Kehidupan Bung Karno yang memang sudah susah sejak awal telah
membentuk sebuah karakter tersendiri baginya. Belum lagi, segala penderitaan
yang ia rasakan membuatnya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang arif dan penuh
dengan simpati. Ia menjadi seorang pemimpin yang tak sanggup untuk makan enak
ketika rakyatnya kelaparan. Ia juga susah tidur ketika melihat rakyatnya harus
tidur beratapkan langit. Begitulah Soekarno, ia begitu dekat dengan rakyat
sehingga apa yang selalu ia rasakan dan pikirkan hanyalah untuk rakyat yang
selama ini telah begitu percaya bahwa mereka akan aman bila ada di bawah
kepemimpinannya.
Bung Karno seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu contoh yang
baik bagi mereka yang ingin menjadi presiden. Karena dalam kehidupan Bung
Karno, beliau selalu menomor satukan kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Tidak
hanya itu saja, kehidupan dan kesejahteraan rakyat juga selalu menjadi titik
tumpu pemikiran Bung Karno. Maka dari itu, jangan heran bila tiap kali Bung
Karno pidato, beliau selalu dikelilingi oleh rakyat dan para pendukungnya.
Semua itu tidak lepas dari rasa kepemilikkannya (sense of belonging) nya
terhadap tanah air terncinta ini.
Selain itu, gemblengan kehidupan di dalam penjara pun membuat Bung
Karno menjadi seseorang yang tidak dapat hidup sendirian. Selama mata belum
terpejam, ia selalu membutuhkan orang-orang yang bersedia ada di sampingnya
untuk mendengarkan ide-ide demi majunya pemerintahan Indonesia di masa depan.
Bung Karno selalu merasa bahwa ia terlahir dari rahim rakyat jelata
dan turut dibesarkan serta diasuh oleh rakyat. Itulah sebabnya mengapa Bung
Karno selalu menomor satukan aspirasi dan kepentingan rakyatnya. Tidak hanya
itu saja, tak jarang ia pun juga mengikut sertakan rakyat di dalam berbagai
macam aktivitas perjuangannya. Banyak sekali lapisan masyarakat yang pernah
turut serta dalam perjuangan Bung Karno, mulai dari petani, buruh bahkan para
wanita tuna susila.
Rakyat telah menjadi nafas bagi Bung Karno, itulah yang membuat
Bung Karno mengatakan dalam bukunya, bahwa ia sering merasa lemas, nafas seakan
berhenti bila tidak keluar istana dan bersatu dengan rakyat yang telah
melahirkannya.
Bung Karno memang sering keluar istana sekedar untuk melihat
rakyatnya. Beliau hanya menggunakan sandal, pantaloon dan juga berkemeja serta
menenakan kacamata yang berbingkai tanduk. Sehingga dengan demikian, tak ada
satu pun orang yang bisa mengenalinya. Dengan “penyamaran” seperti itu, tentu
saja Bung Karno bisa dengan bebas keluar masuk istana untuk menemui para
rakyatnya.
Satu keistimewaan lainnya dari Bung Karno adalah bahwa ia tak
pernah malu untuk makan sate di pinggir jalan. Kehidupannya benar-benar jauh
dari kesan “glamour”, sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan presiden-presiden
era sekarang. Maka jangan salah, bila beberapa cendekiawan muslim menyebut Bung
Karno sebagai Harun Al Rasyid dari Indonesia.
Namun sesekali, penyamaran Sang Harun Al Rasyid pun terbongkar.
Terlebih bila beliau lupa untuk tidak berbicara. Hal tersebut pernah terjadi,
ketika beliau berjalan-jalan di Senen, Jakarta pusat. Saat itu Bung Karno
sedang mengamati pembangunan sebuah gudang stasiun. Saat itu, Bung Karno
keceplosan bertanya kepada salah satu tukang bangunan, “Dari mana diambil
batubata dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?”.
Akhirnya, semua orang yang berada di tempat itu dengan spontan
berkata, “Itu suara Bapak… Ya… suara Bapak!!!… Hee… orang-orang, ini Bapak….
Bapak….!!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar