Jumat, 24 November 2006

Kisah Cinta Soekarno, Inggit Ganarsih Dan Fatimah


Bila berbicara tentang kisah cinta Soekarno dengan Inggit Ganarsih, mungkin kita akan terpaku sejenak. Karena kisah cinta Soekarno dengan Inggit Ganarsih lebih dari sekedar roman kondang Shakespeare yang berjudul Romeo & Juliet atau dongeng 1001 malam Aladin dan Lampu Wasiat. Kisah cinta Soekarno  dan Inggit yang merupakan pasangan pejuangan pergerakan melebihi cerita-cerita kepahlawanan Clark and Louis Lane (Superman) ataupun Peter Parker and Mary Jane (Spiderman). Kekuatan cinta mereka berdua sama sekali tidak ada tandingannya. Kisah cinta mereka tertanam begitu jelas dalam sebuah pepatah, “Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita kuat dan istimewa di belakangnya”.
Lalu, siapakah sebenarnya Inggit Ganarsih?. Mengapa ia begitu spesial di mata Soekarno?. Mengapa nama itu begitu berharganya hingga diciptakan sebuah buku  khusus untuk seorang Inggit Ganarsih?. Inggit Ganarsih adalah seorang wanita yang terlahir di Kamasan, Banjaran pada tanggal 17 Februari 1888.
Perjalanan hidup Inggit juga bisa dibilang cukup memperihatinkan, karena pada usia 12 tahun Inggit sudah dinikahkan dengan Nata Atmaja, yang saat itu merupakan seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun sayangnya, perkawinan ini tidak bertahan lama dan beberapa tahun kemudian Inggit menikah lagi dengan seorang pedagang kaya yang juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi. Mereka tinggal di Jl. Kebonjati. Pernikahan keduanya pun terpaksa harus berakhir, H. Sanoesi pun menceraikan Inggit secara baik-baik untuk dinikahkan dengan Soekarno yang saat itu tinggal di rumahnya sebagai seorang pelajar.
Kisah cinta Inggit Ganarsih dan juga Soekarno berawal di tahun 1921. Saat itu, salah seorang tokoh Sarekat Islam (SI) yang bernama Haji Sanusi (Kang Uci) dipanggil oleh pemimpinnya, H. Umar Said Tjokroamidjodjo (Pak Tjok). Tentu saja, saat itu Pak Tjok ingin menugaskan Kang Uci untuk sebuah misi yang tidak sebentar, dalam artian misi tersebut membuntuhkan waktu yang lama. Di satu sisi, Pak Tjok juga meminta Kang Uci agar menyiapkan akomodasi untuk salah seorang kader politiknya yang akan kuliah di THS ((Technische Hogeschool) di Bandung. Saat itulah, Kang Uci menawarkan rumahnya  Siapakah kader dari Pak Tjok tersebut?, dialah Soekarno.
Keberadaan Soekarno yang cukup tenang, kalem, ramah dan juga berkarisma ternyata cukup menarik perhatian Pak Tjok. Akhirnya, Pak Tjok pun memperkenalkan puteri tunggalnya yang bernama Oetari kepada Soekarno. Setelah sama-sama tertarik, Pak Tjok pun segera menikahkan keduanya. Namun sayangnya, pernikahan ini hanya bertahan seumur jagung. Keduanya pun berpisah tanpa alasan yang jelas. Mereka bercerai tanpa sempat melakukan hubungan suami isteri seperti pada umumnya. Setelah bercerai, Oetari pun segera pulang ke Surabaya, sementara itu Soekarno tetap melanjutkan pendidikannya di Bandung dan memilih untuk menetap di kediaman Kang Uci.
Kang Uci adalah seorang sahabat yang cukup baik kepada Soekarno. Bahkan, bersama isterinya yaitu Inggit Ganarsih, Kang Uci selalu melayani Soekarno dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sebenarnya, saat itu tidak hanya Soekarno yang tinggal di kediaman Kang Uci, tapi juga ada beberapa pemuda lainnya yang juga menempuh pendidikan di THS. Namun, hanya Soekarno lah yang paling menonjol. Selain penampilannya yang bersih, putih dan juga selalu rapih, Soekarno juga tidak pernah menghabiskan malamnya untuk berhura-hura seperti para pelajar lainnya. Setiap malam, Soekarno selalu menghabiskan waktunya untuk bercengkrama dengan sesama pejuang pergerakkan. Tentu saja, hal tersebut membuat Soekarno lebih sering bertemu dengan Inggit Ganarsih.
Soekarno yang saat itu berusia 20 tahun, ternyata begitu tertarik dengan Inggit Ganarsih. Wawasan Inggit begitu luas, hal tersebut bisa dilihatnya dari cara Inggit berbicara. Namun sayangnya, saat itu Inggit berusia 35 tahun dan statusnya juga isteri orang. Sehingga, Soekarno tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berusaha untuk memendam perasaannya yang ia anggap sebagai “cinta terlarang” tersebut.
Ternyata rasa cinta Soekarno kepada Inggit Ganarsih benar-benar sudah tidak bisa dibendung lagi. Ia tidak bisa berlama-lama menyiksa bathinnya dengan perasaan seperti itu. Selain itu, rasa cintanya terhadap Inggit membuatnya tidak bisa berkonsentrasi selama menempuh pendidikan di THS. Bukan Soekarno jika mudah menyerah.
Akhirnya, Soekarno pun melakukan sebuah tindakan yang paling berani atau bisa juga yang paling nekad seumur hidupnya. Dengan percaya diri, ia mendatangi Kang Uci untuk menyatakan ketertarikannya terhadap isterinya tersebut. Sejurus kemudian, Soekarno juga mengatakan bahwa ia sangat ingin memperistri Inggit Ganarsih. Setelah mempertimbangkan dengan bijak, pengusaha kaya raya tersebut segera menceraikan isterinya, Inggit Ganarsih. Akhirnya mereka menikah pada 24 Maret 1923, Inggit pun segera dinikahkan dengan Soekarno.
Soekarno merasa sangat beruntung sekali karena telah memiliki Inggit Ganarsih. Ia sama sekali tidak peduli dengan omongan orang yang selalu mempermasalahkan tentang perbedaan usia di antara mereka berdua. Beberapa orang mungkin menganggap bahwa Soekarno putus asa karena kegagalan dalam pernikahan pertamanya, sehingga ia memilih wanita yang jauh lebih tua darinya. Namun semua itu didiamkannya saja. Ia tidak pernah mau terlalu memikirkan perkataan orang.
Ternyata benar, kedewasaan Inggit inilah yang akhirnya menempa pribadi seorang Soekarno saat itu. Inggitlah yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan pada calon proklamator itu. Selain itu, posisi Soekarno yang saat itu merupakan seorang pemimpin pergerakkan nasional, membuat Inggit Ganarsih harus menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Bu Inggit menjual bedak, meramu jamu dan juga menjahit kutang untuk menafkahi keluarganya. Sementara Soekarno yang memang mendapat julukan “Singa Podium” ini selalu mengaum dari satu podium ke podium berikutnya untuk membakar semangat juang pemuda Indonesia saat itu. Pikirannya tercurah untuk untuk pergerakan. Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi.
Banyak yang mengatakan bahwa Inggit Ganarsih adalah isteri Bung Karno yang terbaik. Jika Bung Karno adalah api, maka bu Inggit adalah kayu bakarnya. Inggit selalu menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan. Inggit jugalah menghibur ketika Soekarno kesepian. Beliau jugalah yang menjahitkan ketika kancing baju Soekarno lepas. Inggit Ganarsih selalu hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai ibu maupun teman.
 Kesetiaan dan pengorbanan Inggit Ganarsih memang tidak pernah berhenti. Ia jugalah yang mengatur jadwal dan akomodasi Soekarno berpidato di depan massa untuk menyebarkan semangat perjuangan dan juga nasionalisme. Selain itu, Inggitlah yang dengan setia menemani masa-masa sedih Soekarno ketika ia dipenjara di Bandung, lalu dibuang ke Ende, dan dilanjutkan ke Bengkulu. Inggit-lah yang selalu menjadi sumber inspirasi politik kedua bagi Soekarno, setelah Tjokroaminoto. Sungguh, sebuah kolaborasi yang cemerlang dalam sebuah pergerakkan. Mereka berdualah yang akhirnya membuat gagasan tentang sebuah nasionalisme dalam sebuah tulisan yang berjudul Nasionalisme, Agama dan Marxisme (1926). Ketahuilah, bahwa tulisan tersebutlah yang nantinya akan menjadi format ideologi Indonesia.
Selama di Bengkulu inilah, Soekarno menampung seorang pelajar putri yang merupakan dari Hassan Din. Pelajar puteri tersebut bernama Fatimah. Karena Soekarno dan Inggit tidak memiliki keturunan, maka Soekarno memberanikan diri berkata kepada Inggit untuk menikahi Fatimah. Meskipun Inggit tahu betul keinginan Soekarno untuk memperoleh keturunan, namun sayangnya Inggit bukanlah seorang wanita yang mau dimadu. Inggit justru memilih bercerai daripada harus membagi cinta dan berbagi suami dengan wanita lain. Akhirnya, mereka kemudian bercerai di Bandung pada tanggal 29 Feruari 1942 dengan disaksikan oleh KH Mas Mansur. Kemudian, Soekarno pun segera menyerahkan surat cerainya kepada H. Sanoesi yang mewakili Inggit.
Kesetiaan Inggit Ganarsih kepada Soekarno sangat sesuai dengan buku roman-biografis Soekarno-Inggit karya Ramadhan KH, “Kuantar ke Gerbang” (1981). Inggit memang hanya mengantarkan Soekarno ke depan pintu gerbang kemerdekaan Republik Indonesia. Demikianlah kekuatan dan ketulusan cinta Inggit Ganarsih pada Soekarno. Cinta yang semata-mata karena cinta, bukan karena alasan lainnya. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti.
Beberapa orang juga sering menyamakan sosok Inggit Ganarsih ini dengan Maria Theresa yang merupakan istri Rousseau atau Kasturbay yang merupakan istri Mahatma Gandhi. Theresa memang bukanlah pemberi sumbangan pikiran atau teori untuk revolusi Perancis. Begitu juga dengan Kasturbay yang memang tidak pernah memberikan sumbangan pikiran atau teori revolusi India. Demikian juga halnya dengan Inggit Ganarsih, ia tidak pernah memberikan sumbangan pikiran dan teori untuk revolusi Indonesia. Inggit Ganarsih hanya bisa menunjukkan kasih sayang dan kesetiaan yang tiada goyah kepada suami yang sedang mengalami cobaan dan derita dalam perjuangan. Maria Theresa, Kasturbay, dan juga Inggit Ganarsih memang memiliki satu kesamaan yang patut kita contoh, yaitu berbakti kepada bangsanya.
Inggit Ganarsih tidak pernah kecewa dengan jalan hidup yang dipilihnya. Ia bangga karena pernah menjadi seseorang yang sangat berarti di hati Sang Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno. Setelah perceraiannya tersebut, Inggit pun beberapa kali harus berpindah rumah. Inggit pernah berada Banjaran dan Garut selama terjadinya Agresi Militer I & II (1946-1949). Setelah itu, Inggit kembali lagi ke  Bandung dan tinggal di rumah keluarga H. Durasid di Gg. Bapa Rapi. Inggit terpaksa hidup di rumah orang lain, karena rumahnya yang berada di Jl. Ciateul rusak karena peristiwa Agresi Militer. Akhirnya, rumah tersebut kembali di bangun dengan bangunan yang lebih permanen pada 1951 atas prakarsa. Di rumah inilah, Inggit Garnasih melanjutkan hari tua hingga akhir hayatnya. Inggit wafat pada 13 April 1984 dalam usianya yang menginjak 96 tahun. Kemudian, ia dimakamkan di komplek permakaman Caringin (Babakan Ciparay), Bandung.
Perlu diketahui bahwa, Soekarno meninggal terlebih dahulu yaitu pada 21 Juni 1970 di Jakarta. Saat itu, Inggit masih bisa datang ke kediaman Soekarno untuk melayat dan mendoakan Soekarno dengan mengatakan, “Ngkus, gening Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun… (Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan….).
Bila Anda datang ke Bandung, tidak ada salahnya bila Anda melewati Jl. Ciateul (kini bernama Jl. Inggit Ganarsih). Berhentilah di sebuah rumah lama yang telah dicat baru. Di situlah dulu Inggit Ganarsih tinggal. Sempatkanlah untuk menengok ke dalam rumah tersebut, niscaya Anda tidak akan menemukan apa-apa, kecuali satu pelajaran tentang CINTA.
Soekarno dan Fatmawati
Setelah bercerai dengan Inggit, Soekarno pun segera menikahi Fatimah dan membawanya ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, Bung Karno merubah nama Fatimah menjadi Fatmawati yang artinya adalah “bunga teratai”.
Fatmawati adalah seorang wanita yang banyak menemani perjuangan Soekarno sebelum proklamasi kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Wanita cantik ini juga ikut serta dalam menggoreskan sejarah Indonesia dengan menjahit bendera pusaka merah-putih dengan tangan beliau sendiri. Adapun bendera hasil buah tangan beliau tersebut, dikibarkan pada saat upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Fatmawati juga selalu berada di mana pun suaminya berada. Hal tersebut terlihat ketika peristiwa Rengasdengklok. Saat itu, beberapa pemuda menculik Soekarno dan membawanya ke Rengasdengklok. Lalu di mana Fatmawati saat itu?, ternyata Fatmawati pun juga ikut serta Bung Karno dengan membawa Guntur Soekarnoputra yang saat itu mash bayi.
Setelah upacara proklamasi kemerdekaan, maka Fatmawati pun resmi menjadi seorang ibu negara. Sebuah posisi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, karena Fatmawati memang tidak pernah berpikir bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi seorang first lady.
Meskipun posisi dirinya adalah sebagai seorang ibu negara, namun kehidupannya lebih merakyat dan inklusif. Dia telah berhasil menciptakan image bahwa seorang ibu itu harus bersahaja, dan memang sudah menjadi tugas seorang wanita untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Dari pernikahan Soekarno dengan Fatmawati ini membuahkan lima orang anak, mereka adalah Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Sebuah berita mengejutkan terdengar pada tanggal 14 Mei 1980. Berita tersebut adalah meninggalnya ibu Fatmawati karena serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Mekah yang lalu dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar