Bila berbicara tentang kisah cinta Soekarno dengan Inggit Ganarsih,
mungkin kita akan terpaku sejenak. Karena kisah cinta Soekarno dengan Inggit
Ganarsih lebih dari sekedar roman kondang Shakespeare yang berjudul Romeo
& Juliet atau dongeng 1001 malam Aladin dan Lampu Wasiat. Kisah
cinta Soekarno dan Inggit yang merupakan
pasangan pejuangan pergerakan melebihi cerita-cerita kepahlawanan Clark and
Louis Lane (Superman) ataupun Peter Parker and Mary Jane (Spiderman).
Kekuatan cinta mereka berdua sama sekali tidak ada tandingannya. Kisah cinta
mereka tertanam begitu jelas dalam sebuah pepatah, “Di balik kesuksesan
seorang pria, ada wanita kuat dan istimewa di belakangnya”.
Lalu, siapakah sebenarnya Inggit
Ganarsih?. Mengapa ia begitu spesial di mata Soekarno?. Mengapa nama itu begitu
berharganya hingga diciptakan sebuah buku
khusus untuk seorang Inggit Ganarsih?. Inggit Ganarsih adalah seorang
wanita yang terlahir di Kamasan, Banjaran pada tanggal 17 Februari 1888.
Perjalanan hidup Inggit juga bisa
dibilang cukup memperihatinkan, karena pada usia 12 tahun Inggit sudah
dinikahkan dengan Nata Atmaja, yang saat itu merupakan seorang patih di Kantor
Residen Priangan. Namun sayangnya, perkawinan ini tidak bertahan lama dan
beberapa tahun kemudian Inggit menikah lagi dengan seorang pedagang kaya yang
juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi. Mereka tinggal
di Jl. Kebonjati. Pernikahan keduanya pun terpaksa harus berakhir, H. Sanoesi
pun menceraikan Inggit secara baik-baik untuk dinikahkan dengan Soekarno yang
saat itu tinggal di rumahnya sebagai seorang pelajar.
Kisah cinta Inggit Ganarsih dan juga
Soekarno berawal di tahun 1921. Saat itu, salah seorang tokoh Sarekat Islam
(SI) yang bernama Haji Sanusi (Kang Uci) dipanggil oleh pemimpinnya, H. Umar
Said Tjokroamidjodjo (Pak Tjok). Tentu saja, saat itu Pak Tjok ingin menugaskan
Kang Uci untuk sebuah misi yang tidak sebentar, dalam artian misi tersebut
membuntuhkan waktu yang lama. Di satu sisi, Pak Tjok juga meminta Kang Uci agar
menyiapkan akomodasi untuk salah seorang kader politiknya yang akan kuliah di
THS ((Technische Hogeschool) di Bandung.
Saat itulah, Kang Uci menawarkan rumahnya
Siapakah kader dari Pak Tjok tersebut?, dialah Soekarno.
Keberadaan Soekarno yang cukup tenang, kalem, ramah dan juga
berkarisma ternyata cukup menarik perhatian Pak Tjok. Akhirnya, Pak Tjok pun
memperkenalkan puteri tunggalnya yang bernama Oetari kepada Soekarno. Setelah
sama-sama tertarik, Pak Tjok pun segera menikahkan keduanya. Namun sayangnya,
pernikahan ini hanya bertahan seumur jagung. Keduanya pun berpisah tanpa alasan
yang jelas. Mereka bercerai tanpa sempat melakukan hubungan suami isteri
seperti pada umumnya. Setelah bercerai, Oetari pun segera pulang ke Surabaya,
sementara itu Soekarno tetap melanjutkan pendidikannya di Bandung dan memilih
untuk menetap di kediaman Kang Uci.
Kang Uci adalah seorang sahabat yang cukup baik kepada Soekarno.
Bahkan, bersama isterinya yaitu Inggit Ganarsih, Kang Uci selalu melayani
Soekarno dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sebenarnya, saat itu tidak
hanya Soekarno yang tinggal di kediaman Kang Uci, tapi juga ada beberapa pemuda
lainnya yang juga menempuh pendidikan di THS. Namun, hanya Soekarno lah yang
paling menonjol. Selain penampilannya yang bersih, putih dan juga selalu rapih,
Soekarno juga tidak pernah menghabiskan malamnya untuk berhura-hura seperti para
pelajar lainnya. Setiap malam, Soekarno selalu menghabiskan waktunya untuk
bercengkrama dengan sesama pejuang pergerakkan. Tentu saja, hal tersebut
membuat Soekarno lebih sering bertemu dengan Inggit Ganarsih.
Soekarno yang saat itu berusia 20 tahun, ternyata begitu tertarik
dengan Inggit Ganarsih. Wawasan Inggit begitu luas, hal tersebut bisa
dilihatnya dari cara Inggit berbicara. Namun sayangnya, saat itu Inggit berusia
35 tahun dan statusnya juga isteri orang. Sehingga, Soekarno tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia hanya bisa berusaha untuk memendam perasaannya yang ia anggap
sebagai “cinta terlarang” tersebut.
Ternyata rasa cinta Soekarno kepada Inggit Ganarsih benar-benar
sudah tidak bisa dibendung lagi. Ia tidak bisa berlama-lama menyiksa bathinnya
dengan perasaan seperti itu. Selain itu, rasa cintanya terhadap Inggit
membuatnya tidak bisa berkonsentrasi selama menempuh pendidikan di THS. Bukan
Soekarno jika mudah menyerah.
Akhirnya, Soekarno pun melakukan sebuah tindakan yang paling berani
atau bisa juga yang paling nekad seumur hidupnya. Dengan percaya diri, ia
mendatangi Kang Uci untuk menyatakan ketertarikannya terhadap isterinya
tersebut. Sejurus kemudian, Soekarno juga mengatakan bahwa ia sangat ingin
memperistri Inggit Ganarsih. Setelah mempertimbangkan dengan bijak, pengusaha
kaya raya tersebut segera menceraikan isterinya, Inggit Ganarsih. Akhirnya mereka
menikah pada 24 Maret 1923, Inggit pun segera dinikahkan dengan Soekarno.
Soekarno merasa sangat beruntung sekali karena telah memiliki
Inggit Ganarsih. Ia sama sekali tidak peduli dengan omongan orang yang selalu
mempermasalahkan tentang perbedaan usia di antara mereka berdua. Beberapa orang
mungkin menganggap bahwa Soekarno putus asa karena kegagalan dalam pernikahan
pertamanya, sehingga ia memilih wanita yang jauh lebih tua darinya. Namun semua
itu didiamkannya saja. Ia tidak pernah mau terlalu memikirkan perkataan orang.
Ternyata benar, kedewasaan Inggit inilah yang akhirnya menempa
pribadi seorang Soekarno saat itu. Inggitlah yang tidak pernah berhenti
memberikan dukungan pada calon proklamator itu. Selain itu, posisi Soekarno
yang saat itu merupakan seorang pemimpin pergerakkan nasional, membuat Inggit
Ganarsih harus menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Bu Inggit menjual bedak, meramu jamu dan juga menjahit kutang untuk
menafkahi keluarganya. Sementara Soekarno yang memang mendapat julukan “Singa
Podium” ini selalu mengaum dari satu podium ke podium berikutnya untuk membakar
semangat juang pemuda Indonesia saat itu. Pikirannya tercurah untuk untuk
pergerakan. Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa
pamrih tanpa motivasi.
Banyak yang mengatakan bahwa Inggit Ganarsih adalah isteri Bung
Karno yang terbaik. Jika Bung Karno adalah api, maka bu Inggit adalah kayu bakarnya.
Inggit selalu menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan. Inggit jugalah menghibur
ketika Soekarno kesepian. Beliau jugalah yang menjahitkan ketika kancing baju
Soekarno lepas. Inggit Ganarsih selalu hadir ketika Soekarno muda membutuhkan
kehangatan perempuan baik sebagai ibu maupun teman.
Kesetiaan dan pengorbanan
Inggit Ganarsih memang tidak pernah berhenti. Ia jugalah yang mengatur jadwal
dan akomodasi Soekarno berpidato di depan massa untuk menyebarkan semangat
perjuangan dan juga nasionalisme. Selain itu, Inggitlah yang dengan setia
menemani masa-masa sedih Soekarno ketika ia dipenjara di Bandung, lalu dibuang
ke Ende, dan dilanjutkan ke Bengkulu. Inggit-lah yang selalu menjadi sumber
inspirasi politik kedua bagi Soekarno, setelah Tjokroaminoto. Sungguh, sebuah
kolaborasi yang cemerlang dalam sebuah pergerakkan. Mereka berdualah yang
akhirnya membuat gagasan tentang sebuah nasionalisme dalam sebuah tulisan yang
berjudul Nasionalisme,
Agama dan Marxisme (1926). Ketahuilah, bahwa tulisan tersebutlah
yang nantinya akan menjadi format ideologi Indonesia.
Selama di Bengkulu inilah, Soekarno menampung seorang pelajar putri
yang merupakan dari Hassan Din. Pelajar puteri tersebut bernama Fatimah. Karena
Soekarno dan Inggit tidak memiliki keturunan, maka Soekarno memberanikan diri
berkata kepada Inggit untuk menikahi Fatimah. Meskipun Inggit tahu betul
keinginan Soekarno untuk memperoleh keturunan, namun sayangnya Inggit bukanlah
seorang wanita yang mau dimadu. Inggit justru memilih bercerai daripada harus
membagi cinta dan berbagi suami dengan wanita lain. Akhirnya, mereka kemudian
bercerai di Bandung pada tanggal 29 Feruari 1942 dengan disaksikan oleh KH Mas
Mansur. Kemudian, Soekarno pun segera menyerahkan surat cerainya kepada H.
Sanoesi yang mewakili Inggit.
Kesetiaan Inggit Ganarsih kepada Soekarno sangat sesuai dengan buku
roman-biografis Soekarno-Inggit karya Ramadhan KH, “Kuantar ke Gerbang” (1981).
Inggit memang hanya mengantarkan Soekarno ke depan pintu gerbang kemerdekaan
Republik Indonesia. Demikianlah kekuatan dan ketulusan cinta Inggit Ganarsih
pada Soekarno. Cinta yang semata-mata karena cinta, bukan karena alasan
lainnya. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti.
Beberapa orang juga sering menyamakan sosok Inggit Ganarsih ini
dengan Maria Theresa yang merupakan istri Rousseau atau Kasturbay yang
merupakan istri Mahatma Gandhi. Theresa memang bukanlah pemberi sumbangan
pikiran atau teori untuk revolusi Perancis. Begitu juga dengan Kasturbay yang
memang tidak pernah memberikan sumbangan pikiran atau teori revolusi India.
Demikian juga halnya dengan Inggit Ganarsih, ia tidak pernah memberikan
sumbangan pikiran dan teori untuk revolusi Indonesia. Inggit Ganarsih hanya
bisa menunjukkan kasih sayang dan kesetiaan yang tiada goyah kepada suami yang
sedang mengalami cobaan dan derita dalam perjuangan. Maria Theresa, Kasturbay,
dan juga Inggit Ganarsih memang memiliki satu kesamaan yang patut kita contoh,
yaitu berbakti kepada bangsanya.
Inggit Ganarsih tidak pernah kecewa dengan jalan hidup yang
dipilihnya. Ia bangga karena pernah menjadi seseorang yang sangat berarti di
hati Sang Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno. Setelah perceraiannya
tersebut, Inggit pun beberapa kali harus berpindah rumah. Inggit pernah berada
Banjaran dan Garut selama terjadinya Agresi Militer I & II (1946-1949).
Setelah itu, Inggit kembali lagi ke
Bandung dan tinggal di rumah keluarga H. Durasid di Gg. Bapa Rapi.
Inggit terpaksa hidup di rumah orang lain, karena rumahnya yang berada di Jl. Ciateul
rusak karena peristiwa Agresi Militer. Akhirnya, rumah tersebut kembali di
bangun dengan bangunan yang lebih permanen pada 1951 atas prakarsa. Di rumah
inilah, Inggit Garnasih melanjutkan hari tua hingga akhir hayatnya. Inggit
wafat pada 13 April 1984 dalam usianya yang menginjak 96 tahun. Kemudian, ia
dimakamkan di komplek permakaman Caringin (Babakan Ciparay), Bandung.
Perlu diketahui bahwa, Soekarno meninggal terlebih dahulu yaitu
pada 21 Juni 1970 di Jakarta. Saat itu, Inggit masih bisa datang ke kediaman
Soekarno untuk melayat dan mendoakan Soekarno dengan mengatakan, “Ngkus,
gening Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun… (Ngkus, kiranya Ngkus
mendahului, Inggit doakan….).”
Bila Anda datang ke Bandung, tidak ada salahnya bila Anda melewati
Jl. Ciateul (kini bernama Jl. Inggit Ganarsih). Berhentilah di sebuah rumah
lama yang telah dicat baru. Di situlah dulu Inggit Ganarsih tinggal.
Sempatkanlah untuk menengok ke dalam rumah tersebut, niscaya Anda tidak akan
menemukan apa-apa, kecuali satu pelajaran tentang CINTA.
Soekarno
dan Fatmawati
Setelah bercerai dengan Inggit, Soekarno pun segera menikahi
Fatimah dan membawanya ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, Bung Karno merubah
nama Fatimah menjadi Fatmawati yang artinya adalah “bunga teratai”.
Fatmawati adalah seorang wanita yang banyak menemani perjuangan
Soekarno sebelum proklamasi kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan
Indonesia. Wanita cantik ini juga ikut serta dalam menggoreskan sejarah
Indonesia dengan menjahit bendera pusaka merah-putih dengan tangan beliau
sendiri. Adapun bendera hasil buah tangan beliau tersebut, dikibarkan pada saat
upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Fatmawati juga selalu
berada di mana pun suaminya berada. Hal tersebut terlihat ketika peristiwa Rengasdengklok.
Saat itu, beberapa pemuda menculik Soekarno dan membawanya ke Rengasdengklok.
Lalu di mana Fatmawati saat itu?, ternyata Fatmawati pun juga ikut serta Bung
Karno dengan membawa Guntur Soekarnoputra yang saat itu mash bayi.
Setelah upacara proklamasi kemerdekaan, maka Fatmawati pun resmi
menjadi seorang ibu negara. Sebuah posisi yang tidak pernah ia bayangkan
sebelumnya, karena Fatmawati memang tidak pernah berpikir bahwa suatu hari
nanti ia akan menjadi seorang first lady.
Meskipun posisi dirinya adalah sebagai seorang ibu negara, namun
kehidupannya lebih merakyat dan inklusif. Dia telah berhasil menciptakan image
bahwa seorang ibu itu harus bersahaja, dan memang sudah menjadi tugas seorang
wanita untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Dari pernikahan
Soekarno dengan Fatmawati ini membuahkan lima orang anak, mereka adalah Guntur
Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati
Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Sebuah berita mengejutkan terdengar pada tanggal 14 Mei 1980.
Berita tersebut adalah meninggalnya ibu Fatmawati karena serangan jantung
ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Mekah yang lalu dimakamkan di Karet
Bivak, Jakarta.