Selasa, 06 Maret 2007

Soekarno, Sang Pencetus Pancasila


Pada tanggal 9 April 1945, pemerintah bala tentara Jepang pun segera membentuk “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yaitu sebuah badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan. Untuk ketua dari badan tersebut adalah Dr. Radjiman Widyodiningrat dan untuk wakil ketuanya adalah R.P. Suroso.
Meskipun seluruh anggota ini memiliki tugas sama yang meliputi seluruh Indonesia, namun anggota dari Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tersebar di beberapa tempat, seperti Jawa dan Madura. Menurut sejarah, waktu itu kemiliteram bala tentaraJepanh terdiri dari  kekuasaan Angkatan Darat (RIKU-GUN) untuk Jawa dan Sumatera. Sedangkan, untuk Indonesia bagian timur dikuasai oleh Angkatan Laut (KAIGUN).
Kemudian, pada 28 Mei 1945, badan penyelidik tersebut pun resmi dilantik. Adapun jumlah anggota dari badan penyelidik tersebut adalah 68 orang. Badan Penyelidik ini dibuat dengan tujuan untuk memeriksa persiapan-persiapan menyambut kemerdekaan Republik Indonesia,dan hal-hal yang berhubungan dengan usaha mendirikan negara Indonesia.
Lahirya Istilah Pancasila.
Dari 29 Mei hingga 1 Juni 1945, Badan Penyelidik tersebut mengadakan sebuah persidangan yang bersifat rahasia dan tertutup oleh umum. Dalam sidang tersebut, dibahas beberapa macam hal yang berkaitan dengan usaha untuk mendirikan negara Indonesia, salah satunya adalah membahas tentang dasar dan bentuk negara. Sebenarnya, dalam rapat tersebut banyak sekali peserta yang mengajukan pendapat, namun yang diketahui hanya 3 pidato yaitu Mr. M Yamin, Mr. Soepomo dan juga Ir. Soekarno.
Pada hari ke-3 sidang I, yaitu tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno pun menyampaikan pidatonya tentang “Philosofische Gronslag” atau Landasan Dasar Filsafat Undang-Undang Dasar Yang Sedang Dipersiapkan. Dan pidato beliau, lahirlah sebuah pandangan baru yang kemudian disebut dengan kata Pancasila. Kemudian beliau pun menjelaskan perihal Pancasila tersebut.
“Saudara-saudara! Dasar-dasar negara telah saya usulkan, lima bilangannya. Inilah Panca Darma? Bukan! Nama Panca Darma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik, simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya, jari kita lima setangan, kita mempunyai panca indera, apalagi yang lima bilangannya (seorang yang hadir menjawab) Pandawa Lima, Pendawa-pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip ; Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan, dan Ketuhanan, lima pula bilangannya” tak lama kemudian, beliau pun melanjutkan pidatonya.
“Namanya bukan Panca Dharma tetapi saya namakan dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah “Pancasila” Sila artinya Azaz atau Dasar, dan di atas lima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi” Demikianlah kutipan pidatonya Bung Karno tentang pemberian nama terhadap azaz-azaz kenegaraan.
Dan pada dasarnya istilah Pancasila itu adalah merupakan tuntunan akhlaq (code of morality) dari literatur umat Budha, yang biasanya perkataan tersebut disingkat menjadi “Pansil”. Menurut ajaran Budha bahwa Pancasila itu di dalam Vinaya adalah peraturan-peraturan untuk menjauhkan diri dari pembunuhan, mencuri, kebejatan/kejahatan sexual, kepalsuan dan minuman yang memabukkan.”
Jadi, sebenarnya Pancasila itu berasal dari negeri India yang merupakan salah satu ajaran Sang Sidharta Gautama. Kemudian oleh penguasa India yang bernama Raja Asyoka, Pancasila pun dijadikan suatu landasan dalam bersikap atau code of morality bagi rakyatnya. Hal tersebut dilakukan tentunya untuk kemajuan kehidupan rohani rakyat yang berada di Kerajaan Asyoka dan sekitarnya. Berikut ini adalah potongan teks Pancha Shila yang terdapat di dalam kita Vinaya Pancha Shila.
  1. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari pembunuhan)
  2. Adinnadana veramani sikkha-padam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari pencurian)
  3. Kamesu Micchara veramani sikkhapadam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari perzinahan)
  4. Mussavada veramani sikkhapadam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari kebohongan).
  5. Surameraya majja pamadattahana veramani sikkapadam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari makanan dan minuman yang memabukkan dan menjadikan ketagihan)
Rumusan Teks Pancasila Versi Muh. Yamin, Soepomo dan Ir. Soekarno
Dalam sidang tersebut, beberapa tokoh yang hadir ikut memberikan sumbangan pemikiran mengenai rumusan isi teks Pancasila. Adapun rumusan teks Pancasila dari masing-masing tokoh adalah sebagai berikut:

Muh. Yamin
Kesempatan pertama diberikan kepada Mr. Mohammad Yamin untuk menyatakan pemikirannya tentang dasar negara Indonesia merdeka di hadapan sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. Dalam kesempatan tersebut, Mr. Yamin menyampaikan pemikirannya diberi judul ”Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”. Berikut adalah inti dari pidato Mohammad Yamin:
1.      Peri Kebangsaan;
2.      Peri Kemanusiaan;
3.      Peri Ketuhanan;
4.      Peri Kerakyatan;
5.      Kesejahteraan Rakyat.

Mr. Supomo
Giliran kedua, jatuh pada Mr. Supomo. Beliau  mendapat giliran mengemukakan pemikirannya di hadapan sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Adapun isi dari pemikirannya berupa penjelasan tentang masalah-masalah yang berkaitan erat dengan dasar negara Indonesia merdeka. Dalam pidato tersebut, Supomo menyampaikan bahwa sebuah negara yang akan dibentuk hendaklah negara integralistik yang berdasarkan pada hal-hal berikut ini:
1.      Persatuan;
2.      Kekeluargaan;
3.      Keseimbangan lahir dan batin;
4.      Musyawarah;
5.      Keadilan sosial.

Ir. Sukarno
Ir Soekarno pun mendapatkan kesempaan terakhir untuk menyampaikan rumusannya mengenai teks pancasila. Beliau menyampaikan ideologinya pada tanggal 1 Juni 1945. Adapun rumusannya adalah sebagai berikut ini:
1.      Kebangsaan Indonesia;
2.      Internasionalisme atau perikemanusiaan;
3.      Mufakat atau demokrasi;
4.      Kesejahteraan sosial;
Ketuhanan Yan

Jumat, 02 Maret 2007

Soekarno, Sultan Hamid II dan Lambang Garuda


Garuda, siapa sangka bahwa burung fiktif yang hanya ada di dalam cerita pewayangan tersebut bisa menjadi lambang negara kita. Padahal, burung Garuda dulu hanya berupa lukisan relief di candi-candi dieng saja. Beberapa tahun kemudian, relief burung Garuda juga diukirkan di candi Prambanan. Selain itu, lambang Garuda juga sering kali digunakan sebagai materai/stempel kerajaan. Salah satu kerajaan di Indonesia yang pernah menggunakan Garuda sebagai stempel kerajaannya adalah Kerajaan Erlangga.
Burung Garuda telah disyahkan sebagai lambang Negara Republik Indonesia pada 11 Februari 1950, dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah no 66 tahun 1951. Tapi pertanyaannya, siapakah penggagas dari penggunaan burung Garuda ini sebagai lambang negara kita?.
Usut punya usut, ternyata penggagasnya adalah seorang Sultan dari Pontianak yang bernama, Sultan Abdurrahman Hamid Alkadrie II atau dikenal dengan Sultan Hamid II. Pada waktu itu, Sultan Hamid menjabat sebagai Mentri Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sultan Hamid II terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Beliau adalah putra sulung Sultan Pontianak. Dalam tubuh Sultan Hamid II sebenarnya mengalir darah Indonesia-Arab, walau beliau juga pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris.
Cerita pembuatan lambang kenegaraan ini bermula ketika pada suatu hari Soekarno meminta Sultan Hamid II untuk merencanakan, merancang dan juga merumuskan gambar lambang negara. Pada waktu itu, Sultan Hamid II sedang menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio.
Berdasarkan rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung pada tahun 1974, pada waktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan bahwa ide perisai Pancasila muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Ketika sedang merancang lambang negara, Sultan Hamid II teringat ucapan Presiden Soekarno. Beliau pernah mengatakan bahwa ada baiknya jika lambang negara itu bisa mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara digambarkan ke dalam lambang negara.
Proses berikutnya terjadi pada tanggal 10 Januari 1950, yaitu ketika dibentuknya Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio sendiri, yaitu Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, MA Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka yang menjadi anggota kepanitiaan. Semua panitia di sini mengemban tugas yang sama, yaitu menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Sayembara tersebut diikuti oleh banyak orang, namun hanya ada dua karya yang diterima oleh panitia, yaitu karya Sultan Hamid II sendiri dan karya M. Yamin. Setelah melalui rapat yang cukup lama, akhirnya panitia cenderung memilih rancangan karya Sultan Hamid II, sedangkan karya M. Yamin ditolak karena ada gambar sinar matahari yang dianggap sebagai pengaruh dari Jepang.
Setelah rancangan disetujui, Sultan Hamid II pun segera menghadap Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Mereka bertiga pun berunding untuk menyempurnakan rancangan tersebut. Setelah memakan waktu cukup lama, akhirnya mereka pun mencapai satu kesepakatan yaitu, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula berupa peta merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Kemudian, Presiden Soekarno pun memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Itulah salah satu karya anak bangsa yang patut kita hargai. Sewajarnyalah bila kita sebagai generasi muda bisa mencontoh para pendahulu kita untuk memberikan sesuatu yang bisa membanggakan nama bangsa Indonesia.
Tanggal 20 Maret 1940, Presiden Soekarno memerintahkan Dullah, sang pelukis istana untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Sultan Hamid II yang masih kita gunakan hingga saat ini.
Bung Karno percaya, bahwa suatu hari nanti Indonesia akan menjadi sebuah negara yang maju, berkembang dan tidak bisa diremehkan lagi. Bila Bung Karno saja percaya, mengapa kita tidak mengamini doa beliau?. Mari kita pelihara amanah Bung Karno, kita ambil semangat-semangan nasionalismenya dan kita jadikan perjuangannnya sebagai salah satu simbol bahwa setiap kesuksesan memang layak untuk kita perjuangkan.

Kamis, 01 Maret 2007

The Heroic Side of Soekarno


Bila kita kupas kisah tentang Bung Karno, maka akan selalu kita temukan the heroic side of Soekarno atau sisi kepahlawanan seorang Soekarno. Ya, para sejarahwan dunia pun mengakui hal tersebut. Soekarno memang memiliki kisah heroik yang tidak sedikit, baik itu sebelum atau sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan penuh semangat dan kepercayaan diri, Bung Karno selalu tampil yang terdepan untuk mengikuti jalannya revolusi yang penuh riak gelombang. Bahkan, semangatnya yang berapi-api tersebut bisa ia jadikan semangat untuk menghadapi panas-dinginnya suhu politik kala itu.
Bung Karno memang menjadi seorang tokoh yang tidak pernah sepi dari kontroversi. Bung Karno selalu muncul di tengah-tengah kerumunan para pejuang dengan ide-idenya yang sangat tidak masuk akal. Mari kita flashback sebentar pada kasus romusha. Saat itu, ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia mati secara mengenaskan karena menjadi romusha yang harus bekerja secara paksa pada zaman pendudukan Jepang.
Ironisnya, saat itu Bung Karno justru ditugasi Jepang untuk mendata dan “merayu” rakyatnya memasuki ranah kerja paksa yang mengerikan itu. Bung Karno hanya bisa meneteskan air mata ketika mengingat kejadian yang sangat mengerikan tersebut. Kepada Cindy Adam, Bung Karno menyampaikan penyesalannya melalui sebuah pengakuan sebagai berikut, “Sesungguhnya akulah –Sukarno – yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, ya akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha. Dengan para wartawan, juru potret, Gunseikan –Kepala Pemerintahan Militer- dan para pembesar pemerintahan aku membuat perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang-kerangka-hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis-belakang, itu jauh di dalam tambang batubara dan tambang mas. Mengerikan. Ini membikin hati di dalam seperti diremuk-remuk.”
Selanjutnya, mari kita lihat sejarah pembentukan PETA. Pada bulan Februari 1944, sebuah pasukan yang menamakan dirinya sebagai Pembela Tanah Air (PETA) yang dipimpin oleh Suprijadi melakukan serangkaian pemberontakan. Peristiwa ini tertulis dengan tinta emas dalam sejarah bangsa. Bahkan, pemberontakan PETA di Blitar tercatat sebagai satu-satunya perlawanan paling besar melawan Jepang selama masa pendudukannya di Indonesia. Saat itu, tentara militer Jepang melatih beberapa pemuda yang berbadan keras dan memiliki kemampuan yang cukup untuk membela diri. Tentu saja, para pemuda tersebut dilatih untuk dijadikan kekuatan oleh Jepang dalam rangka melawan serangan para sekutu.
Rencana pembentukkan PETA pun sampai juga ke telinga Bung Karno saat itu. Akhirnya, Bung Karno sendiri yang turun tangan untuk memilih pemuda-pemuda cakap dan memiliki keahlian dalam berperang untuk direkrut sebagai anggota PETA, salah satunya adalah Gatot Mangkupraja, seorang pemberontak PNI yang dulu juga sempat dijebloskan ke penjara Sukamiskin pada tahun 1929.
Tentu saja sikap Bung Karno tersebut ditentang oleh beberapa pemuda. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang secara tegas “mengutuk” perbuatan Soekarno sebagai salah satu sikap pengecut karena telah memihak Jepang. Padahal, sikap Bung Karno saat itu berdasarkan perhitungan. Bung Karno berharap, bahwa  dengan menjadi anggota PETA, maka para pemuda pribumi bisa mendapat pelajaran-pelajaran penting tentang dasar-dasar kemiliteran, ilmu berperang, strategi bertempur, dan penguasaan peralatan perang modern.
Namun sayangnya, para pemuda terlalu cerdas untuk dikadali oleh pihak Jepang. Mereka tidak mau dijadikan “boneka” untuk melawan sekutu. Supriyadi merupakan tokoh yang menggawangi pemberontakan ini. Ia memimpin para pemuda PETA untuk menghancurkan markas Jepang.
Tentu saja, hal tersebut membuat Jepang murka. Akhirnya Jepang pun melakukan tindakan yang sangat keji. Mereka menembaki, membantai, memenggal para pemuda yang tergabung dalam PETA tersebut. Tidak hanya itu saja, Supriyadi pun jadi target incaran Jepang. Dalam satu versi menyebutkan bahwa, Supriyadi tertembak mati karena tertembus timah panas oleh Jepang. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa Supriyadi berhasil meloloskan diri dari kejaran tentara Dai Nippon, Jepang.
Lalu, bagaimana reaksi Soekarno saat itu? Kepada Cindy Adams, Bung Karno pun berkata bahwa ia terpaksa membuang muka atas tatapan wajah bangsanya. Bung Karno sama sekali tidak punya kekuatan untuk melawan Jepang atas apa yang terjadi di Blitar.
Tentu saja, sikap Bung Karno yang seakan-akan acuh terhadap penderitaan rakyat Indonesia melalui peristiwa romusha dan peta tersebut di atas, membuat Bung Karno mendapatkan julukkan baru, yaitu the collaborator. Bung Karno dituding mau bekerja sama dengan Jepang.
Emosi para pemuda saat itu benar-benar tinggi. Mereka tetap menganggap bahwa Bung Karno tidak mempedulikan rakyat sendiri. Bung Karno marah dan menukas, “Itulah pandangan yang dangkal. Orang yang berpikir demikian, tidak bisa melihat jangka yang lebih jauh ke depan. Tujuan yang pokok adalah melengkapi alat perjuangan bagi kemerdekaan. Tidak ada maksud lain daripada itu.”
Julukan sebagai pihak yang turut bekerja sama dengan Jepang tersebut tidak hanya datang dari para pemuda, melainkan dari seorang dokter yang sempat merawat Bung Karno. Pada suatu ketika, terjadilah percakapan antara dokter tersebut dengan Bung Karno.
Dokter itu membantah, “Tapi ingatlah bahwa Jepang datang kemari untuk menjajah. Dia itu musuh. Bertempur di samping mereka berarti membantu Fasisme!”
Bung Karno menjawab, “Kukatakan, pendirian yang demikian itu terlalu picik. Tapi, baiklah, Jepang itu datang kemari untuk menjajah dan harus diterjang keluar. Akan tetapi ingat, bahwa mereka adalah penjajah yang bisa diperalat. Saya membantu pembentukan PETA — ya! Tapi bukan untuk mereka! Tidakkah dokter memahaminya? Untuk kita! Untuk engkau! Untukku! Untuk Tanah Air kita! Atau, apakah dokter tetap mau menjadi orang jajahan sampai hari kiamat?
Dokter itu pun terus mengeluarkan bantahannya dengan berkata kepada Sukarno, “Rakyat menyatakan tentang Bung Karno, bahwa……..”

“Rakyat tidak mengatakan apa-apa!” Bung Karno pun segera memotong perkataan dokter tersebut. “Jikalau mereka yakin, bahwa saya tidak menempuh jalan yang paling baik, tentu rakyat tidak akan mengikuti saya, bukan? Coba, apakah memang rakyat tidak mengikuti saya?”
“Tidak.”
“Bukankah mereka mengikuti saya?”
“Ya, seratus persen.”
“Jadi, rakyat tidak mengatakan apa-apa. Hanya beberapa pemuda yang kepala panas saja yang mengatakan….”
Namun tidak serta merta sikap Bung Karno selalu identik dengan hal-hal yang berbau kontroversi. Bung Karno juga memiliki sifat yang mulia dan penuh perhatian kepada semua orang, termasuk kepada para ajudannya sekalipun. Sebagai contohnya adalah, Bung Karno pernah membatalkan keberangkatan rombongan sewaktu akan meninggalkan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa pengawalnya yang belum dapat jatah sarapan pagi. Bung Karno pun segera memberikan komando kepada rombongannya untuk menunda keberangkatan hingga semua pengawal selesai sarapan.
Tidak hanya itu saja, Bung Karno juga memerintahkan ajudannya supaya selalu memperhatikan semua sopir dan pengawal agar tak satu pun dari mereka yang terlantar makan dan minumnya. Seperti itulah figur seorang pemimpin seharusnya. Tidak hanya mampu memimpin dan memberi perintah, tapi juga bisa memberikan rasa cinta, kasih, perhatian, keamanan dan juga kenyamanan.