Jumat, 10 November 2006

Heldy Djafar, Cinta Terakhir Sang Presiden


Siapakah sebenarnya gadis cantik bernama Heldy Djafar yang berhasil menjadi cinta terakhir sang presiden? Heldy Djafar, atau biasa sering dipanggil dengan nama Heldy tersebut adalah seorang gadis yang berasal dari Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ia lahir pada 10 Agustus 1947.
Sebenarnya, Heldy sudah mulai kagum dan tertarik dengan sang presiden ketika Bung Karno berpidato di alun-alun Samarinda. Saat itu, usia Heldy baru menginjak 10 tahun. Namun sayangnya, sang kakak tidak mengijinkan Heldy untuk melihat pidato tersebut karena suasana di alun-alun Samarinda yang cukup ramai dan hiruk pikuk. Memang, seperti itulah bila Bung Karno sedang berpidato, alun-alun seluas apapun serasa tidak mencukupi karena selalu dibanjiri oleh rakyat Indonesia yang ingin mendengar pidato sang presiden.
Heldy pun bersedih hati karena ia hanya bisa mendengarkan pidato sang presiden. Padahal, ia sangat ingin melihat kebesaran dan ketokohan sosok yang fotonya banyak terpasang di dinding rumah orangtuanya itu. 
Di keluarganya, Heldy memang terkenal sebagai seorang gadis yang cantik. Namun, selain cantik, Heldy juga dikenal begitu pandai dan luwes dalam mengenakan kebaya. Itulah sebabnya mengapa Heldy bisa memenangkan lomba mengenakan kebaya dan juga tercatat pernah menjadi cover dalam sebuah majalah yang bernama Majalah Pantjawarna
Salah satu bukti kecerdasan Heldy lainnya adalah dengan terpilihnya Heldy ke dalam barisan Bhineka Tunggal Ika, yaitu sebuah barisan yang diprakarsai langsung oleh Presiden Soekarno. Barisan ini terdiri dari remaja-remaja dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Barisan ini adalah bagian dari protocol istana yang selalu berdiri berjajar sebagai pagar ayu dan juga pagar bagus dalam acara-acara kenegaraan. Tentu saja, Heldy merasa sangat bahagia sekali karena dengan terpilihnya ia menjadi salah satu bagian dari barisan Bhineka Tunggal Ika tersebut, bisa saja menjadi kunci pembuka kesempatannya untuk bertemu dengan sang Presiden.
Pada suatu hari di tahun 1964, harapan Heldy tersebut pun menjadi sebuah kenyataan ketika acara pembukaan lomba bulu tangkis, Thomas Cup. Saat itu, Heldy ikut serta berjajar di tangga Istana Merdeka bersama anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika lainnya. Pada waktu itu, Heldy mengenakan kebaya berwarna pink dengan kain lereng dan juga berselendang.
Tibalah saatnya di mana Bung Karno mulai berjalan menuruni anak tangga. Seperti biasa, beliau berjalan sambil mengamati barisan Bhineka Tunggal Ika yang berjajar di sebelah kanan dan kirinya. Beliau pun memandang satu demi satu anggota barisan tersebut sambil tersenyum manis kepada mereka semua. Ketika Bung Karno berdiri depan Heldy, beliau pun mendekati Heldy kemudian menepuk bahu kirinya.
“Dari mana asal kamu?”
“Dari Kalimantan, Pak,” jawab Heldy kaget dan gemetar. 
“Oh, aku kira dari Sunda. Rupanya ada orang Kalimantan yang cantik.”
Kebahagiaan Heldy tidak bisa tergambarkan saat itu. Ia bangga karena akhirnya, ia bisa juga melihat tokoh idolanya yang selama ini hanya bisa dilihat lewat foto dan didengar suaranya lewat radio. Pertemuan pertama yang penuh ketegangan namun sangat berkesan. 
Pertemuan Heldy dengan sang presiden tidak hanya terjadi saat itu saja, pertemuan kedua pun terjadi saat Heldy dan kawan-kawan mendadak diminta pihak sekolah menjadi barisan Bhinneka Tungga Ika di Istana Bogor. Pada saat itu, semua keperluan sudah disediakan lengkap. Setiap anggota barisan Bhineka Tunggal Ika mendapatkan kain, kebaya, cemara untuk sanggul, selop. Tidak hanya itu saja, mereka juga sudah disiapkan seorang penata rias, yaitu Ibu Maryati yang akan mendandani mereka semua.
Heldy yang saat itu merasa tidak nyaman karena tampil denga kebaya yang kedodoran, sanggulnya kendor, tidak berani tampil di depan. Heldy hanya bisa berdiri di sudut agar terlihat tidak mencolok. Namun sayangnya, harapan Heldy kali ini tidak terwujud nyata. Bung Karno malah mendekatinya dan mulai bertanya,
 “Sanggulmu salah, bukan begini. Juga kebaya dan kainmu. Siapa yang mendandanimu?”
“Ibu Maryati, Pak,” jawab Heldy dengan polos sambil menundukkan wajahnya. Kakinya begitu gemetar dan hatinya berdebar kencang sekali. Pertemuan kedua yang sungguh merontokkan mentalnya.
Beban mental Heldy pun tidak hanya pada saat itu saja. Saat itu, ia diminta untuk bernyanyi, kebetulan Heldy mendapatkan giliran yang pertama kali. Heldy memilih lagu daerah Kalimantan, karena sedikit orang yang paham dengan bahasa Kalimantan. Heldy memilih sebuah lagu daerah Kalimantan yang bercerita tentang kisah panen padi. Namun sayangnya, Presiden Soekarno justru meminta Heldy untuk mengulanginya. Maka Heldy pun mengulangi nyanyiannya tersebut dengan keringat dingin yang terus bercucuran.
Setelah persitiwa tersebut, Heldy jarang bertemu dengan sang Presiden. Terlebih lagi ketika Heldy harus menjalani operasi amandel. Namun sayangnya, ia kembali harus bertugas sebagai barisan Bhineka Tunggal Ika. Saat itu, ia berdandan cantik dengan sanggul yang sempurna dan sebuah kebaya hijau yang anggun dan pas di badan.
Ketika acara dimulai, Heldy belum bisa menghilangkan rasa canggungnya sehingga ia tetap mengambil untuk berdiri di posisi sudut. Tapi Presiden Soekarno malah meminta Heldy mendekat. Kala itu, mental Heldy pun langsung jatuh. Ia tidak berhenti berpikir, kesalahan apa lagi kali ini?, sehingga gadis cantik yang berusia 18 tahun tersebut melangkah pelan dengan kaki gemetaran.
“Ke mana saja kau, sudah lama tidak kelihatan?” Rupanya presiden memperhatikan.
“Sakit, Pak,” jawab Heldy dengan suara lirih tercekat.
“Bohong, kau pacaran. Saya lihat kau di Metropole sedang menonton film.”
“Tidak, Pak,” kali ini Heldy berani mengangkat muka. Tapi pertanyaaan bertubi-tubi mengubur kembali nyalinya. Heldy kembali tertunduk.
“Nanti kau lenso sama aku ya. Sini, kau duduk dekat aku,” kata Presiden.
Waktu untuk menari lenso pun tiba. Heldy yang sebelumnya sudah sering diajari kakaknya menari lenso, tahu harus melakukan apa. Tapi menari lenso dengan Presiden?, hal tersebut tidak pernah terlintas di pikiran Heldy sama sekali.
Siapa yang tidak gugup bila menari dengan seorang presiden?. Rasa gugup tersebut pun semakin bertambah ketika Heldy harus menari lenso bersama presiden di hadapan banyak tamu penting, juga artis penghibur yang lebih senior seperti Titiek Puspa, Rita Zahara, dan Feti Fatimah. Heldy hanya bisa menunduk dan membiarkan pinggang kecilnya dipeluk oleh Bung Karno yang tak pernah berhenti menatapnya. Pada saat itulah, Bung Karno pun segera bertanya kepada Heldy.
“Siapa namamu?” tanya Bung Karno sambil berbisik.
“Heldy,” jawabnya pelahan.
“Sekolahmu?”
“Kelas dua SKKA.”
“Berapa umurmu?”
“Delapan belas tahun.”
“Hm … cukup.”
“Boleh aku datang ke rumahmu?”
Dari situlah, Heldy mulai yakin dengan perasaan Bung Karno yang sepertinya benar-benar menyukainya. Tapi, saat itu Heldy penuh dengan dilema. Ia tidak mau terlalu percaya diri tentang “khayalannya” itu. Heldy cukup tahu akan posisinya yang hanyalah rakyat jelata. Namun di tengah-tengah rasa bimbangnya, Heldy tidak tahu maksud perkataan Bung Karno, “Hmm … cukup” tadi? 
Seorang Presiden Pun Pernah “Ditolak”
Hubungan Heldy dengan Bung Karno pun berlanjut dengan kunjungan Sang Presiden ke rumah Heldy pada tanggal 12 Mei 1965. Sebenarnya, sebelum kedatangan Bung Karno, beliau sudah mengutus beberapa ajudannya untuk memberitahukan kepada keluarga Heldy tentang rencana kedatangan Bung Karno. Pada kesempatan itu, beberapa ajudannya tersebut juga berpesan kepada saudara Heldy untuk mematikan lampu teras.
Adapun maksud dari kunjungan Bung Karno tersebut adalah, bahwa Bung Karno hendak menyatakan ketertarikannya kepada Heldy. Saat itu, Heldy hanya bisa mengatakan bahwa ia masih terlalu muda. Heldy meminta agar Bung Karno memilih wanita lain saja. Heldy merasa masih terlalu muda. Heldy meminta agar Bung Karno memilih perempuan lain saja. Bung Karno hanya bisa tersenyum saja, sambil menyerahkan sebuah bingkisan yang berisi jam tangan Rolex.
Selanjutnya Bung Karno pun mengajak Heldy sekeluarga untuk makan malam. Heldy mendampingi Bung Karno di jok belakang. Sementara anggota keluarga lainnya ikut dengan mobil lainnya. Dalam perjalanan itulah Bung Karno mulai mengutarakan lagi tentang ketertarikannya kepada Heldy. Beliau pun berkata kepada Heldy, “ Dik, kau tahu. Kau tidak pernah mencari aku, aku juga tidak mencari engkau. Tapi Allah sudah mempertemukan kita.” Bung Karno selalu memanggil Heldy dengan sebutan Dik, dan belakangan ia juga menolak Heldy memanggil Pak. Ia ingin Heldy memanggilnya Mas.
Akhirnya dengan tiga buah kendaraan, mereka pun telah sampai di daerah Sampur dan menikmati sate ayam kesukaan Bung Karno.
Setelah kunjungan saat itu, Bung Karno pun makin sering berkunjung ke rumah Heldy. Tidak hanya sekedar ingin bertemu dengan Heldy, Bung Karno pun juga memberikan sejumlah uang yang cukup besar kepada keluarga Heldy. Bahkan, Heldy pun juga diberi hadiah berupa mobil Holden Premier warna biru telur asin. Semenjak pemberian mobil tersebut, Heldy pun jadi sering ke Istana.
Kedekatan antara Bung Karno dengan Heldy membuat orang-orang berpikir bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Kebersamaan Bung Karno dengan Heldy tersebut tentu saja ada suka dan dukanya. Salah satunya adalah ruang gerak Heldy menjadi sangat sempit. Bung Karno tidak akan membiarkan ada hal buruk yang menimpa kekasihnya itu, sehingga setiap Heldy berangkat ke sekolah harus selalu dalam pengawalan. Akhirnya Heldy pun mengambil keputusan untuk bersekolah di rumah. Melalui home schooling tersebutlah, Heldy banyak belajar tentang bahasa Belanda dan bahasa Inggris.
Seiring bertambah eratnya hubungan Bung Karno dengan Heldy, maka hadiah dari Bung Karno mengalir terus tanpa pernah diminta. Bung Karno tidak hanya memberikan perhatian dan perlindungan, beliau juga memberikan Heldy sebuah rumah di Jln. Cibatu (kini Jln. Prof. Djokosutono). Bung Karno juga mengganti mobil Holden Premier pun dengan Mercedes Benz 220 S warna hitam bernomor polisi yang sesuai dengan tanggal lahirnya, B 1008.
Mereka pun Akhirnya Menikah
Setelah hampir setahun lamanya Bung Karno menjalin kasih dengan Heldy, akhirnya pada bulan Mei 1966, Bung Karno kembali meminta kesediaan Heldy menjadi istrinya. Saat itu, Heldy hanya bisa terdiam saja. Heldy tahu betul bahwa Bung Karno telah memiliki banyak isteri, yaitu Siti Oetari Tjokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi, Haryatie, Kartini Manoppo, dan Yurike Sanger. Namun di antara beberapa isteri Bung Karno, dengan Yurike lah yang ia kenal dengan baik, karena pernah sama-sama menjadi anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika.
“Ketahuilah, bahwa yang ku cari bukan wanita yang cantik luarnya saja. Tapi juga yang cantik di dalamnya, dan itu ada padamu. Bagiku, kau sungguh menarik, dan kau juga bisa beribadah dan mengerti baca Al Quran, ini yang aku cari sesungguhnya.” Tutur Bung Karno
“Saya tidak bisa menolak lamaran Bapak, hubungan kita sudah telanjur dekat. Saya mau menikah dengan Bapak,” Heldy pun menjawab sambil menatap Bung Karno.
Setelah melalui pembicaraan yang cukup serius, akhirnya tanggal pernikahan pun dipilih yaitu 11 Juni 1966 atau lima hari setelah ultah tahun Bung Karno yang ke-65. Namun sayangnya, pernikahan Bung Karno dengan Heldy berlangsung dengan penuh keperihatinan, karena sehari sebelum resepsi pernikahan berlangsung, ayahanda Heldy yaitu H. Djafar meninggal dunia karena serangan jantung.
Akhirnya, pernikahan tersebut berlangsung dengan disaksikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Idham Chalid, Erham Djafar yang berperan sebagai wali, dan juga Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri. Bung Karno dan Erham berjabatan erat, kedua saksi mendengarkan kata yang terucap dari bibir Bung Karno.
Minta izin untuk menjauh 
Pada suatu siang, beberapa Corps Polisi Militer (CPM) bertandang ke rumah Heldy dan mengatakan  kepada Bung Karno bahwa rumah tersebut tidak layak untuk disinggahi seorang presiden. Akhirnya, Bung Karno pun tinggal bersama Yurike Singer di daerah Polonia, Jakarta Timur. Betapa malang nasib Heldy yang harus ke sana bila ingin bertemu dengan Bung Karno, suaminya yang sangat ia cintai.
Ketika Heldy menemui Bung Karno pun, suasana tidak seindah dulu lagi, karena  mereka bertemu dengan pengawasan dari Yurike. Heldy tak habis pikir, dulu ia adalah sahabat baik Yurike, tapi mengapa kini Heldy melihat ada api kecemburuan yang sangat besar di mata Yurike. 
Tidak hanya kecemburuan dari Yurike saja yang cukup meresahkan bagi Heldy, namun juga beberapa surat dan telefon yang kadang berisi terror, tentu saja inti dari terror tersebut adalah meminta Heldy untuk tidak menemui Bung Karno lagi. Maka pada suatu kesempatan, Heldy pun memberanikan diri berbicara dengan Bung Karno. Ia berkata, “ Mas, saya sungguh tidak tahan lagi dengan situasi ini. Kita tidak bisa terus bersama, dan kalau bertemu harus di rumah orang lain. Saya mohon izin untuk menjauh dari Mas.”
“Dik, aku tidak mau pisah sama kau. Kau cinta terakhirku. Aku tak kan meninggalkanmu, kecuali bila aku pulang ke Rahmatullah.” Air mata Heldy menetes perlahan dan membasahi tangan Bung Karno yang diciumnya. Ia ingin menjelaskan kepada Bung Karno bahwa ia sangat menderita lahir bathin selama ini. Namun semua itu ia simpan karena tak ingin menambah beban pikiran Bung Karno.
Namun, akhirnya Heldy pun berpisah juga dengan Bung Karno. Kesedihan pun tersirat dari wajah kedua orang tersebut. Namun sesedih apapun, kehidupan harus terus berjalan. Setelah kepergian Heldy, Bung Karno tidak lagi tinggal di rumah Yurike, melainkan di rumah Ratna Sari Dewi. Sedangkan Heldy dipersunting oleh Gusti Suriansyah Noor yang merupakan putra Pangeran Mohamad Noor dari Istana Kutai Kartanegara yang pernah menjadi Menteri Pekerjaan Umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar