Selasa, 21 November 2006

Srihana-Srihani, Kisah Cinta Soekarno dan Hartini


Bila mengupas tuntas tentang roman cinta Soekarno, maka kurang lengkap rasanya bila tidak melibatkan sosok Hartini ini. Yah, Hartini adalah seorang wanita pilihan Soekarno yang ternyata memiliki kesetiaan tinggi. Dia jugalah yang menemani Soekarno hingga pudarnya masa kekuasaan Soekarno, bahkan hingga Soekarno tutup usia. Siapakah Hartini ini?, mengapa namanya terukir indah dalam sebuah buku yang berjudul Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno.
Hartini adalah seorang janda beranak lima yang ditemukan oleh Soekarno ketika kunjungannya di Salatiga. Istri keempat Presiden Soekarno ini lahir di Ponorogo, 20 September 1924. Selain cantik, Hartini juga terkenal pandai. Hal tersebut disebabkan karena Hartini merupakan wanita yang berpendidikan. Ia pernah menempuh pendidikan di Nijheidschool (Sekolah Kepandaian Putri).
Kepandaian dan kecantikannya inilah yang membuat Suwondo tertarik kepadanya. Hingga akhirnya, ia pun mempersunting Hartini. Kemudian, Suwondo memboyong Hartini untuk tinggal di Salatiga. Namun sayangnya, pernikahan mereka tidak berjalan lama. Suwondo dan Hartini pun bercerai ketika Hartini berusia 28 tahun. Dari pernikahannya dengan Suwondo, Hartini dikaruniai lima orang anak. Setelah bercerai dari Suwondo, Hartini harus bekerja keras untuk bisa bertahan hidup dengan kelima anaknya. Lalu bagaimana pertemuannya dengan Sang Presiden?.
Pertemuan keduanya pun bisa dibilang sangat unik, dramatik dan juga romantis. Saat itu, Bung Karno melakukan kunjungan ke Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada yang terletak di Kotabaru.  Sebelum sampai ke Yogyakarta, Bung Karno mampir sebentar di Salatiga. Di samping itu, Bung Karno juga memang sudah dijadwalkan untuk mengunjungi Salatiga.
Setibanya di Salatiga, Bung Karno pun segera mengunjungi kediaman Bapak Wali Kota Salatiga. Dalam kesempatan tersebut, ia berkeliling ke dapur. Tanpa sengaja, ia melihat seorang wanita cantik yang terbungkus dalam sebuah kebaya yang indah. Dialah wanita yang bernama Hartini itu.
Setelah itu, Bung Karno diharap untuk segera menuju ke lapangan Tamansari untuk berpidato. Saat itu, Bung Karno begitu bahagia karena melihat rakyatnya yang memenuhi lapangan Tamansari. Untuk meredam suasana yang sudah “panas” dengan teriakan “MERDEKA” dari para pengunjung lapangan Tamansari tersebut, Bung Karno pun membuka pidato dengan sebuah tembang berjudul “Suwe Ora Jamu.”
Suwe ora jamu
Jamu pisan jamu kapulogo
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan nang Solotigo…
Tentu saja, tembang tersebut disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah dari para pengunjung. Belum lagi pekikan suara “MERDEKA” yang semakin bergemuruh di lapangan tersebut. Jangan heran, seperti itulah bila Bung Karno sedang berada di atas podium. Bung Karno selalu bisa menghangatkan suasana, membakar semangat dan tentunya berhasil menebar benih-benih nasionalisme dalam diri rakyatnya. Bung Karno memang selalu berapi-api dalam pidatonya. Sehingga pantas saja bila beliau mendapat julukan “Singa Podium”.
Setelah selesai berpidato, Bung Karno pun kembali ke rumah Bapak Walikota untuk menikmati hidangan makan siang. Saat itu, Bung Karno memang terasa sangat lapar. Dari beberapa hidangan yang tersaji di meja, ada satu hidangan yang membuat Bung Karno tertarik, yaitu sayur lodeh. Bung Karno pun segera mencicipi sayur lodeh tersebut. Tiba-tiba saja, Bung Karno memanggil Bapak Walikota dan bertanya, “Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap terima kasih kepadanya.”
Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno karya Arifin Suryo Nugroho dijelaskan bahwa John D. Legge mengungkapkan bahwa memang ada tiga wanita special yang ada di hati Bung Karno, yaitu Sarinah, Inggit dan juga Hartini. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa Hartini cukup bersyukur mengenai momen sayur lodeh yang kemudian mengubah jalan hidupnya tersebut. Hartini masih ingat betul, ketika Bung Karno menjabat tangan Hartini begitu hangat dan dalam waktu yang cukup lama. Bung Karno seperti tersihir dengan pesona kecantikan Hartini dan segala kelebihannya itu. Sambil berjabat tangan, Bung Karno pun bertanya, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”
Setelah pertemuan tersebut, Bung Karno selalu terbayang-bayang pesona Hartini. Bung Karno merasakan ada getaran yang aneh dan tak biasa. Senyum manis dan paras ayu Hartini, seakan-akan selalu menjadi menu utama di pagi hari Sang Presiden tersebut. Bung Karno benar-benar tak bisa tenang, pikirannya selalu dibayang-bayangi Hartini.
Pada suatu hari, Bung Karno pun bangun dari lamunannya. Ia segera mengambil secarik kertas dan sebuah pena.“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.” Itulah salah satu isi dari surat cinta Bung Karno kepada Hartini. Dalam surat tersebut, Bung Karno menggunakan nama samaran “Srihana” sedangkan untuk Hartini, bung Karno cukup menuliskan kata Srihani, sebagai nama samaran pula. Akhirnya, dalam surat menyurat berikutnya, kedua insan yang sedang dimabuk cinta tersebut selalu menggunakan nama Srihana dan Srihani.
Jalinan kisah cinta keduanya pun berujung pada sebuah kepastian, di mana Bung Karno dengan resmi meminang Hartini. Namun kala itu, Hartini masih belum bisa berkata apa-apa. Hartini tahu betul bahwa Bung Karno adalah seorang pria beristri. Ia juga tahu bahwa Bung Karno sudah memiliki Bu Fatmawati sebagai first lady. Belum lagi petuah dari kedua orang tua Hartini yang selalu mengingatkan kepada Hartini bahwa menjadi isteri kedua itu berat, biarpun oleh raja atau presiden.
Hartini pun minta waktu untuk berpikir dulu. Dalam penantiannya tersebut, Bung Karno pun masih sering berhubungan dengan Hartini melalui surat. Pada masa-masa itulah, Hartini semakin yakin bahwa ia benar-benar mencintai Bung Karno. Hartini pun tidak bisa terlalu lama membohongi perasaannya, hingga akhirnya Hartini pun menerima pinangan Bung Karno tapi dengan satu syarat. Hartini berkata kepada Bung Karno, “Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”
Singkat cerita, mereka berdua pun berencana untuk menikah. Namun, Bung Karno harus meminta ijin terlebih dulu kepada Fatmawati. Tepatnya dua hari setelah Guruh Soekarno Putra lahir, yaitu tanggal 15 Januari 1953, Bung Karno pun menemui Fatmawati dan meminta ijin untuk menikahi Hartini. Besarnya cinta Fatmawati kepada Bung Karno, membuat wanita tersebut pun akhirnya mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Namun kemudian, pernikahan tersebut menuai protes dari berbagai organisasi wanita yang dimotori Perwari yang anti poligami. Setelah suasana agak membaik, Soekarno dan Hartini akhirnya menikah di Istana Cipanas, 7 Juli 1953.
Keberadaan Hartini di sisi Bung Karno benar-benar memegang peranan yang sangat penting. Ia sering menemani Bung Karo untuk bertemu dengan tamu-tamu kenegaraan lainnya seperti Ho Chi Minh, Norodom Sihanouk, Akihito dan Michiko. Hartini benar-benar menunjukkan rasa cinta dan pengabdiannya kepada Soekarno. Bahkan dalam satu kesempatan, Hartini pun sempat berkata, “Saya cinta pada orangnya, pada Bung Karno-nya, bukan pada presidennya…. Saya akan perlihatkan kepada masyarakat, bahwa saya bisa setia, dan akan mendampingi Bung Karno dalam keadaan apa pun, juga dalam kedudukannya. Dan saya (Hartini), telah membuktikannya.” Tidak hanya itu saja, rasa sayangnya kepada Bung Karno dan rasa hormatnya kepada isteri-isteri Bung Karno lainnya pun ditunjukkan dalam perkataannya berikut ini, “Bapak memperhatikan betul semua keperluan istri-istrinya.”
Beberapa sahabat Bung Karno menyebutkan bahwa Hartini merupakan pasangan terbaik bagi Soekarno. Hal itu bisa dilihat dari sikap dan tata bahasa Hartini yang sangat sopan kepada Bung Karo, baik sebelum menikah maupun setelah menikah. Hartini selalu tahu mengenai unggah-ungguh atau sopan santun, baik itu dalam keadaan santai, resmi, atau saat-saat memadu cinta. Hal tersebut ditunjukkan oleh Hartini dengan selalu menggunakan bahasa Jawa srata tertinggi yang disebut “kromo inggil”.
Aku Tidak Merebut Soekarno
Di tahun 1999, Majalah Tempo pernah melakukan sebuah wawancara dengan Hartini Soekarno mengenai hubungannya dengan Bung Karno. Berikut ini adalah kutipan wawancara wartawan majalah TEMPO: Yayi Ichram, Hermien Y. Kleden, serta fotografer Robin Ong:
Apakah Anda selalu menghadiri perayaan di Istana Negara setiap 17 Agustus?
Tergantung kondisi tubuh. Kalau kuat, biasanya saya hadir. Kehadiran di Istana selalu membawa berbagai perasaan: terharu, gembira, sedih. Banyak kenangan dari masa lalu melintas begitu saja. Saya bahagia karena undangan itu menandakan rasa hormat kepada jasa-jasa Bung Karno.
Kapan terakhir kali Anda berdiam di Istana?
Saya menempati paviliun Istana Bogor. Keluar dari sana, setelah Bapak tidak lagi menjadi presiden. Melihat Istana Bogor mendatangkan terlalu banyak kenangan. Di sana saya pertama kali diperkenalkan sebagai istri Bung Karno. Di sana pula saya melahirkan Bayu dan Taufan. Kehidupan di Istana Bogor akan menjadi bagian dari buku yang kini sedang saya siapkan.

Bagaimana hubungan Anda dengan putra-putri Bung Karno dari Ibu Fatmawati pada masa-masa itu?
Sebagai orang tua, sebisa mungkin kita bersikap bijaksana. Hubungan dengan anak-anak Bu Fat biasa saja. Kita harus tahu bagaimana menempatkan diri. Itu adalah suatu rahasia hidup yang harus dijalani dengan ikhlas.
Bahagiakah Anda menjadi istri Bung Karno?
Saya sangat mencintai suami saya. Saya bahagia, kendati banyak suka-dukanya. Bung Karno, dia laki-laki yang sangat gentle. Ia selalu mengingat dengan detail setiap peristiwa penting dalam hidup kami: ulang tahun saya, ulang tahun perkawinan, hari lahir anak-anak. Di mana pun ia berada, selalu menulis secarik telegram atau kartu pos.
Bagian mana yang terasa paling berat dari perkawinan dengan Bung Karno?
Yang paling berat? Dia sangat mencintai keindahan, dan juga keindahan dalam kecantikan wanita. Cintanya kepada wanita yang cantik adalah beban bagi saya. Tapi saya sudah belajar menerima dia sebagaimana adanya, bukan bagaimana dia seharusnya. Saya sangat sadar bahwa dia presiden yang dimiliki oleh semua orang.
Bagaimana Anda belajar mengatasi beban perasaan karena Bung Karno begitu populer di kalangan wanita?
Itu bukan hal mudah. Saya belajar mengatasi hal itu, sediki demi sedikit. Marah, cemburu, itu biasa karena saya hanyalah manusia normal. Saya sangat mencintai dia, dan saya kawin dengan Bung Karno dengan "biaya" yang sangat mahal.
Hartini, Lambang Perempuan Jawa
Dari kisah di atas, sudah tergambar jelas bagaimana sifat Hartini yang memang sangat pantas untuk dijadikan sebagai lambang perempuan Jawa saat itu. Sikapnya yang nrimo, dan selalu patuh terhadap perintah suami memang menjadi sesuatu yang sangat langka di zaman sekarang.
Itulah, sebuah catatan sejarah yang mengajarkan kepada kita tentang sebuah pribadi yang sangat luhur, penuh cinta dan rasa hormat. Hikmah seperti itulah yang bisa kita ambil di balik cinta yang besar Hartini terhadap Bung Karno. Cinta itu memang indah, namun akan lebih indah bila kita juga menggunakan naluri dalam mencintai, sebagaimana naluri Hartini terhadap isteri-isteri Bung Karno lainnya. Hartini meninggal dan mengubur dalam-dalam cinta beserta kesetiannya pada tanggal 12 Maret 2002. Hartini dimakamkan di Pemakaman Karet.

2 komentar: