Selasa, 27 Februari 2007

Apakah Soekarno Seorang Komunis


Isu yang pernah menjadi awan hitam dalam masa-masa kepemimpinan Bung Karno adalah munculnya sebuah berita bahwa Soekarno adalah seorang komunis. Bahkan, isu tersebut kian bergema seiring berdirinya Orde Baru atau pada awal-awal runtuhnya masa keemasan Bung Karno. Apakah benar bahwa Bung Karno adalah seorang komunis?,
Sebenarnya, pertanyaan tersebut sudah terjawab melalui kutipan otobiografi karangan beliau sendiri yang berjudul, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.” Pada Bab I – Penyambung Lidah Rakyat Indonesia telah disebutkan keterangna berikut ini:
Barat selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada Negara Ngera Sosialis Komunis. “Ohh” kata mereka “Lihatlah Sukarno lagi lagi bermain main sahabat dengan Blok Timur”. Yah, mengapa tidak?
Negara Sosialis Komunis tidak pernah mengijinkan seorangpun bahkan media massa untuk menghina dan mengejekku dalam pers mereka. Negara Sosialis selalu memujiku. Mereka tidak membikinku malu ke seluruh dunia ataupun tidak mempermalukanku di muka umum seperti seorang anak yang tercela dengan menolak memberikan lebih banyak jajan sampai aku menjadi anak yang manis. Negara Negara Sosialis selalu mencoba merebut hatiku. Krushchov mengirimiku jam dan puding dua minggu sekali dan memetikkan apel, gandum, dan hasil tanaman lainnya dari hasil panennya yang terbaik. Jadi, salahkah aku kalau berkata “Terimakasih rakyat rakyat negara Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan. Terimakasih rakyat rakyat negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak menyakiti hatiku. Terimakasih, karena engkau telah menyampaikan kepada rakyatmu bahwa setidaknya Sukarno mencoba sekuat tenaganya berbuat untuk negrinya. Terimakasih atas pemberianmu. Apa yang kuucapkan itu adalah tanda terimakasih, BUKAN KOMUNISME!
Bila kita baca kutipan di atas, akan terlihat dengan sangat jelasnya bahwa Bung Karno bukanlah seorang komunis. Beliau hanyalah manusia biasa yang dapat menerima siapapun dan apapun dalam hidupnya. Tidak pernah ada salahnya bila kita menerima kebaikan seseorang, bukan?. Seperti itulah yang dipikirkan oleh Bung Karno saat itu.
Mengenai pendapat bahwa Bung Karno adalah seorang komunis, beberapa praktisi sejarah sepakat bahwa pendapat tersebut hanyalah isu atau berita miring belaka. Lalu, mengapa isu itu harus dihembuskan? Hanya ada satu jawabnya yang bisa menjelaskan permasalahan tersebut, yaitu kita harus ingat bahwa masyarakat Indonesia sangat religius. Hal yang sedemikian membuat mereka menolak kehadiran ajaran Komunis. Jangankan di masa Bung Karno, di masa sekarang pun masih banyak praktik-praktik penolakan seperti itu. Masih jelas di memori kita bagaimana reaksi masyarakat Indonesia ketika datangnya agama-agama atau aliran baru yang dianggap sebagai aliran sesat. Dengan semangat membara, mereka mencoba melawan lahirnya agama baru tersebut.
Kenyataan tersebutlah yang dimanfaatkan oleh orang-orang zaman dulu untuk melepaskan ikatan batin antara Bung Karno dan masyarakat. Namun sayangnya, ada beberapa masyarakat Indonesia yang tidak bisa dibodohi dan dengan sadar mengatakan bahwa “ Bung Karno bukanlah Komunis!”.
Bung Karno, memang bukan terlahir dari seorang muslim tulen. Ayahnya bukanlah seseorang yang bergelar “Haji”. Ibunya yang merupakan orang Bali tentunya sempat memeluk agama Hindu, sebagaimana warga Bali lainnya. Namun, tahukah Anda bahwa Bung Karno sangat mengenal Islam, bahkan pengetahuannya tentang Islam bisa dibilang sangat dalam.
Bung Karno mengenal Islam semenjak ia berusia 15 tahun. Saat itu, ia masih duduk di bangku HBS bersama H.O.S Cokroaminoto. Bersama Cokroaminoto inilah, Bung Karno sering kali menghadiri kajian Muhammadiyah di seberang Gang Peneleh, Surabaya. Sebulan sekali, ia mengaji di sana. Waktunya pun relatif  lama, yaitu antara pukul 20.00 WIB hingga larut malam.
Pada tahun 1928, Bung Karno mulai memperdalam ilmunya dalam membaca Al Qur’an. Pada waktu itu, Bung Karno masih mendekam di penjara Sukamiskin, tepatnya di sel nomor 233. Sang penulis biografinya, yaitu Cindy Adams mengatakan bahwa sejak saat itu, Soekarno sudah mulai rajin sholat 5 waktu. Dalam beberapa kesempatan, Bung Karno pun sering menggunakan kata-kata “Insya Allah”. Mungkinkah orang yang rajin mendirikan sholat lima kali sehari dan bibirnya selalu basah karena berdzikir kepada Allah adalah seorang Komunis?.
Setelah Bung Karno mengikuti beberapa pengajian dengan rutin, ia baru menyadari bahwa Tuhan adalah segala-galanya. Tuhan itu Esa dan tidak ada bandingannya. Tuhan ada di seluruh jagad raya. Tuhan bahkan ada di Saturnus, Tuhan juga ada di Mars bahkan di Venus dan planet-planet lainnya. Bung Karno juga percaya, bahwa Tuhan itu selalu ada di sekitar kita. Tuhan ada di depan, ada di samping, ada di belakang dan di mana-mana. Tuhan selalu ada untuk menjaga dan melindungi makhlukNya.
Hubungan Segitiga antara PKI, Soekarno dan Malaysia
Dalam kacamata para sejarahwan, pengkhianatan PKI atas Bung Karno justru bukan dari peristiwa 30 September yang sangat kontroversial itu, melainkan dengan munculnya gerakan - gerakan terorganisis dan massive PKI yang “mendompleng” ketenaran Bung Karno sebagai pemimpin besar revolusi kala itu. Mereka berpendapat, bahwa Bung Karno telah “dikhianati” secara terang–terangan kala itu. PKI bukan hanya telah menghianati presiden, tapi juga telah berhasil memecah belah konfigurasi politik kala itu.
Berbicara mengenai PKI memang akan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Hal tersebut dikarenakan banyaknya fakta sejarah yang disembunyikan atau bahkan diputar balikkan. Salah satunya adalah hubungan antara konfrontasi Malaysia dan kedekatan Soekarno dengan PKI.
Keterlibatan Malaysia dalam kasus ini dimulai semenjak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tuanku Abdul Rahman-Perdana Menteri Malaysia saat itu-dan memaksanya untuk menginjak Garuda. Tentu saja hal tersebut menyulut api amarah Soekarno terhadap Malaysia.
Pemimpin negara manakah yang tidak marah bila melihat lambang negaranya diinjak-injak?. Tentu saja, Presiden Sukarno sangat murka dengan tindakan Tengku Abdul Rahman,yang menginjak-injak lambang Negara Indonesia dan merobek-robek foto Bung Karno. Saat itu, Bung Karno sangat menyesalkan sikap Perdana Menteri Malaysia yang diangapnya telah menghina dan merendahkan harga diri Indonesia.
Itulah sebabnya, Presiden Sukarno ingin melakukan balas dendam,dan membentuk gerakan yang terkenal dengan sebutan “Ganyang Malaysia”. Tidak hanya itu saja, Bung Karno juga sempat meluapkan kemarahannya melalui sebuah pidato yang cukup terkenal dengan judul “Ganyang Malaysia”.
Dalam pidato tersebut, Bung Karno berkata, "Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysia keparat itu. Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya. Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat."
Howard Jones, seorang duta besar Amerika Serikat yang menjabat pada saat itu, melaporkan kepada Washington bahwa ia bertemu Soekarno dalam keadaan yang penuh dengan amarah. Menurut Howard Jones, Soekarno mengatakan bahwa ia sangat menyesalkan tindakan kepala negara yang berani menginjak-injak lambang negara lain (dikutip dari telegram dari Kedubes AS di Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 19 September 1963).
Pada saat itu, Howard Jones menyatakan simpatinya, Namun Howard Jones juga mengatakan bahwa Indonesia tak bisa mengandalkan bantuan AS jika ingin melawan Malaysia. Di satu sisi, ada konflik di tengah-tengah TNI Angkatan Darat saat itu. Hal tersebut diperjelas lagi dengan ketidak sediaan Jenderal Ahmad Yani mengerahkan pasukan untuk menyerbu Malaysia.
Jenderal Ahmad Yani merasa tidak yakin bahwa TNI Angkatan Darat bisa melawan Malaysia yang mendapat dukungan dari Inggris. Namun berbeda dengan Jenderal Abdul Haris Nasution yang setuju untuk menghancurkan Malaysia karena ia khawatir akan sebuah isu yang mengatakan bahwa Malaysia akan ditunggangi PKI untuk memperkuat posisinya di kancah politik di Indonesia.
Sebenarnya, posisi PKI saat itu adalah sebagai salah satu gerakkan yang sangat ingin menghancurkan Malaysia karena dianggap anak buah neokolonialisme dan imperialisme. Namun, pertimbangan PKI bukan didasarkan sekadar idealisme. Namun selain itu, PKI juga berusaha keras untuk membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia dan menempatkan PKI sebagai gerakan nasionalis yang lebih nasionalis daripada tentara untuk memperkuat posisinya dalam dunia politik di Indonesia, yang saat itu hanya dikuasi oleh tiga tokoh yaitu Soekarno, tentara, dan PKI.
Melihat dukungan tentaranya yang hanya setengah-setengah, Presiden Soekarno pun sangat kecewa, padahal ia ingin sekali mengganyang Malaysia karena tindakan Malaysia yang ia anggap telah merendahkan harga diri bangsa Indonesia. Di tengah-tengah kebimbangannya tersebut, akhirnya Soekarno mulai menjalin hubungan dengan PKI. Hubungan keduanya pun semakin erat ketika mengetahui bahwa tentara sendiri mengalami kegagalan dalam operasi gerilya di Malaysia.
Kekhawatiran Soekarno
Peristiwa gagalnya operasi gerilya dengan Malaysia tersebut membuat PKI merasa di atas awan dan sulit terkalahkan. Tidak hanya itu saja, posisi PKI pun mencuat naik hingga 25 November 1964. Kepada Washington, Howard Jones melaporkan bahwa Adam Malik, Chaerul Saleh, Jenderal Nasution dan Jenderal Sukendro, serta banyak lagi yang lain berbondong-bondong bertandang untuk meminta bantuan kepada Pemerintah AS agar menyelamatkan kaum moderat di Indonesia akibat semakin menguatnya posisi PKI.
Gagalnya Angkatan Darat dalam menumpas Malaysia ini ternyata berbuntut panjang. Hal inilah yang juga disinyalir menjadi pemicu perpecahan di kubu Angkatan Darat ini. Banyak tentara dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia. Mereka menganggap bahwa petinggi Angkatan Darat bernyali kecil sehingga berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Selanjutnya, mereka pun mengambil keputusan yang sangat berlawanan sekali, yaitu bergabung dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal besar bernyali kecil tersebut.
Hal lain yang ditimbulkan dari konflik tersebut adalah melemahnya ekonomi rakyat pada saat itu. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi hingga 650%. Hal tersebut tentunya membuat rakyat Indonesia harus antri beras, minyak, gula dan berbagai macam kebutuhan pokok lainnya.
Kemerosotan Ekonomi Indonesia tidak hanya dipicu oleh keberadaan PKI saja, melainkan juga keputusan Soeharto yang sangat aneh pada saat itu, yaitu menuntut kenaikan gaji untuk para tentara Indonesia sebesar 500%. Kemiskinan yang melanda Indonesia saat itu membuat kebanyakan rakyat Indonesia hidup dalam keperihatinan. Mereka terpaksa makan bonggol pisang, umbi-umbian dan sebagainya. Kebutuhan sandang dan papan mereka pun jadi terbengkalai.
Konflik semakin memuncak pada 1 Oktober 1965. Di mana pada saat itu, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh. Beberapa sumber sejarah menganggap bahwa pembunuhan keenam jenderal senior tersebut sebagai wujud kudeta yang dilakukan oleh Soeharto melalui tangan-tangan PKI. Namun, karena sejarah memang sengaja dibelokkan, maka yang terlihat di masyarakat adalah bahwa Soeharto adalah penumpas keganasan PKI, padahal sebetulnya Soekarno dan PKI adalah korban dari ambisi Soeharto untuk menggantikan posisi Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia kala itu.


Selasa, 20 Februari 2007

Soekarno dan Nasakom


Kehebatan Bung Karno memang tidak bisa dikalahkan. Selain ia pandai dalam berpidato, memimpin sebuah pergerakkan, menggerakkan hati wanita dan lain sebagainya, ternyata Bung Karno juga pandai dalam mengeluarkan ide-ide hebat. Tak jarang ide-idenya tersebut membuat orang bengong, termasuk ketika Bung Karno hendak memasukkan para wanita tuna susila ke dalam organisasi bentukannya. Namun, ada ide hebat lainnya yang cukup kontroversial saat itu, yaitu gagasannya tentang Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Konon, ide inilah yang membuat pamor seorang Soekarno mengalami penurunan yang sangat tragis, dan akhirnya berujung kepada tenggelamnya karir beliau di panggung politik dunia.
Para pengamat sejarah berpendapat bahwa ide Nasakom ini sebenarnya sudah ada sejak pemilu tahun 1955. Saat itu Soekarno hendak menggabungkan tiga kekuatan besar yang ada di Indonesia berdasarkan dengan hasil pemilu yaitu PNI, Masyumi dan juga PKI.
Tentu saja ide Nasakom ini sangat menguntungkan bagi PKI, karena dengan demikian ruang gerak mereka jadi semakin luas saja. Namun keberadaan PKI ini tentu saja sangat merisaukan bagi partai yang berlandaskan pada agama Islam, terutama partai Masyumi. Orang-orang yang berada di partai Masyumi ini tidak mau duduk di dalam satu forum dengan partai Komunis yang memang bersifat atheis (tidak mempercayai adanya Tuhan).
Dengan masuknya PKI sebagai salah satu partai terbesar, membuat PKI besar kepala. Terutama setelah PKI berhasil mengganyang Malaysia sehingga Bung Karno pun selalu menyajungnya. Sejak itulah, Bung Karno secara tegas mengeluarkan sebuah dokumen (dokumen CIA [ada tanggal 13 Januari 1965) yang cukup kontroversial. Dalam dokumen tersebut, Soekarno berkata bahwa ia tidak bisa menoleransi lagi adanya gerakan anti-PKI karena ia butuh dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia.
Bung Karno sedikit kecewa dengan Masyumi yang menunjukkan sikap penolakannya terhadap PKI. Akhirnya, Soekarno pun mulai mengintimidasi partai yang merupakan representasi umat Islam terbesar di Indonesia saat itu. Tidak hanya itu saja, Bung Karno juga menghapus partai Masyumi pada tanggal 17 Agustus 1960. Tak lama kemudian setelah pembubaran partai Masyumi, Soekarno pun segera membuat DPR-GR. Dalam pembentukan DPR-GR tersebut, Soekarno tidak mengikut sertakan anggota dari partai Masyumi.
Kehebohan pun kembali terjadi pada tahun 1962. Saat itu pemerintah menangkap pemimpin partai Masyumi karena dianggap ikut berperan serta menentang negara dalam upaya untuk membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tentu saja hal semacam itu menguntungkan PKI, sehingga partai Komunis tersebut merasa dirinya bagai di atas awan, tak terjamah dan tak terkalahkan. Hal tersebut jugalah yang akhirnya membuat PKI melakukan pelecehan-pelecehan terhadap agama Islam.
Lama-lama rakyat pun menjadi gerah dengan perbuatan PKI yang tidak berperikemanusiaan. Akhirnya meletuslah gerakan 30 September. Gerakkan tersebut pun semakin menjadi ketika Soeharto datang untuk memanfaatkan situasi negara yang memang sudah keruh itu.


Kamis, 15 Februari 2007

Pernikahan Telegram Bung Karno


Mungkin banyak orang yang sudah tahu tentang Bung Karno dan kesembilan isterinya. Namun tahukah Anda bahwa ada kisah unik yang terjadi antara Bung Karno dengan sang penjahit bendera pusaka, yaitu Fatmawati?.
Inilah sekelumit kisah asmara Sukarno – Fatmawati yang mungkin akan sangat unik untuk disimak. Gambaran gelora cinta Bung Karno kepada Fatmawati bisa dilihat dari kutipan surat cinta yang tertulis pada 11 September 1941 berikut ini:
“O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe….”
Kisah cinta Bung Karno dengan Fatmawati terjalin ketika Bung Karno diasingkan di Bengkulu. Pada saat itu, Bung Karno sudah menikah dengan Inggit Garnasih, namun belum dikaruniai putra. Rasa cintanya terhadap Fatmawati membuat Bung Karno harus berjuang ekstra keras agar Inggit mengijinkannya untuk menikahi Fatmawati.
Sepulang dari pengasingan, Bung Karno terlihat selalu murung. Ia benar-benar sedang merasakan demam cinta dengan Fatmawati. Kegundahan Bung Karno tersebut berhasil ditangkap oleh anak angkatnya yaitu Ratna Juami dan suaminya, Asmara Hadi. Mereka berdua mengetahui bahwa Bung Karno sedang terbakar panasnya demam cinta. Melihat ayahnya bermuram durja, Ratna dan suaminya pun memberanikan diri untuk membujuk Inggit agar merelakan Bung Karno menikahi Fatmawati.
Namun kenyataan tidak sesuai yang dibayangkan oleh Ratna dan suaminya. Ternyata, Inggit benar-benar tidak mau dimadu. Inggit lebih memilih sebuah perceraian dari pada harus membagi cintanya dengan orang lain. Akhirnya perceraian pun terjadi, Inggit pun memutuskan untuk pulang ke Bandung. Di hari terakhirnya bersama Bung Karno, Inggit terkena sakit gigi. Pada saat-saat seperti itu, Bung Karno pun masih menunjukkan perhatiannya dengan mengantar Inggit ke dokter gigi. Tidak sampai di situ saja, Bung Karno pun juga ikut pergi ke Bandung, mengantar Inggit dan juga ikut membongkar barang-barang yang ada di dalam koper mantan isterinya tersebut. Selanjutnya, Bung Karno pun mengucapkan salam perpisahan dan berterima kasih kepada Inggit karena telah menemaninya selama ini.
Pada bulan Juni 1943, Bung Karno pun segera menikahi Fatmawati. Saat itu Bung Karno sedang berada di Jakarta, sementara Fatmawati ada di Bengkulu. Bagaimana mungkin pernikahan tersebut bisa terjadi?. Seperti pepatah, Banyak Jalan Menuju Roma, Bung Karno pun terus berpikir bagaimana caranya untuk menikahi sang pujaan hati. Akhirnya, Bung Karno pun menikahi Fatmawati secara nikah wakil. Sebab, kalau harus mengurus perizinan ke Jakarta untuk Fatma dan seluruh keluarganya, pada saat itu, sangat mustahil.
Alasan lainnya adalah, karena tuntutan pergerakan dan perjuangan, Bung Karno pun tidak mungkin meninggalkan Jakarta ke Bengkulu untuk melakukan pernikahannya. Di sisi lain, Bung Karno merasa, tidak mungkin bisa menahan lebih lama lagi untuk menikahi Fatmawati.
Menurut hukum Islam, sebuah pernikahan bisa saja dilangsungkan, asal ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki-laki. Oleh karena itu, Bung Karno segera mengirim sebuah telegram kepada seorang sahabat karibnya yang tinggal di Bengkulu. Dalam kesempatan tersebut, Bung Karno juga memintanya menjadi wakil Bung Karno menikahi Fatmawati. Setelah membaca telegram dari Bung Karno, sahabat Bung Karno tersebut pun bergegas ke rumah Fatmawati, dan menunjukkan telegram dari Bung Karno. Pucuk dicinta ulam pun tiba, ternyata cinta Bung Karno pun disambut oleh Fatmawati. Bung Karno semakin bahagia ketika mengetahui bahwa orangtua Fatmawati menyetujui gagasan itu.
Akhirnya, Fatmawati bersama wakil dari Bung Karno tadi pun segera menghadap ke penghulu. Pernikahan pun segera dilaksanakan kendati Famawati ada di Bengkulu dan Bung Karno di Jakarta. Sebuah keputusan yang menyenangkan hati pun terdengar bahwa Bung Karno dan Fatmawati telah resmi menjadi sepasang suami isteri.

Kamis, 08 Februari 2007

Aku Presiden Indonesia, Bukan Presiden Keluargaku Sendiri


Bung Karno memang terkenal sebagai seseorang yang penuh cinta. Ia begitu mencintai keluarganya, isteri-isteri dan juga anak-anaknya. Rasa cinta yang sama juga ia berikan kepada kakak kandungnya, yaitu Ibu Wardoyo. Namun rasa cintanya terhadap negara Indonesia jauh lebih besar bila dibandingkan dengan rasa cintanya kepada apapun itu, termasuk rasa cintanya kepada keluarga ataupun dirinya sendiri. Itulah yang selalu Bung Karno tanamkan kepada sahabat-sahabatnya untuk mencintai negeri ini dengan penuh loyalitas.
Kacamata sejarah menangkap, sekiranya ada ada dua peristiwa yang menggambarkan kemarahan Bung Karno kepada kakak kandungnya, Sukarmini Wardoyo, atau yang biasa dipanggil dengan nama Ibu Wardoyo.
Meskipun demikian, Bung Karno tetap menunjukkan rasa hormat dan rasa sayangnya kepada sang kakak. Tidak hanya itu saja, rasa hormat dan cinta tersebut juga beliau tanamkan kepada semua putera-puterinya. Bahkan, Guntur, Mega, Rachma dan juga Sukma sangat senang bila diajak ke rumah budenya atau saat budenya bertandang ke rumahnya.
Rasa sayang Bung Karno kepada sang kakak sangat tinggi. Saking tingginya, Bung Karno harus mengingatkan sang kakak bila sang kakak melakukan kesalahan. Lalu pertanyaannya, perbuatan apakah yang pernah dilakukan oleh sang kakak hingga membuat Bung Karno marah seperti itu?.
Kesalahan pertama yang dilakukan oleh sang kakak adalah ketika Ibu Wardoyo bermain tenis. Bung Karno terpaksa memarahi Ibu Wardoyo karena menganggap Ibu Wardoyo tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi penduduk Indonesia saat itu. Perlu diketahui bahwa pada masa itu, permainan tenis adalah permainan orang kaya (bangsawan). Tenis merupakan permainan yang cukup mewah. Bung Karno takut apabila masyarakat tersinggung, bagaimana mungkin seorang kakak dari presiden Indonesia bermain tenis di tengah kondisi masyarakat yang sangat memperihatinkan?. Bung Karno pun mengingatkan kepada anggota keluarganya untuk tidak memainkan olahraga orang kaya itu. Lantas, kemarahan apa lagi?
Peristiwa berikutnya yang membuat Bung Karno naik pitam adalah ketika Ibu Wardoyo menerima proposal proyek dari Belanda. Pada waktu, ada seorang pengusaha Belanda yang berusaha untuk memasukkan proposal proyek ke Indonesia. Sebenarnya, Bung Karno sempat menolak proposal tersebut. Namun, karena pihak Belanda tidak mau kalah. Ia terus melakukan pendekatan agar proposal proyek tersebut disetujui. Walhasil, pengusaha Belanda tersebut menggunakan cara pendekatan dengan membujuk Ibu Wardoyo. Celakanya, Ibu Wardoyo menyetujui permintaan pengusaha Belanda itu. Ibu Wardoyo menitipkan proposal tersebut kepada sang ajudan untuk diserahkan kepada adiknya, Soekarno.

Sang ajudan pun segera menemui Bung Karno. Kemudian ia menyerahkan proposal tersebut kepada beliau. Tiba-tiba saja raut muka Bung Karno berubah menjadi tidak enak. Wajahnya yang selalu khas dengan senyum manisnya pun berubah menjadi wajah yang penuh dengan kekecewaan. Dengan geram, Bung Karno meremas proposal itu dan membantingnya ke lantai.
Pada suatu hari, Bung Karno memanggil ajudannya yang bernama Bambang Widjanarko. Kemudian, sesampainya di kamar istana merdeka, Bung Karno pun berkata kepada Bambang, “Bambang, saya tidak mau bertemu Mbakyu Wardoyo dalam satu bulan, saya sedang marah kepadanya. Lebih baik kamu usahakan agar Mbakyu tidak datang ke istana ini.”
Mendengar perkataan sang presiden, hati Bambang pun menjadi bimbang. Ia duduk dan tertunduk. Ia cukup tahu bagaimana perasaan sang presiden. Pasti hal yang berat untuk mengatakan hal seperti itu. Sebab di satu sisi, ia mengetahui betul kedekatan Bung Karno dengan Ibu Wardoyo. Di sisi lain, ia pun tahu kedekatan Ibu Wardoyo dengan putra-putri Bung Karno. Tapi, bagaimana pun juga Bambang hayalah seorang ajudan, mau tidak mau, ia hanya bisa menjawab, “Siap, Pak.”
Bambang yang memang belum tahu permasalahan sebenarnya pun segera menghubungi Pak Hardjowardoyo, Kepala Rumah Tangga Istana. Dari Pak Hardjo-lah akhirnya Bambang bisa tahu apa permasalahan yang sebenarnya. Namun menurut versi Pak Hardjo, Bung Karno tahu ada pengusaha Belanda “memakai” Ibu Wardoyo untuk mengegolkan proyek ke Presiden Sukarno, justru dari sebuah surat kabar Belanda.
Dari cerita di atas, kita bisa tahu betapa mandirinya seorang Bung Karno. Sifat semacam itulah yang selalu ia tanamkan kepada isteri dan anak-anaknya