Kamis, 01 Maret 2007

The Heroic Side of Soekarno


Bila kita kupas kisah tentang Bung Karno, maka akan selalu kita temukan the heroic side of Soekarno atau sisi kepahlawanan seorang Soekarno. Ya, para sejarahwan dunia pun mengakui hal tersebut. Soekarno memang memiliki kisah heroik yang tidak sedikit, baik itu sebelum atau sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan penuh semangat dan kepercayaan diri, Bung Karno selalu tampil yang terdepan untuk mengikuti jalannya revolusi yang penuh riak gelombang. Bahkan, semangatnya yang berapi-api tersebut bisa ia jadikan semangat untuk menghadapi panas-dinginnya suhu politik kala itu.
Bung Karno memang menjadi seorang tokoh yang tidak pernah sepi dari kontroversi. Bung Karno selalu muncul di tengah-tengah kerumunan para pejuang dengan ide-idenya yang sangat tidak masuk akal. Mari kita flashback sebentar pada kasus romusha. Saat itu, ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia mati secara mengenaskan karena menjadi romusha yang harus bekerja secara paksa pada zaman pendudukan Jepang.
Ironisnya, saat itu Bung Karno justru ditugasi Jepang untuk mendata dan “merayu” rakyatnya memasuki ranah kerja paksa yang mengerikan itu. Bung Karno hanya bisa meneteskan air mata ketika mengingat kejadian yang sangat mengerikan tersebut. Kepada Cindy Adam, Bung Karno menyampaikan penyesalannya melalui sebuah pengakuan sebagai berikut, “Sesungguhnya akulah –Sukarno – yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, ya akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha. Dengan para wartawan, juru potret, Gunseikan –Kepala Pemerintahan Militer- dan para pembesar pemerintahan aku membuat perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang-kerangka-hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis-belakang, itu jauh di dalam tambang batubara dan tambang mas. Mengerikan. Ini membikin hati di dalam seperti diremuk-remuk.”
Selanjutnya, mari kita lihat sejarah pembentukan PETA. Pada bulan Februari 1944, sebuah pasukan yang menamakan dirinya sebagai Pembela Tanah Air (PETA) yang dipimpin oleh Suprijadi melakukan serangkaian pemberontakan. Peristiwa ini tertulis dengan tinta emas dalam sejarah bangsa. Bahkan, pemberontakan PETA di Blitar tercatat sebagai satu-satunya perlawanan paling besar melawan Jepang selama masa pendudukannya di Indonesia. Saat itu, tentara militer Jepang melatih beberapa pemuda yang berbadan keras dan memiliki kemampuan yang cukup untuk membela diri. Tentu saja, para pemuda tersebut dilatih untuk dijadikan kekuatan oleh Jepang dalam rangka melawan serangan para sekutu.
Rencana pembentukkan PETA pun sampai juga ke telinga Bung Karno saat itu. Akhirnya, Bung Karno sendiri yang turun tangan untuk memilih pemuda-pemuda cakap dan memiliki keahlian dalam berperang untuk direkrut sebagai anggota PETA, salah satunya adalah Gatot Mangkupraja, seorang pemberontak PNI yang dulu juga sempat dijebloskan ke penjara Sukamiskin pada tahun 1929.
Tentu saja sikap Bung Karno tersebut ditentang oleh beberapa pemuda. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang secara tegas “mengutuk” perbuatan Soekarno sebagai salah satu sikap pengecut karena telah memihak Jepang. Padahal, sikap Bung Karno saat itu berdasarkan perhitungan. Bung Karno berharap, bahwa  dengan menjadi anggota PETA, maka para pemuda pribumi bisa mendapat pelajaran-pelajaran penting tentang dasar-dasar kemiliteran, ilmu berperang, strategi bertempur, dan penguasaan peralatan perang modern.
Namun sayangnya, para pemuda terlalu cerdas untuk dikadali oleh pihak Jepang. Mereka tidak mau dijadikan “boneka” untuk melawan sekutu. Supriyadi merupakan tokoh yang menggawangi pemberontakan ini. Ia memimpin para pemuda PETA untuk menghancurkan markas Jepang.
Tentu saja, hal tersebut membuat Jepang murka. Akhirnya Jepang pun melakukan tindakan yang sangat keji. Mereka menembaki, membantai, memenggal para pemuda yang tergabung dalam PETA tersebut. Tidak hanya itu saja, Supriyadi pun jadi target incaran Jepang. Dalam satu versi menyebutkan bahwa, Supriyadi tertembak mati karena tertembus timah panas oleh Jepang. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa Supriyadi berhasil meloloskan diri dari kejaran tentara Dai Nippon, Jepang.
Lalu, bagaimana reaksi Soekarno saat itu? Kepada Cindy Adams, Bung Karno pun berkata bahwa ia terpaksa membuang muka atas tatapan wajah bangsanya. Bung Karno sama sekali tidak punya kekuatan untuk melawan Jepang atas apa yang terjadi di Blitar.
Tentu saja, sikap Bung Karno yang seakan-akan acuh terhadap penderitaan rakyat Indonesia melalui peristiwa romusha dan peta tersebut di atas, membuat Bung Karno mendapatkan julukkan baru, yaitu the collaborator. Bung Karno dituding mau bekerja sama dengan Jepang.
Emosi para pemuda saat itu benar-benar tinggi. Mereka tetap menganggap bahwa Bung Karno tidak mempedulikan rakyat sendiri. Bung Karno marah dan menukas, “Itulah pandangan yang dangkal. Orang yang berpikir demikian, tidak bisa melihat jangka yang lebih jauh ke depan. Tujuan yang pokok adalah melengkapi alat perjuangan bagi kemerdekaan. Tidak ada maksud lain daripada itu.”
Julukan sebagai pihak yang turut bekerja sama dengan Jepang tersebut tidak hanya datang dari para pemuda, melainkan dari seorang dokter yang sempat merawat Bung Karno. Pada suatu ketika, terjadilah percakapan antara dokter tersebut dengan Bung Karno.
Dokter itu membantah, “Tapi ingatlah bahwa Jepang datang kemari untuk menjajah. Dia itu musuh. Bertempur di samping mereka berarti membantu Fasisme!”
Bung Karno menjawab, “Kukatakan, pendirian yang demikian itu terlalu picik. Tapi, baiklah, Jepang itu datang kemari untuk menjajah dan harus diterjang keluar. Akan tetapi ingat, bahwa mereka adalah penjajah yang bisa diperalat. Saya membantu pembentukan PETA — ya! Tapi bukan untuk mereka! Tidakkah dokter memahaminya? Untuk kita! Untuk engkau! Untukku! Untuk Tanah Air kita! Atau, apakah dokter tetap mau menjadi orang jajahan sampai hari kiamat?
Dokter itu pun terus mengeluarkan bantahannya dengan berkata kepada Sukarno, “Rakyat menyatakan tentang Bung Karno, bahwa……..”

“Rakyat tidak mengatakan apa-apa!” Bung Karno pun segera memotong perkataan dokter tersebut. “Jikalau mereka yakin, bahwa saya tidak menempuh jalan yang paling baik, tentu rakyat tidak akan mengikuti saya, bukan? Coba, apakah memang rakyat tidak mengikuti saya?”
“Tidak.”
“Bukankah mereka mengikuti saya?”
“Ya, seratus persen.”
“Jadi, rakyat tidak mengatakan apa-apa. Hanya beberapa pemuda yang kepala panas saja yang mengatakan….”
Namun tidak serta merta sikap Bung Karno selalu identik dengan hal-hal yang berbau kontroversi. Bung Karno juga memiliki sifat yang mulia dan penuh perhatian kepada semua orang, termasuk kepada para ajudannya sekalipun. Sebagai contohnya adalah, Bung Karno pernah membatalkan keberangkatan rombongan sewaktu akan meninggalkan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa pengawalnya yang belum dapat jatah sarapan pagi. Bung Karno pun segera memberikan komando kepada rombongannya untuk menunda keberangkatan hingga semua pengawal selesai sarapan.
Tidak hanya itu saja, Bung Karno juga memerintahkan ajudannya supaya selalu memperhatikan semua sopir dan pengawal agar tak satu pun dari mereka yang terlantar makan dan minumnya. Seperti itulah figur seorang pemimpin seharusnya. Tidak hanya mampu memimpin dan memberi perintah, tapi juga bisa memberikan rasa cinta, kasih, perhatian, keamanan dan juga kenyamanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar