Minggu, 06 Mei 2007

The Great Soekarno


Ir. Soekarno adalah Presiden Indonesia yang pertama kali. Beliau menjabat pada periode 1945 – 1966. Selain menjadi seorang presiden, beliau juga terkenal sebagai penyambung lidah rakyat. Kedekatannya dengan rakyat memang pantas diacungi jempol dan juga pantas dicontoh oleh pemimpin di era sekarang. Ia juga berperan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno terlahir dengan nama Koesno Sosrodihardjo. Ia lahir di Surabaya pada 06 Juni 1901. Ia merupakan putra dari Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Namun karena sebuah sakit yang berkepanjangan, kedua orang tua Soekarno, pun merubah nama “Koesno Sosrodiharjo” menjadi Soekarno. Namun, tahukah Anda bahwa di beberapa Negara barat, nama Soekarno memiliki nama depan, yaitu Achmed. Sehingga, orang-orang barat tersebut terbiasa menyebut nama Soekarna dengan Achmed Soekarno.
Soekarno kecil merupakan seorang anak yang cukup pintar. Ia tercatat pernah bersekolah di Eerste Inlandse School, yaitu sekolah tempat ia bekerja. Pada tahun 1911, Soekarno melanjutkan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS). Pada tahun 1920, Soekarno pun berhasil lulus dari HBS. Setelah itu, ia pun segera melanjutkan pendidikannya di Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925. Setelah Soekarno menamatkan pendidikannya di Technische Hoge School, ia pun menjadi seorang arsitek.
Selama menempuh pendidikan di HBS, Soekarno pernah bertemu dengan ketua Sarekat Islam yaitu HOS. Tjokroaminoto. Bahkan Tjokoroaminoto pun mengijinkan Soekarno untuk menetap di kediamannya. Soekarno melewati masa mudanya dengan berbagai macam organisasi, salah satunya adalah Tri Koro Darmo, sebuah organisasi yang dibentuk dari Budi Utomo. Pada tahun 1918, Soekarno mengganti nama organisasi tersebut menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Tidak hanya itu saja, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Ketika berada di Technische Hoge School Bandung, Soekarno pun bertemu dengan sahabat kari Tjokroaminoto, yaitu H. Sanusi yang pada waktu itu juga merupakan ketua dari Sarekat Islam. Di sanalah, ia membuat sebuah organisasi bersama dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan juga Dr. Douwes Dekker.
Semangat nasionalisme Soekarno yang tinggi, membuatnya merasa tertantang untuk membuat sebuah organisasi. Akhirnya, pada tahun 1926, Soekarno pun mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi tersebut merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Fakta yang harus diketahui adalah, bahwa organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.
Sepak terjang Soekarno di PNI ternyata sangat meresahkan bagi Belanda. Akhirnya, pada bulan Desember 1929, Soekarno ditangkap dan kemudian ditahan di Penjara Banceuy. Selanjutnya di tahun 1930, Soekarno pun dipindahkan ke Sukamiskin. Pada waktu itu ia mengeluarkan sebuah pembelaan (pledoi) yang cukup terkenal, yaitu Indonesia Menggugat (pledoi). Berkat pledoi tersebut, Soekarno pun akhirnya dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Ternyata pengalaman pernah ditangkap oleh Belanda, tidak membuat nyali Soekarno mengecil. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia), yang merupakan pecahan dari PNI. Ternyata nasib naas pun kembali menimpa Soekarno. Beliau kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores.
Soekarno memang mengalami beberapa kali pengasingan. Namun, ketika ia dtahan di tempat ini. Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Walaupun ia acap kali ditangkap dan ditahan oleh Belanda, namun semangatnya tetap berkobar-kobar. Setelah diasingkan di Ende, Flores, pada tahun 1938 hingga tahun 1942, Ir. Soekarno pun diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru dibebaskan kembali di tahun 1942,  pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Kegigihan dan sepak terjang Soekarno pun ternyata mampu memikat pemerintahan pendudukan Jepang. Akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Pemerintah kependudukan Jepang memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain untuk berperan aktif dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia, seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI. Akhirnya, beberapa tokoh nasional pun bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk tetap berjuang demi terwujudnya Indonesia yang merdeka. Meskipun, masih ada tokoh-tokoh nasional yang masih beranggapan bahwa Jepang adalah fasis yang berbahaya, seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin.
Selain ikut aktif dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh pemerintah kependudukan Jepang, Soekarno juga selalu aktif dan berperan penting di dalam usaha untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945, dasar-dasar pemerintahan Indonesia dan juga berperan di dalam merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan.
Di tahun 1943, seorang Perdana Menteri Jepang yang bernama Hideki Tojo mengundang Soekarno, Mohammad Hatta dan juga Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang. Mereka bertiga disambut dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan pada kesempatan tersebut, Kaisar Hirohito memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada ketiga tokoh Indonesia tersebut.
Tentu saja hal tersebut membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena dengan pemberian penghargaan tersebut, sama artinya bahwa ketiga tokoh tersebut dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri.
Namun sayangnya, hubungan harmonis antara Soekarno dengan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda yang mengira bahwa Soekarno telah bekerja sama dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha.
Pada masa perang revolusi, ada sebuah peristiwa yang cukup terkenal hingga kini yaitu Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.
Pagi harinya, yaitu 16 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Hatta sudah tidak dapat ditemukan lagi di Jakarta. Mereka sudah dibawa pergi oleh beberapa pemuda, seperti Sukarni, Yusuf Kunto, dan Syudanco Singgih ke Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak sebelah Utara Karawang. Mengapa harus Rengasdengklok?, dipilihnya Rengasdengklok sebagai tempat persembunyian yang tepat karena didasarkan pada perhitungan militer. Jika dilihat secara geografis, Rengasdengklok letaknya cukup terpencil, sehingga bisa dengan mudah dideteksi setiap gerakan tentara Jepang yang menuju Rengasdengklok, baik dari arah Jakarta, Bandung, atau Jawa Tengah. Di Rengasdengklok tersebut, beberapa pemuda tersebut kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apapun risikonya.
Sementara itu, suasana di Jakarta pun ikut memanas. Terlebih, setelah bertemunya golongan muda, yang diwakili Wikana, dan golongan tua, yang diwakili oleh Mr. Ahmad Soebardjo. Kedua golongan tersebut berunding mengenai nasib bangsa ke depannya. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka mereka segera mengutus Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo menuju Rengasdengklok.
Sesampainya di sana, mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs.Moh. Hatta untuk kembali ke Jakarta. Sesampainya mereka di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak bisa dipakai untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka mereka pun menyetujui tawaran Laksamana Muda Maeda untuk rapat PPKI di rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi).
Golongan muda dan tua pun kembali berunding untuk merumuskan dan juga menyusun teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Perundingan tersebut berlangsung pada pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Adapun para penyusun teks proklamasi tersebut adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan juga Mr. Ahmad Soebarjo tentunya. Sedangkan untuk konsep teks proklamasi, ditulis langsung oleh Ir. Soekarno sendiri.
Sementara itu, di ruang depan juga hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Pada kesempatan itu, Sukarni turut menyumbangkan ide segar agar Soekarno dan juga Drs. Moh. Hatta yang menandatangani teks proklamasi itu. Setelah berhasil dirumuskan, teks proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik.
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dari pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Ir. Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang sebelumnya sudah dijahit oleh Ibu Fatmawati pun segera dikibarkan. Acara pun dilanjutkan dengan sambutan walikota Jakarta yang saat itu dijabat oleh Soewirjo, dan juga pimpinan barisan pelopor, yaitu Moewardi.
Sehari setelah itu, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI pun segera mengangkat Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi presiden dan juga Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945, KNIP pun mengukuhkan pengangkatan tersebut.
Soekarno Kelahiran Surabaya, Bukan Blitar
Hingga saat ini, belum jelas mengapa fakta sejarah mengenai tempat kelahiran Soekarno bisa diputar balikkan. Padahal, Soekarno bukanlah pemuda kelahiran Blitar, melainkan Surabaya. Hal ini diperjelas oleh Ketua Umum Soekarno Institute, Peter A. Rohi yang mengatakan bahwa sang proklamator Indonesia itu dilahirkan di Surabaya, tepatnya di Jalan Pandean IV/40. Saat ini, sejarah yang telah dibelokkan tersebut sedang diluruskan oleh warga Surabaya dengan cara memasang prasasti di kediaman Bung Karno tersebut. Adapun proses pembuatan prasasti sudah dimulai sejak 6 Juni 2011 lalu.
Peter juga menjelaskan ibahwa Bung Karno lahir di sebuah rumah kontrakan yang berada di Jalan Lawang Seketeng, Surabaya. Sekarang, nama tersebut berubah menjadi Jalan Pandean IV/40.
Peter A. Rohi pun juga menjelaskan bahwa Jalan Lawang merupakan tempat berkumpulnya beberapa pemuda yang tergabung di dalam 'Laskar Pemuda Revolusi' pimpinan Soekarno di zaman penjajahan dulu. Tidak hanya itu saja, di kampung ini juga bisa ditemukan rumah-rumah pejuang lainnya seperti rumah Mayjen Soengkono, Gubernur Suryo dan juga Bung Tomo.
Peter pun telah melakukan banyak cara untuk membuktikan fakta sebenarnya bahwa Soekarno lahir di Surabaya, bukan di Blitar. Salah satu caranya adalah dengan mengumpulkan bukti-bukti yang mampu menguatkan argumennya tentang kota kelahiran Soekarno tersebut. Bukti tersebut berupa buku-buku yang menuliskan Soekarno lahir di Surabaya. Di antaranya, buku berjudul 'Soekarno Bapak Indonesia Merdeka' karya Bob Hering, 'Ayah Bunda Bung Karno' karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, 'Kamus Politik' karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950, 'Ensiklopedia Indonesia' tahun 1955, 'Ensiklopedia Indonesia' tahun 1985, dan 'Im Yang Tjoe' tahun 1933 yang ditulis kembali oleh Peter A. Rohi dengan judul 'Soekarno Sebagai Manoesia' pada tahun 2008
Di Jalan Pandean tersebut berdiri sebuah rumah dengan ukuran 6 x 14 meter. Ada pun rumah tersebut terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga untuk santai dan juga dua kamar. Di bagian belakang, terdapat dapur dan juga sebuah tangga kayu untuk akses ke lantai dua. Sedangkan di lantai dua tersebut, biasanya hanya digunakan untuk menjemur pakaian. “Dari dulu hingga kini, ya seperti ini. Kami sama sekali tidak pernah mengubahnya, atau merenovasi,” ujar Siti Djamilah, pemilik rumah saat ini. Siti Djamilah mengaku bahwa ia sudah memiliki rumah tersebut semenjak tahun 1990.