitu pembubaran PKI, reshufle kabinet dan juga penurunan harga.
 Dalam pertemuan tersebut, utusan KAMI terdiri dari Cosmas Batubara, David Napitupulu, Mar’ie Muhammad, Elyas, Zamroni, Firdaus Wajdi, Abdul Gafur dan Djoni Sunarja serta Lim Bian Koen. David Napitupulupernah mengisahkan di tahun 1966, bahwa Soekarno masih bisa menunjukkan kewibawaannya di sela-sera pertemuan tersebut. Ia juga menuturkan bahwa Soekarno mampu membuat beberapa tokoh mahasiswa terkagum-kagum terhadap retorika seorang Bung Karno.
Para mahasiswa tersebut juga kagum dengan sopan santun Bung Karno ketika berbicara, beliau melipatkan dan merapatkan tangan di depan perut bawah dengan santun. Meskipun sopan, terkadang Soekarno masih mampu bersifat keras juga. Hal tersebut terlihat ketika Soekarno menuding KAMI yang melakukan anarki, seperti corat-coret dan sebagainya. Menjawab tudingan tersebut, KAMI pun menjawab ‘Apabila ada corat-coret dengan kata-kata kotor, itu “adalah pekerjaan tangan-tangan kotor” yang menyusup ke dalam “barisan mahasiswa progressif revolusioner”.
Dalam pertemuan tersebut, Soekarno mempersoalkan corat-coret yang menyebut salah satu isterinya, Nyonya Hartini, sebagai seorang ”Gerwani Agung”. Gerwani merupakan salah satu organisasi wanita bentukan PKI.
Dalam pertemuannya dengan sang presiden tersebut, delegasi KAMI pun juga menyampaikan tiga tuntutan rakyat. Menanggapi tiga tuntutan rakyat tersebut, Soekarno menjawab “Saya mengerti sepenuhnya segala isi hati dan tuntutan para mahasiswa”. Bung Karno sama sekali tidak mengeluarkan pernyataan yang menyangsikan maksud-maksud baik mahasiswa. Tetapi, Bung Karno hanya menyatakan bahwa ia sangat tidak setuju dengan praktik-praktik yang mengarah kekerasan atau cara- cara mahasiswa yang mengarah ke vandalisme materil dan vandalisme mental.
Bung Karno juga yakin bahwa KAMI bisa saja ditunggangi golongan tertentu dan Nekolim, yang tidak menginginkan persatuan Bung Karno dan mahasiswa. Dalam pertemuan tersebut, Soekarno menghimbau kepada para mahasiswa untuk tetap tenang dan menyuruh mereka untuk menunggu keputusan politik yang akan diambilnya.
Tentang ‘kemarahan’ Soekarno pada saat pertemuan tersebut, Cosmas Batubara pun menjelaskan melalui tulisannya Napak Tilas Gerakan Mahasiswa 1966 (dalam OC Kaligis – Rum Aly, Simtom Politik 1965, Kata Hasta, 2007).
Cosmas berkata kepada kami bahwa sebelum kami diterima Presiden, ajudan Presiden yaitu Mayor KKO Widjanarko mengatakan kepada kami semua bahwa ”Presiden “akan marah kepada anda semua”. Karena itu, kata Widjanarko, “saran saya, diam saja dan dengar. Biasanya Presiden itu akan marah-marah selama kurang lebih 30 menit”.
Perkataan Mayor Widjanarko tersebut memang benar adanya. Pada 30 menit pertama dialog tersebut, Presiden Soekarno marah dan mengatakan bahwa para mahasiswa sudah ditunggangi oleh Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Cosmas kembali berkata, “Kemudian secara khusus Presiden Soekarno marah kepada saya” dengan mengatakan, “saudara Cosmas sebagai orang Katolik, mengapa ikut-ikut demonstrasi dan saya dapat laporan bahwa anggota PMKRI menulis kata-kata yang tidak sopan terhadap Ibu Hartini. Saudara harus tahu bahwa Paus menghargai saya dan memberi bintang kepada saya. Betul kan saudara Frans Seda bahwa Paus baik dengan saya?”. Frans Seda yang juga ada di dalam pertemuan tersebut pun mengangguk.
Cosmas pun berpendapat, “Sepertinya Presiden Soekarno tidak sadar bahwa para mahasiswa yang datang masing-masing sangat independen, Kalau saya diserang secara pribadi bukan berarti yang lain akan diam”. Setelah Presiden Soekarno melampiaskan kemarahannya, para peserta pertemuan satu persatu melakukan reaksi hingga akhirnya Presiden Soekarno pun merasa  kewalahan menghadapi para mahasiswa tersebut. Kemudian, sambil menoleh kepada Roeslan Abdoelgani, Soekarno pun berkata, “Roeslan, mereka ini belum mengerti revolusi. Bawa mereka dan ajar tentang revolusi”.
Pertemuan pun akhirnya selesai juga meskipun belum ada keputusan yang jelas dari Presiden tentang Tritura. Cosmas menambahkan, “Seperti hari-hari sebelumnya para mahasiswa mulai lagi demonstrasi. Dalam puncak kejengkelannya terhadap demonstrasi KAMI, maka pada tanggal 25 Februari 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan putusan membubarkan KAMI yang diikuti pengumuman tidak boleh berkumpul lebih dari lima orang”.