Rabu, 17 Januari 2007

Bung Karno di Sukamiskin


Sebagai seorang pejuang, memang harus memiliki mental baja. Di samping itu, seorang pejuang sejati haruslah memiliki semangat yang tidak memudar, , memiliki nasionalisme yang tinggi dan tidak takut akan segala macam halangan dan rintangan. Semua sikap itu ada pada diri Bung Karno. Beliau selalu tampil layaknya orang yang paling siap di antara yang lain. Kesiapannya tersebut juga tercermin ketika beliau digiring oleh Belanda untuk memasuki penjara suka miskin.
Penjara Sukamiskin di Bandung memang benar-benar menjadi awan hitam kelam dalam kehidupan Bung Karno. Bukan saja karena ia diasingkan dari keluarganya, beliau juga mendapat perlakuan yang beda di penjara tersebut, seperti dengan sengaja dijauhkan dari para tawanan bangsa lainnya. Selain itu, kondisi sel yang gelap dan pengap, benar-benar telah merusak fisiknya.
Perlu diketahui, bahwa di penjara Sukamiskin, para terpidana terbagi menjadi tiga klasifikasi. Kelas pertama, ditujukan untuk narapidana dengan hukuman ringan (sampai satu tahun). Kelas kedua diperuntukkan bagi narapidana yang dijatuhi hukuman antara dua dan 10 tahun. Sedangkan kelas terakhir diperuntukkan bagi narapidana yang divonis hukuman lebih dari 10 tahun. Pada saat itu, Bung Karno berada di kelas yang kedua, sedangkan ketiga temannya, yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata dimasukkan di kelompok paling ringan.
Bung Karno termasuk ke dalam narapidana politik. Figurnya yang selalu bersemangat dan mampu menghipnotis banyak orang melalui pidatonya, membuatnya dimasukkan ke dalam kategori “manusia berbahaya”, sehingga Bung Karno harus diasingkan dari terpidana pribumi. Karena apabila Soekarno dicampur dengan terpidana sebangsa, ia tidak akan pernah berhenti memotivasi para tahanan lainnya untuk turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Itulah sebabnya yang membuat  Soekarno dimasukkan dalam selnya para terpidana bule. Di dalam sel tahanan yang berisi orang asing, Bung Karno tidak akan bisa berkutik lagi. Ia tidak akan berbicara mengenai kemerdekaan, melainkan tentang perbedaan iklim, kebudayaan, makanan dan sebagainya.
Bung Karno benar-benar tidak tahan berada di sebuah ruangan yang sebenarnya lebih mirip kandang itu. Di sel nomor 233 tersebut, Bung Karno banyak mengalami intimidasi dan perlakuan tidak menyenangkan. Bahkan di dalam ruangan yang berukuran 1,5 X 2,5 meter tersebut, mulut Bung Karno disumpal. Tidak hanya raganya saja yang berada dalam terali besi, tapi jiwanya juga seperti dipenjara. Bung Karno benar-benar merindukan udara bebas, merindukan teman-teman seperjuanganya, keluarganya dan lain sebagainya.
Mungkin tidak akan ada yang bisa bertahan bila harus berada di sebuah ruang sel yang gelap dan pengap,dan bersuhu lembab. Bung Karno harus tidur di atas dipan yang terbuat dari semen dan hanya beralaskan tikar. Tentu saja tidak bisa dibayangkan ketika beliau harus berjuang keras untuk melawan hawa dingin di atas dipan tersebut. Dinginnya semen, menyedot energi panas yang ada pada tubuhnya. Pada saat seperti itulah, tulang belulang Bung Karno pun terasa sakit dan juga nyeri.
Pada saat-saat seperti itulah, Bung Karno semakin akrab dengan Al Qur’an. Beliau berusaha menenangkan hatinya. Di Sukamiskin inilah, beliau mendapatkan siksaan fisik yang begitu dahsyat. Namun meskipun demikian, beliau selalu berkata bahwa fisiknya boleh rusak, tapi beliau tidak ingin jiwanya pun ikut-ikutan rusak.
Selama di Sukamiskin, setiap narapidana selalu mendapatkan hak yang sama untuk menghirup udara di luar penjara. Biasanya, para narapidana memilih untuk melakukan aktivitas olahraga atau sekedar jalan-jalan. Tapi tidak bagi seorang Bung Karno, beliau lebih memilih untuk berbaring di bawah terik matahari sambil memanaskan tulang-tulangnya. Beliau selalu berbaring di tanah, teletang, tengkurap, miring kanan, miring kiri.  “Inilah satu-satunya jalan untuk memanaskan tulang-tulangku yang di dalam sekali,” tutur Sukarno suatu saat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar