Sebagai
seorang pejuang, memang harus memiliki mental baja. Di samping itu, seorang
pejuang sejati haruslah memiliki semangat yang tidak memudar, , memiliki
nasionalisme yang tinggi dan tidak takut akan segala macam halangan dan
rintangan. Semua sikap itu ada pada diri Bung Karno. Beliau selalu tampil
layaknya orang yang paling siap di antara yang lain. Kesiapannya tersebut juga
tercermin ketika beliau digiring oleh Belanda untuk memasuki penjara suka
miskin.
Penjara Sukamiskin
di Bandung memang benar-benar menjadi awan hitam kelam dalam kehidupan Bung
Karno. Bukan saja karena ia diasingkan dari keluarganya, beliau juga mendapat
perlakuan yang beda di penjara tersebut, seperti dengan sengaja dijauhkan dari
para tawanan bangsa lainnya. Selain itu, kondisi sel yang gelap dan pengap,
benar-benar telah merusak fisiknya.
Perlu
diketahui, bahwa di penjara Sukamiskin, para terpidana terbagi menjadi tiga klasifikasi.
Kelas pertama, ditujukan untuk narapidana dengan hukuman ringan (sampai satu
tahun). Kelas kedua diperuntukkan bagi narapidana yang dijatuhi hukuman antara
dua dan 10 tahun. Sedangkan kelas terakhir diperuntukkan bagi narapidana yang
divonis hukuman lebih dari 10 tahun. Pada saat itu, Bung Karno berada di kelas
yang kedua, sedangkan ketiga temannya, yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun, dan
Supriadinata dimasukkan di kelompok paling ringan.
Bung Karno
termasuk ke dalam narapidana politik. Figurnya yang selalu bersemangat dan
mampu menghipnotis banyak orang melalui pidatonya, membuatnya dimasukkan ke
dalam kategori “manusia berbahaya”, sehingga Bung Karno harus diasingkan dari
terpidana pribumi. Karena apabila Soekarno dicampur dengan terpidana sebangsa,
ia tidak akan pernah berhenti memotivasi para tahanan lainnya untuk turut serta
dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Itulah sebabnya yang membuat Soekarno dimasukkan dalam selnya para
terpidana bule. Di dalam sel tahanan yang berisi orang asing, Bung Karno tidak
akan bisa berkutik lagi. Ia tidak akan berbicara mengenai kemerdekaan,
melainkan tentang perbedaan iklim, kebudayaan, makanan dan sebagainya.
Bung Karno
benar-benar tidak tahan berada di sebuah ruangan yang sebenarnya lebih mirip
kandang itu. Di sel nomor 233 tersebut, Bung Karno banyak mengalami intimidasi
dan perlakuan tidak menyenangkan. Bahkan di dalam ruangan yang berukuran 1,5 X
2,5 meter tersebut, mulut Bung Karno disumpal. Tidak hanya raganya saja yang
berada dalam terali besi, tapi jiwanya juga seperti dipenjara. Bung Karno
benar-benar merindukan udara bebas, merindukan teman-teman seperjuanganya,
keluarganya dan lain sebagainya.
Mungkin tidak
akan ada yang bisa bertahan bila harus berada di sebuah ruang sel yang gelap
dan pengap,dan bersuhu lembab. Bung Karno harus tidur di atas dipan yang
terbuat dari semen dan hanya beralaskan tikar. Tentu saja tidak bisa
dibayangkan ketika beliau harus berjuang keras untuk melawan hawa dingin di
atas dipan tersebut. Dinginnya semen, menyedot energi panas yang ada pada tubuhnya.
Pada saat seperti itulah, tulang belulang Bung Karno pun terasa sakit dan juga
nyeri.
Pada
saat-saat seperti itulah, Bung Karno semakin akrab dengan Al Qur’an. Beliau
berusaha menenangkan hatinya. Di Sukamiskin inilah, beliau mendapatkan siksaan
fisik yang begitu dahsyat. Namun meskipun demikian, beliau selalu berkata bahwa
fisiknya boleh rusak, tapi beliau tidak ingin jiwanya pun ikut-ikutan rusak.
Selama di
Sukamiskin, setiap narapidana selalu mendapatkan hak yang sama untuk menghirup
udara di luar penjara. Biasanya, para narapidana memilih untuk melakukan
aktivitas olahraga atau sekedar jalan-jalan. Tapi tidak bagi seorang Bung
Karno, beliau lebih memilih untuk berbaring di bawah terik matahari sambil
memanaskan tulang-tulangnya. Beliau selalu berbaring di tanah, teletang,
tengkurap, miring kanan, miring kiri. “Inilah satu-satunya jalan untuk
memanaskan tulang-tulangku yang di dalam sekali,” tutur Sukarno suatu saat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar