Bila mengupas
tuntas tentang roman cinta Soekarno, maka kurang lengkap rasanya bila tidak
melibatkan sosok Hartini ini. Yah, Hartini adalah seorang wanita pilihan
Soekarno yang ternyata memiliki kesetiaan tinggi. Dia jugalah yang menemani
Soekarno hingga pudarnya masa kekuasaan Soekarno, bahkan hingga Soekarno tutup
usia. Siapakah Hartini ini?, mengapa namanya terukir indah dalam sebuah buku
yang berjudul Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno.
Hartini
adalah seorang janda beranak lima yang ditemukan oleh Soekarno ketika
kunjungannya di Salatiga. Istri keempat Presiden Soekarno ini lahir di
Ponorogo, 20 September 1924. Selain cantik, Hartini juga terkenal pandai. Hal
tersebut disebabkan karena Hartini merupakan wanita yang berpendidikan. Ia
pernah menempuh pendidikan di Nijheidschool (Sekolah Kepandaian Putri).
Kepandaian
dan kecantikannya inilah yang membuat Suwondo tertarik kepadanya. Hingga
akhirnya, ia pun mempersunting Hartini. Kemudian, Suwondo memboyong Hartini
untuk tinggal di Salatiga. Namun sayangnya, pernikahan mereka tidak berjalan
lama. Suwondo dan Hartini pun bercerai ketika Hartini berusia 28 tahun. Dari
pernikahannya dengan Suwondo, Hartini dikaruniai lima orang anak. Setelah
bercerai dari Suwondo, Hartini harus bekerja keras untuk bisa bertahan hidup
dengan kelima anaknya. Lalu bagaimana pertemuannya dengan Sang Presiden?.
Pertemuan
keduanya pun bisa dibilang sangat unik, dramatik dan juga romantis. Saat itu,
Bung Karno melakukan kunjungan ke Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada
yang terletak di Kotabaru. Sebelum
sampai ke Yogyakarta, Bung Karno mampir sebentar di Salatiga. Di samping itu,
Bung Karno juga memang sudah dijadwalkan untuk mengunjungi Salatiga.
Setibanya di
Salatiga, Bung Karno pun segera mengunjungi kediaman Bapak Wali Kota Salatiga.
Dalam kesempatan tersebut, ia berkeliling ke dapur. Tanpa sengaja, ia melihat
seorang wanita cantik yang terbungkus dalam sebuah kebaya yang indah. Dialah
wanita yang bernama Hartini itu.
Setelah itu,
Bung Karno diharap untuk segera menuju ke lapangan Tamansari untuk berpidato. Saat
itu, Bung Karno begitu bahagia karena melihat rakyatnya yang memenuhi lapangan
Tamansari. Untuk meredam suasana yang sudah “panas” dengan teriakan “MERDEKA”
dari para pengunjung lapangan Tamansari tersebut, Bung Karno pun membuka pidato
dengan sebuah tembang berjudul “Suwe Ora Jamu.”
Suwe ora jamu
Jamu pisan jamu kapulogo
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan nang Solotigo…
Tentu saja,
tembang tersebut disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah dari para
pengunjung. Belum lagi pekikan suara “MERDEKA” yang semakin bergemuruh di
lapangan tersebut. Jangan heran, seperti itulah bila Bung Karno sedang berada
di atas podium. Bung Karno selalu bisa menghangatkan suasana, membakar semangat
dan tentunya berhasil menebar benih-benih nasionalisme dalam diri rakyatnya. Bung
Karno memang selalu berapi-api dalam pidatonya. Sehingga pantas saja bila
beliau mendapat julukan “Singa Podium”.
Setelah
selesai berpidato, Bung Karno pun kembali ke rumah Bapak Walikota untuk
menikmati hidangan makan siang. Saat itu, Bung Karno memang terasa sangat
lapar. Dari beberapa hidangan yang tersaji di meja, ada satu hidangan yang
membuat Bung Karno tertarik, yaitu sayur lodeh. Bung Karno pun segera mencicipi
sayur lodeh tersebut. Tiba-tiba saja, Bung Karno memanggil Bapak Walikota dan
bertanya, “Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap
terima kasih kepadanya.”
Dalam buku Srihana-Srihani
Biografi Hartini Sukarno karya Arifin
Suryo Nugroho dijelaskan bahwa John D. Legge mengungkapkan bahwa memang ada
tiga wanita special yang ada di hati Bung Karno, yaitu Sarinah, Inggit dan juga
Hartini. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa Hartini cukup
bersyukur mengenai momen sayur lodeh yang kemudian mengubah jalan hidupnya
tersebut. Hartini masih ingat betul, ketika Bung Karno menjabat tangan Hartini
begitu hangat dan dalam waktu yang cukup lama. Bung Karno seperti tersihir
dengan pesona kecantikan Hartini dan segala kelebihannya itu. Sambil berjabat
tangan, Bung Karno pun bertanya, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”
Setelah pertemuan
tersebut, Bung Karno selalu terbayang-bayang pesona Hartini. Bung Karno
merasakan ada getaran yang aneh dan tak biasa. Senyum manis dan paras ayu
Hartini, seakan-akan selalu menjadi menu utama di pagi hari Sang Presiden
tersebut. Bung Karno benar-benar tak bisa tenang, pikirannya selalu
dibayang-bayangi Hartini.
Pada suatu
hari, Bung Karno pun bangun dari lamunannya. Ia segera mengambil secarik kertas
dan sebuah pena.“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu.
Ini adalah takdir.” Itulah salah satu isi dari surat cinta Bung Karno
kepada Hartini. Dalam surat tersebut, Bung Karno menggunakan nama samaran “Srihana”
sedangkan untuk Hartini, bung Karno cukup menuliskan kata Srihani, sebagai nama
samaran pula. Akhirnya, dalam surat menyurat berikutnya, kedua insan yang
sedang dimabuk cinta tersebut selalu menggunakan nama Srihana dan Srihani.
Jalinan kisah
cinta keduanya pun berujung pada sebuah kepastian, di mana Bung Karno dengan
resmi meminang Hartini. Namun kala itu, Hartini masih belum bisa berkata
apa-apa. Hartini tahu betul bahwa Bung Karno adalah seorang pria beristri. Ia
juga tahu bahwa Bung Karno sudah memiliki Bu Fatmawati sebagai first lady. Belum lagi petuah dari kedua
orang tua Hartini yang selalu mengingatkan kepada Hartini bahwa menjadi isteri
kedua itu berat, biarpun oleh raja atau presiden.
Hartini pun
minta waktu untuk berpikir dulu. Dalam penantiannya tersebut, Bung Karno pun
masih sering berhubungan dengan Hartini melalui surat. Pada masa-masa itulah,
Hartini semakin yakin bahwa ia benar-benar mencintai Bung Karno. Hartini pun
tidak bisa terlalu lama membohongi perasaannya, hingga akhirnya Hartini pun
menerima pinangan Bung Karno tapi dengan satu syarat. Hartini berkata kepada
Bung Karno, “Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak
mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”
Singkat
cerita, mereka berdua pun berencana untuk menikah. Namun, Bung Karno harus
meminta ijin terlebih dulu kepada Fatmawati. Tepatnya dua hari setelah Guruh
Soekarno Putra lahir, yaitu tanggal 15 Januari 1953, Bung Karno pun menemui
Fatmawati dan meminta ijin untuk menikahi Hartini. Besarnya cinta Fatmawati
kepada Bung Karno, membuat wanita tersebut pun akhirnya mengizinkan suaminya
untuk menikah lagi. Namun kemudian, pernikahan tersebut menuai protes dari
berbagai organisasi wanita yang dimotori Perwari yang anti poligami. Setelah
suasana agak membaik, Soekarno dan Hartini akhirnya menikah di Istana Cipanas,
7 Juli 1953.
Keberadaan
Hartini di sisi Bung Karno benar-benar memegang peranan yang sangat penting. Ia
sering menemani Bung Karo untuk bertemu dengan tamu-tamu kenegaraan lainnya
seperti Ho Chi Minh, Norodom Sihanouk, Akihito dan Michiko. Hartini benar-benar
menunjukkan rasa cinta dan pengabdiannya kepada Soekarno. Bahkan dalam satu
kesempatan, Hartini pun sempat berkata, “Saya cinta pada orangnya, pada
Bung Karno-nya, bukan pada presidennya…. Saya akan perlihatkan kepada
masyarakat, bahwa saya bisa setia, dan akan mendampingi Bung Karno dalam
keadaan apa pun, juga dalam kedudukannya. Dan saya (Hartini), telah
membuktikannya.” Tidak hanya itu saja, rasa sayangnya kepada Bung Karno
dan rasa hormatnya kepada isteri-isteri Bung Karno lainnya pun ditunjukkan
dalam perkataannya berikut ini, “Bapak memperhatikan betul semua keperluan
istri-istrinya.”
Beberapa
sahabat Bung Karno menyebutkan bahwa Hartini merupakan pasangan terbaik bagi
Soekarno. Hal itu bisa dilihat dari sikap dan tata bahasa Hartini yang sangat
sopan kepada Bung Karo, baik sebelum menikah maupun setelah menikah. Hartini
selalu tahu mengenai unggah-ungguh atau sopan santun, baik itu dalam keadaan
santai, resmi, atau saat-saat memadu cinta. Hal tersebut ditunjukkan oleh
Hartini dengan selalu menggunakan bahasa Jawa srata tertinggi yang disebut
“kromo inggil”.
Aku Tidak Merebut Soekarno
Di tahun 1999, Majalah Tempo
pernah melakukan sebuah wawancara dengan Hartini Soekarno mengenai hubungannya
dengan Bung Karno. Berikut ini adalah kutipan wawancara wartawan majalah TEMPO:
Yayi Ichram, Hermien Y. Kleden, serta fotografer Robin Ong:
Apakah Anda selalu
menghadiri perayaan di Istana Negara setiap 17 Agustus?
Tergantung
kondisi tubuh. Kalau kuat, biasanya saya hadir. Kehadiran di Istana selalu
membawa berbagai perasaan: terharu, gembira, sedih. Banyak kenangan dari masa
lalu melintas begitu saja. Saya bahagia karena undangan itu menandakan rasa
hormat kepada jasa-jasa Bung Karno.
Kapan terakhir kali
Anda berdiam di Istana?
Saya
menempati paviliun Istana Bogor. Keluar dari sana, setelah Bapak tidak lagi
menjadi presiden. Melihat Istana Bogor mendatangkan terlalu banyak kenangan. Di
sana saya pertama kali diperkenalkan sebagai istri Bung Karno. Di sana pula
saya melahirkan Bayu dan Taufan. Kehidupan di Istana Bogor akan menjadi bagian
dari buku yang kini sedang saya siapkan.
Bagaimana hubungan Anda dengan putra-putri Bung Karno dari Ibu Fatmawati pada masa-masa itu?
Bagaimana hubungan Anda dengan putra-putri Bung Karno dari Ibu Fatmawati pada masa-masa itu?
Sebagai
orang tua, sebisa mungkin kita bersikap bijaksana. Hubungan dengan anak-anak Bu
Fat biasa saja. Kita harus tahu bagaimana menempatkan diri. Itu adalah suatu
rahasia hidup yang harus dijalani dengan ikhlas.
Bahagiakah Anda
menjadi istri Bung Karno?
Saya
sangat mencintai suami saya. Saya bahagia, kendati banyak suka-dukanya. Bung
Karno, dia laki-laki yang sangat gentle. Ia selalu mengingat dengan detail
setiap peristiwa penting dalam hidup kami: ulang tahun saya, ulang tahun
perkawinan, hari lahir anak-anak. Di mana pun ia berada, selalu menulis secarik
telegram atau kartu pos.
Bagian mana yang
terasa paling berat dari perkawinan dengan Bung Karno?
Yang
paling berat? Dia sangat mencintai keindahan, dan juga keindahan dalam
kecantikan wanita. Cintanya kepada wanita yang cantik adalah beban bagi saya. Tapi
saya sudah belajar menerima dia sebagaimana adanya, bukan bagaimana dia
seharusnya. Saya sangat sadar bahwa dia presiden yang dimiliki oleh semua
orang.
Bagaimana Anda
belajar mengatasi beban perasaan karena Bung Karno begitu populer di kalangan
wanita?
Itu bukan
hal mudah. Saya belajar mengatasi hal itu, sediki demi sedikit. Marah, cemburu,
itu biasa karena saya hanyalah manusia normal. Saya sangat mencintai dia, dan
saya kawin dengan Bung Karno dengan "biaya" yang sangat mahal.
Hartini, Lambang Perempuan
Jawa
Dari kisah di
atas, sudah tergambar jelas bagaimana sifat Hartini yang memang sangat pantas
untuk dijadikan sebagai lambang perempuan Jawa saat itu. Sikapnya yang nrimo,
dan selalu patuh terhadap perintah suami memang menjadi sesuatu yang sangat langka
di zaman sekarang.
Itulah,
sebuah catatan sejarah yang mengajarkan kepada kita tentang sebuah pribadi yang
sangat luhur, penuh cinta dan rasa hormat. Hikmah seperti itulah yang bisa kita
ambil di balik cinta yang besar Hartini terhadap Bung Karno. Cinta itu memang
indah, namun akan lebih indah bila kita juga menggunakan naluri dalam
mencintai, sebagaimana naluri Hartini terhadap isteri-isteri Bung Karno
lainnya. Hartini meninggal dan mengubur dalam-dalam cinta beserta kesetiannya
pada tanggal 12 Maret 2002. Hartini dimakamkan di Pemakaman Karet.
Hartini seperti ibuku....
BalasHapusHartini seperti ibuku....
BalasHapus