Isu yang
pernah menjadi awan hitam dalam masa-masa kepemimpinan Bung Karno adalah
munculnya sebuah berita bahwa Soekarno adalah seorang komunis. Bahkan, isu
tersebut kian bergema seiring berdirinya Orde Baru atau pada awal-awal
runtuhnya masa keemasan Bung Karno. Apakah benar bahwa Bung Karno adalah
seorang komunis?,
Sebenarnya,
pertanyaan tersebut sudah terjawab melalui kutipan otobiografi karangan beliau
sendiri yang berjudul, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.” Pada Bab
I – Penyambung Lidah Rakyat Indonesia telah disebutkan keterangna berikut ini:
Barat
selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada Negara Ngera Sosialis
Komunis. “Ohh” kata mereka “Lihatlah Sukarno lagi lagi bermain main sahabat
dengan Blok Timur”. Yah, mengapa tidak?
Negara
Sosialis Komunis tidak pernah mengijinkan seorangpun bahkan media massa untuk
menghina dan mengejekku dalam pers mereka. Negara Sosialis selalu memujiku.
Mereka tidak membikinku malu ke seluruh dunia ataupun tidak mempermalukanku di
muka umum seperti seorang anak yang tercela dengan menolak memberikan lebih
banyak jajan sampai aku menjadi anak yang manis. Negara Negara Sosialis selalu
mencoba merebut hatiku. Krushchov mengirimiku jam dan puding dua minggu sekali
dan memetikkan apel, gandum, dan hasil tanaman lainnya dari hasil panennya yang
terbaik. Jadi, salahkah aku kalau berkata “Terimakasih rakyat rakyat negara
Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan.
Terimakasih rakyat rakyat negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak
menyakiti hatiku. Terimakasih, karena engkau telah menyampaikan kepada rakyatmu
bahwa setidaknya Sukarno mencoba sekuat tenaganya berbuat untuk negrinya.
Terimakasih atas pemberianmu. Apa yang kuucapkan itu adalah tanda terimakasih,
BUKAN KOMUNISME!
Bila kita
baca kutipan di atas, akan terlihat dengan sangat jelasnya bahwa Bung Karno
bukanlah seorang komunis. Beliau hanyalah manusia biasa yang dapat menerima
siapapun dan apapun dalam hidupnya. Tidak pernah ada salahnya bila kita
menerima kebaikan seseorang, bukan?. Seperti itulah yang dipikirkan oleh Bung
Karno saat itu.
Mengenai
pendapat bahwa Bung Karno adalah seorang komunis, beberapa praktisi sejarah
sepakat bahwa pendapat tersebut hanyalah isu atau berita miring belaka. Lalu, mengapa
isu itu harus dihembuskan? Hanya ada satu jawabnya yang bisa menjelaskan
permasalahan tersebut, yaitu kita harus ingat bahwa masyarakat Indonesia sangat
religius. Hal yang sedemikian membuat mereka menolak kehadiran ajaran Komunis.
Jangankan di masa Bung Karno, di masa sekarang pun masih banyak praktik-praktik
penolakan seperti itu. Masih jelas di memori kita bagaimana reaksi masyarakat
Indonesia ketika datangnya agama-agama atau aliran baru yang dianggap sebagai
aliran sesat. Dengan semangat membara, mereka mencoba melawan lahirnya agama
baru tersebut.
Kenyataan
tersebutlah yang dimanfaatkan oleh orang-orang zaman dulu untuk melepaskan
ikatan batin antara Bung Karno dan masyarakat. Namun sayangnya, ada beberapa
masyarakat Indonesia yang tidak bisa dibodohi dan dengan sadar mengatakan bahwa
“ Bung Karno bukanlah Komunis!”.
Bung Karno, memang
bukan terlahir dari seorang muslim tulen. Ayahnya bukanlah seseorang yang bergelar
“Haji”. Ibunya yang merupakan orang Bali tentunya sempat memeluk agama Hindu,
sebagaimana warga Bali lainnya. Namun, tahukah Anda bahwa Bung Karno sangat
mengenal Islam, bahkan pengetahuannya tentang Islam bisa dibilang sangat dalam.
Bung Karno
mengenal Islam semenjak ia berusia 15 tahun. Saat itu, ia masih duduk di bangku
HBS bersama H.O.S Cokroaminoto. Bersama Cokroaminoto inilah, Bung Karno sering
kali menghadiri kajian Muhammadiyah di seberang Gang Peneleh, Surabaya. Sebulan
sekali, ia mengaji di sana. Waktunya pun relatif lama, yaitu antara pukul 20.00 WIB hingga
larut malam.
Pada tahun
1928, Bung Karno mulai memperdalam ilmunya dalam membaca Al Qur’an. Pada waktu
itu, Bung Karno masih mendekam di penjara Sukamiskin, tepatnya di sel nomor
233. Sang penulis biografinya, yaitu Cindy Adams mengatakan bahwa sejak saat
itu, Soekarno sudah mulai rajin sholat 5 waktu. Dalam beberapa kesempatan, Bung
Karno pun sering menggunakan kata-kata “Insya Allah”. Mungkinkah orang yang
rajin mendirikan sholat lima kali sehari dan bibirnya selalu basah karena berdzikir
kepada Allah adalah seorang Komunis?.
Setelah Bung
Karno mengikuti beberapa pengajian dengan rutin, ia baru menyadari bahwa Tuhan
adalah segala-galanya. Tuhan itu Esa dan tidak ada bandingannya. Tuhan ada di
seluruh jagad raya. Tuhan bahkan ada di Saturnus, Tuhan juga ada di Mars bahkan
di Venus dan planet-planet lainnya. Bung Karno juga percaya, bahwa Tuhan itu
selalu ada di sekitar kita. Tuhan ada di depan, ada di samping, ada di belakang
dan di mana-mana. Tuhan selalu ada untuk menjaga dan melindungi makhlukNya.
Hubungan Segitiga antara PKI,
Soekarno dan Malaysia
Dalam
kacamata para sejarahwan, pengkhianatan PKI atas Bung Karno justru bukan dari
peristiwa 30 September yang sangat kontroversial itu, melainkan dengan
munculnya gerakan - gerakan terorganisis dan massive PKI yang “mendompleng”
ketenaran Bung Karno sebagai pemimpin besar revolusi kala itu. Mereka
berpendapat, bahwa Bung Karno telah “dikhianati” secara terang–terangan kala
itu. PKI bukan hanya telah menghianati presiden, tapi juga telah berhasil
memecah belah konfigurasi politik kala itu.
Berbicara
mengenai PKI memang akan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Hal tersebut
dikarenakan banyaknya fakta sejarah yang disembunyikan atau bahkan diputar
balikkan. Salah satunya adalah hubungan antara konfrontasi Malaysia dan
kedekatan Soekarno dengan PKI.
Keterlibatan
Malaysia dalam kasus ini dimulai semenjak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala
Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto
Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tuanku Abdul
Rahman-Perdana Menteri Malaysia saat itu-dan memaksanya untuk menginjak Garuda.
Tentu saja hal tersebut menyulut api amarah Soekarno terhadap Malaysia.
Pemimpin
negara manakah yang tidak marah bila melihat lambang negaranya diinjak-injak?.
Tentu saja, Presiden Sukarno sangat murka dengan tindakan Tengku Abdul
Rahman,yang menginjak-injak lambang Negara Indonesia dan merobek-robek foto
Bung Karno. Saat itu, Bung Karno sangat menyesalkan sikap Perdana Menteri Malaysia
yang diangapnya telah menghina dan merendahkan harga diri Indonesia.
Itulah
sebabnya, Presiden Sukarno ingin melakukan balas dendam,dan membentuk gerakan
yang terkenal dengan sebutan “Ganyang Malaysia”. Tidak hanya itu saja, Bung
Karno juga sempat meluapkan kemarahannya melalui sebuah pidato yang cukup
terkenal dengan judul “Ganyang Malaysia”.
Dalam pidato
tersebut, Bung Karno berkata, "Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan
udara kita diinjak-injak oleh Malaysia keparat itu. Doakan aku, aku kan berangkat
ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru
Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya. Serukan, serukan ke seluruh
pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan
membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang
kuat dan kita juga masih memiliki martabat."
Howard Jones,
seorang duta besar Amerika Serikat yang menjabat pada saat itu, melaporkan
kepada Washington bahwa ia bertemu Soekarno dalam keadaan yang penuh dengan
amarah. Menurut Howard Jones, Soekarno mengatakan bahwa ia sangat menyesalkan
tindakan kepala negara yang berani menginjak-injak lambang negara lain (dikutip dari telegram dari Kedubes AS di
Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 19 September 1963).
Pada saat
itu, Howard Jones menyatakan simpatinya, Namun Howard Jones juga mengatakan
bahwa Indonesia tak bisa mengandalkan bantuan AS jika ingin melawan Malaysia. Di
satu sisi, ada konflik di tengah-tengah TNI Angkatan Darat saat itu. Hal
tersebut diperjelas lagi dengan ketidak sediaan Jenderal Ahmad Yani mengerahkan
pasukan untuk menyerbu Malaysia.
Jenderal
Ahmad Yani merasa tidak yakin bahwa TNI Angkatan Darat bisa melawan Malaysia
yang mendapat dukungan dari Inggris. Namun berbeda dengan Jenderal Abdul Haris
Nasution yang setuju untuk menghancurkan Malaysia karena ia khawatir akan
sebuah isu yang mengatakan bahwa Malaysia akan ditunggangi PKI untuk memperkuat
posisinya di kancah politik di Indonesia.
Sebenarnya,
posisi PKI saat itu adalah sebagai salah satu gerakkan yang sangat ingin
menghancurkan Malaysia karena dianggap anak buah neokolonialisme dan
imperialisme. Namun, pertimbangan PKI bukan didasarkan sekadar idealisme. Namun
selain itu, PKI juga berusaha keras untuk membangkitkan semangat nasionalisme
Indonesia dan menempatkan PKI sebagai gerakan nasionalis yang lebih nasionalis
daripada tentara untuk memperkuat posisinya dalam dunia politik di Indonesia,
yang saat itu hanya dikuasi oleh tiga tokoh yaitu Soekarno, tentara, dan PKI.
Melihat
dukungan tentaranya yang hanya setengah-setengah, Presiden Soekarno pun sangat kecewa,
padahal ia ingin sekali mengganyang Malaysia karena tindakan Malaysia yang ia
anggap telah merendahkan harga diri bangsa Indonesia. Di tengah-tengah
kebimbangannya tersebut, akhirnya Soekarno mulai menjalin hubungan dengan PKI.
Hubungan keduanya pun semakin erat ketika mengetahui bahwa tentara sendiri
mengalami kegagalan dalam operasi gerilya di Malaysia.
Kekhawatiran Soekarno
Peristiwa
gagalnya operasi gerilya dengan Malaysia tersebut membuat PKI merasa di atas
awan dan sulit terkalahkan. Tidak hanya itu saja, posisi PKI pun mencuat naik
hingga 25 November 1964. Kepada Washington, Howard Jones melaporkan bahwa Adam
Malik, Chaerul Saleh, Jenderal Nasution dan Jenderal Sukendro, serta banyak
lagi yang lain berbondong-bondong bertandang untuk meminta bantuan kepada
Pemerintah AS agar menyelamatkan kaum moderat di Indonesia akibat semakin
menguatnya posisi PKI.
Gagalnya
Angkatan Darat dalam menumpas Malaysia ini ternyata berbuntut panjang. Hal
inilah yang juga disinyalir menjadi pemicu perpecahan di kubu Angkatan Darat
ini. Banyak tentara dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa
kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia. Mereka
menganggap bahwa petinggi Angkatan Darat bernyali kecil sehingga berperang
hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan
Soekarno. Selanjutnya, mereka pun mengambil keputusan yang sangat berlawanan
sekali, yaitu bergabung dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh
Angkatan Darat dari para jenderal besar bernyali kecil tersebut.
Hal lain yang
ditimbulkan dari konflik tersebut adalah melemahnya ekonomi rakyat pada saat
itu. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi hingga 650%. Hal tersebut
tentunya membuat rakyat Indonesia harus antri beras, minyak, gula dan berbagai
macam kebutuhan pokok lainnya.
Kemerosotan
Ekonomi Indonesia tidak hanya dipicu oleh keberadaan PKI saja, melainkan juga
keputusan Soeharto yang sangat aneh pada saat itu, yaitu menuntut kenaikan gaji
untuk para tentara Indonesia sebesar 500%. Kemiskinan yang melanda Indonesia
saat itu membuat kebanyakan rakyat Indonesia hidup dalam keperihatinan. Mereka
terpaksa makan bonggol pisang, umbi-umbian dan sebagainya. Kebutuhan sandang
dan papan mereka pun jadi terbengkalai.
Konflik
semakin memuncak pada 1 Oktober 1965. Di mana pada saat itu, enam jenderal
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh. Beberapa sumber sejarah menganggap
bahwa pembunuhan keenam jenderal senior tersebut sebagai wujud kudeta yang
dilakukan oleh Soeharto melalui tangan-tangan PKI. Namun, karena sejarah memang
sengaja dibelokkan, maka yang terlihat di masyarakat adalah bahwa Soeharto
adalah penumpas keganasan PKI, padahal sebetulnya Soekarno dan PKI adalah
korban dari ambisi Soeharto untuk menggantikan posisi Soekarno menjadi Presiden
Republik Indonesia kala itu.