Jumat, 02 Maret 2007

Soekarno, Sultan Hamid II dan Lambang Garuda


Garuda, siapa sangka bahwa burung fiktif yang hanya ada di dalam cerita pewayangan tersebut bisa menjadi lambang negara kita. Padahal, burung Garuda dulu hanya berupa lukisan relief di candi-candi dieng saja. Beberapa tahun kemudian, relief burung Garuda juga diukirkan di candi Prambanan. Selain itu, lambang Garuda juga sering kali digunakan sebagai materai/stempel kerajaan. Salah satu kerajaan di Indonesia yang pernah menggunakan Garuda sebagai stempel kerajaannya adalah Kerajaan Erlangga.
Burung Garuda telah disyahkan sebagai lambang Negara Republik Indonesia pada 11 Februari 1950, dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah no 66 tahun 1951. Tapi pertanyaannya, siapakah penggagas dari penggunaan burung Garuda ini sebagai lambang negara kita?.
Usut punya usut, ternyata penggagasnya adalah seorang Sultan dari Pontianak yang bernama, Sultan Abdurrahman Hamid Alkadrie II atau dikenal dengan Sultan Hamid II. Pada waktu itu, Sultan Hamid menjabat sebagai Mentri Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sultan Hamid II terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Beliau adalah putra sulung Sultan Pontianak. Dalam tubuh Sultan Hamid II sebenarnya mengalir darah Indonesia-Arab, walau beliau juga pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris.
Cerita pembuatan lambang kenegaraan ini bermula ketika pada suatu hari Soekarno meminta Sultan Hamid II untuk merencanakan, merancang dan juga merumuskan gambar lambang negara. Pada waktu itu, Sultan Hamid II sedang menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio.
Berdasarkan rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung pada tahun 1974, pada waktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan bahwa ide perisai Pancasila muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Ketika sedang merancang lambang negara, Sultan Hamid II teringat ucapan Presiden Soekarno. Beliau pernah mengatakan bahwa ada baiknya jika lambang negara itu bisa mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara digambarkan ke dalam lambang negara.
Proses berikutnya terjadi pada tanggal 10 Januari 1950, yaitu ketika dibentuknya Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio sendiri, yaitu Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, MA Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka yang menjadi anggota kepanitiaan. Semua panitia di sini mengemban tugas yang sama, yaitu menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Sayembara tersebut diikuti oleh banyak orang, namun hanya ada dua karya yang diterima oleh panitia, yaitu karya Sultan Hamid II sendiri dan karya M. Yamin. Setelah melalui rapat yang cukup lama, akhirnya panitia cenderung memilih rancangan karya Sultan Hamid II, sedangkan karya M. Yamin ditolak karena ada gambar sinar matahari yang dianggap sebagai pengaruh dari Jepang.
Setelah rancangan disetujui, Sultan Hamid II pun segera menghadap Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Mereka bertiga pun berunding untuk menyempurnakan rancangan tersebut. Setelah memakan waktu cukup lama, akhirnya mereka pun mencapai satu kesepakatan yaitu, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula berupa peta merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Kemudian, Presiden Soekarno pun memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Itulah salah satu karya anak bangsa yang patut kita hargai. Sewajarnyalah bila kita sebagai generasi muda bisa mencontoh para pendahulu kita untuk memberikan sesuatu yang bisa membanggakan nama bangsa Indonesia.
Tanggal 20 Maret 1940, Presiden Soekarno memerintahkan Dullah, sang pelukis istana untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Sultan Hamid II yang masih kita gunakan hingga saat ini.
Bung Karno percaya, bahwa suatu hari nanti Indonesia akan menjadi sebuah negara yang maju, berkembang dan tidak bisa diremehkan lagi. Bila Bung Karno saja percaya, mengapa kita tidak mengamini doa beliau?. Mari kita pelihara amanah Bung Karno, kita ambil semangat-semangan nasionalismenya dan kita jadikan perjuangannnya sebagai salah satu simbol bahwa setiap kesuksesan memang layak untuk kita perjuangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar