Kamis, 02 November 2006

Soekarno, Harun Al Rasyid Dari Indonesia


Kehidupan Bung Karno yang memang sudah susah sejak awal telah membentuk sebuah karakter tersendiri baginya. Belum lagi, segala penderitaan yang ia rasakan membuatnya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang arif dan penuh dengan simpati. Ia menjadi seorang pemimpin yang tak sanggup untuk makan enak ketika rakyatnya kelaparan. Ia juga susah tidur ketika melihat rakyatnya harus tidur beratapkan langit. Begitulah Soekarno, ia begitu dekat dengan rakyat sehingga apa yang selalu ia rasakan dan pikirkan hanyalah untuk rakyat yang selama ini telah begitu percaya bahwa mereka akan aman bila ada di bawah kepemimpinannya.
Bung Karno seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu contoh yang baik bagi mereka yang ingin menjadi presiden. Karena dalam kehidupan Bung Karno, beliau selalu menomor satukan kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Tidak hanya itu saja, kehidupan dan kesejahteraan rakyat juga selalu menjadi titik tumpu pemikiran Bung Karno. Maka dari itu, jangan heran bila tiap kali Bung Karno pidato, beliau selalu dikelilingi oleh rakyat dan para pendukungnya. Semua itu tidak lepas dari rasa kepemilikkannya (sense of belonging) nya terhadap tanah air terncinta ini.
Selain itu, gemblengan kehidupan di dalam penjara pun membuat Bung Karno menjadi seseorang yang tidak dapat hidup sendirian. Selama mata belum terpejam, ia selalu membutuhkan orang-orang yang bersedia ada di sampingnya untuk mendengarkan ide-ide demi majunya pemerintahan Indonesia di masa depan.
Bung Karno selalu merasa bahwa ia terlahir dari rahim rakyat jelata dan turut dibesarkan serta diasuh oleh rakyat. Itulah sebabnya mengapa Bung Karno selalu menomor satukan aspirasi dan kepentingan rakyatnya. Tidak hanya itu saja, tak jarang ia pun juga mengikut sertakan rakyat di dalam berbagai macam aktivitas perjuangannya. Banyak sekali lapisan masyarakat yang pernah turut serta dalam perjuangan Bung Karno, mulai dari petani, buruh bahkan para wanita tuna susila.
Rakyat telah menjadi nafas bagi Bung Karno, itulah yang membuat Bung Karno mengatakan dalam bukunya, bahwa ia sering merasa lemas, nafas seakan berhenti bila tidak keluar istana dan bersatu dengan rakyat yang telah melahirkannya.
Bung Karno memang sering keluar istana sekedar untuk melihat rakyatnya. Beliau hanya menggunakan sandal, pantaloon dan juga berkemeja serta menenakan kacamata yang berbingkai tanduk. Sehingga dengan demikian, tak ada satu pun orang yang bisa mengenalinya. Dengan “penyamaran” seperti itu, tentu saja Bung Karno bisa dengan bebas keluar masuk istana untuk menemui para rakyatnya.
Satu keistimewaan lainnya dari Bung Karno adalah bahwa ia tak pernah malu untuk makan sate di pinggir jalan. Kehidupannya benar-benar jauh dari kesan “glamour”, sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan presiden-presiden era sekarang. Maka jangan salah, bila beberapa cendekiawan muslim menyebut Bung Karno sebagai Harun Al Rasyid dari Indonesia.
Namun sesekali, penyamaran Sang Harun Al Rasyid pun terbongkar. Terlebih bila beliau lupa untuk tidak berbicara. Hal tersebut pernah terjadi, ketika beliau berjalan-jalan di Senen, Jakarta pusat. Saat itu Bung Karno sedang mengamati pembangunan sebuah gudang stasiun. Saat itu, Bung Karno keceplosan bertanya kepada salah satu tukang bangunan, “Dari mana diambil batubata dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?”.
Akhirnya, semua orang yang berada di tempat itu dengan spontan berkata, “Itu suara Bapak… Ya… suara Bapak!!!… Hee… orang-orang, ini Bapak…. Bapak….!!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar