Bila kita kupas kisah tentang Bung Karno, maka akan selalu kita
temukan the heroic side of Soekarno atau sisi kepahlawanan seorang
Soekarno. Ya, para sejarahwan dunia pun mengakui hal tersebut. Soekarno memang
memiliki kisah heroik yang tidak sedikit, baik itu sebelum atau sesudah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan penuh semangat dan kepercayaan
diri, Bung Karno selalu tampil yang terdepan untuk mengikuti jalannya revolusi
yang penuh riak gelombang. Bahkan, semangatnya yang berapi-api tersebut bisa ia
jadikan semangat untuk menghadapi panas-dinginnya suhu politik kala itu.
Bung Karno memang menjadi seorang tokoh yang tidak pernah sepi dari
kontroversi. Bung Karno selalu muncul di tengah-tengah kerumunan para pejuang
dengan ide-idenya yang sangat tidak masuk akal. Mari kita flashback sebentar pada kasus romusha. Saat itu, ratusan ribu nyawa
rakyat Indonesia mati secara mengenaskan karena menjadi romusha yang harus
bekerja secara paksa pada zaman pendudukan Jepang.
Ironisnya, saat itu Bung Karno justru ditugasi Jepang untuk mendata
dan “merayu” rakyatnya memasuki ranah kerja paksa yang mengerikan itu. Bung
Karno hanya bisa meneteskan air mata ketika mengingat kejadian yang sangat
mengerikan tersebut. Kepada Cindy Adam, Bung Karno menyampaikan penyesalannya
melalui sebuah pengakuan sebagai berikut, “Sesungguhnya akulah –Sukarno – yang mengirim
mereka kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju
kematian. Ya, ya, ya, ya akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk
menyokong pengerahan romusha Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala
dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi
seorang romusha. Dengan para wartawan, juru potret, Gunseikan –Kepala
Pemerintahan Militer- dan para pembesar pemerintahan aku membuat perjalanan ke
Banten untuk menyaksikan tulang-tulang-kerangka-hidup yang menimbulkan belas,
membudak di garis-belakang, itu jauh di dalam tambang batubara dan tambang mas.
Mengerikan. Ini membikin hati di dalam seperti diremuk-remuk.”
Selanjutnya, mari kita lihat sejarah pembentukan PETA. Pada bulan
Februari 1944, sebuah pasukan yang menamakan dirinya sebagai Pembela Tanah Air
(PETA) yang dipimpin oleh Suprijadi melakukan serangkaian pemberontakan. Peristiwa
ini tertulis dengan tinta emas dalam sejarah bangsa. Bahkan, pemberontakan PETA
di Blitar tercatat sebagai satu-satunya perlawanan paling besar melawan Jepang
selama masa pendudukannya di Indonesia. Saat itu, tentara militer Jepang
melatih beberapa pemuda yang berbadan keras dan memiliki kemampuan yang cukup
untuk membela diri. Tentu saja, para pemuda tersebut dilatih untuk dijadikan
kekuatan oleh Jepang dalam rangka melawan serangan para sekutu.
Rencana pembentukkan PETA pun sampai juga ke telinga Bung Karno
saat itu. Akhirnya, Bung Karno sendiri yang turun tangan untuk memilih
pemuda-pemuda cakap dan memiliki keahlian dalam berperang untuk direkrut
sebagai anggota PETA, salah satunya adalah Gatot Mangkupraja, seorang
pemberontak PNI yang dulu juga sempat dijebloskan ke penjara Sukamiskin pada
tahun 1929.
Tentu saja sikap Bung Karno tersebut ditentang oleh beberapa
pemuda. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang secara tegas “mengutuk” perbuatan
Soekarno sebagai salah satu sikap pengecut karena telah memihak Jepang.
Padahal, sikap Bung Karno saat itu berdasarkan perhitungan. Bung Karno
berharap, bahwa dengan menjadi anggota
PETA, maka para pemuda pribumi bisa mendapat pelajaran-pelajaran penting
tentang dasar-dasar kemiliteran, ilmu berperang, strategi bertempur, dan
penguasaan peralatan perang modern.
Namun sayangnya, para pemuda terlalu cerdas untuk dikadali oleh
pihak Jepang. Mereka tidak mau dijadikan “boneka” untuk melawan sekutu.
Supriyadi merupakan tokoh yang menggawangi pemberontakan ini. Ia memimpin para
pemuda PETA untuk menghancurkan markas Jepang.
Tentu saja, hal tersebut membuat Jepang murka. Akhirnya Jepang pun
melakukan tindakan yang sangat keji. Mereka menembaki, membantai, memenggal
para pemuda yang tergabung dalam PETA tersebut. Tidak hanya itu saja, Supriyadi
pun jadi target incaran Jepang. Dalam satu versi menyebutkan bahwa, Supriyadi
tertembak mati karena tertembus timah panas oleh Jepang. Namun ada juga yang
menyebutkan bahwa Supriyadi berhasil meloloskan diri dari kejaran tentara Dai
Nippon, Jepang.
Lalu, bagaimana reaksi Soekarno saat itu? Kepada Cindy Adams, Bung
Karno pun berkata bahwa ia terpaksa membuang muka atas tatapan wajah bangsanya.
Bung Karno sama sekali tidak punya kekuatan untuk melawan Jepang atas apa yang
terjadi di Blitar.
Tentu saja, sikap Bung Karno yang seakan-akan acuh terhadap
penderitaan rakyat Indonesia melalui peristiwa romusha dan peta tersebut di
atas, membuat Bung Karno mendapatkan julukkan baru, yaitu the collaborator. Bung Karno dituding mau bekerja sama dengan
Jepang.
Emosi para pemuda saat itu benar-benar tinggi. Mereka tetap
menganggap bahwa Bung Karno tidak mempedulikan rakyat sendiri. Bung Karno marah
dan menukas, “Itulah pandangan yang dangkal. Orang yang berpikir demikian,
tidak bisa melihat jangka yang lebih jauh ke depan. Tujuan yang pokok adalah
melengkapi alat perjuangan bagi kemerdekaan. Tidak ada maksud lain daripada
itu.”
Julukan sebagai pihak yang turut bekerja sama dengan Jepang
tersebut tidak hanya datang dari para pemuda, melainkan dari seorang dokter
yang sempat merawat Bung Karno. Pada suatu ketika, terjadilah percakapan antara
dokter tersebut dengan Bung Karno.
Dokter itu membantah, “Tapi ingatlah bahwa Jepang datang kemari
untuk menjajah. Dia itu musuh. Bertempur di samping mereka berarti membantu
Fasisme!”
Bung Karno menjawab, “Kukatakan, pendirian yang demikian itu
terlalu picik. Tapi, baiklah, Jepang itu datang kemari untuk menjajah dan harus
diterjang keluar. Akan tetapi ingat, bahwa mereka adalah penjajah yang bisa
diperalat. Saya membantu pembentukan PETA — ya! Tapi bukan untuk mereka!
Tidakkah dokter memahaminya? Untuk kita! Untuk engkau! Untukku! Untuk Tanah Air
kita! Atau, apakah dokter tetap mau menjadi orang jajahan sampai hari kiamat?”
Dokter itu pun terus mengeluarkan bantahannya dengan berkata kepada
Sukarno, “Rakyat menyatakan tentang Bung Karno, bahwa……..”
“Rakyat tidak mengatakan apa-apa!” Bung Karno pun segera memotong perkataan dokter tersebut. “Jikalau
mereka yakin, bahwa saya tidak menempuh jalan yang paling baik, tentu rakyat
tidak akan mengikuti saya, bukan? Coba, apakah memang rakyat tidak mengikuti
saya?”
“Tidak.”
“Bukankah mereka mengikuti saya?”
“Ya, seratus persen.”
“Jadi, rakyat tidak mengatakan apa-apa. Hanya beberapa pemuda yang
kepala panas saja yang mengatakan….”
Namun
tidak serta merta sikap Bung Karno selalu identik dengan hal-hal yang berbau
kontroversi. Bung Karno juga memiliki sifat yang mulia dan penuh perhatian
kepada semua orang, termasuk kepada para ajudannya sekalipun. Sebagai contohnya
adalah, Bung Karno pernah membatalkan keberangkatan rombongan sewaktu
akan meninggalkan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hal tersebut dikarenakan ada
beberapa pengawalnya yang belum dapat jatah sarapan pagi. Bung Karno pun segera
memberikan komando kepada rombongannya untuk menunda keberangkatan hingga semua
pengawal selesai sarapan.
Tidak hanya
itu saja, Bung Karno juga memerintahkan ajudannya supaya selalu memperhatikan
semua sopir dan pengawal agar tak satu pun dari mereka yang terlantar makan dan
minumnya. Seperti itulah figur seorang pemimpin seharusnya. Tidak hanya mampu
memimpin dan memberi perintah, tapi juga bisa memberikan rasa cinta, kasih,
perhatian, keamanan dan juga kenyamanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar