Banyak sekali kisah dan fakta unik mengenai Soekarno yang akan
dibahas di dalam buku ini. Salah satunya adalah persahabatan antara Soekarno
dengan seorang supir taksi yang bernama Arif. Siapakah sebenarnya Arif ini?,
mengapa ia bisa memiliki hubungan yang cukup dekat dengan “Sang Presiden”?.
Usut punya usut, ternyata persahabatan Soekarno dan Arif udah lama
terjalin, yaitu semenjak masa-masa tahun 1930-an. Saat itu, Bung Karno masih
aktif berkomunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakkan Betawi yaitu M. Husni Tamrin
yang bertempat tinggal di Gang Kenari, Kramat, Jakarta Pusat. Setiap minggu,
Bung Karno bisa dipastikan pergi ke Jakarta, tentu saja untuk menemui sahabatnya,
Husni Thamrin. Bung Karno acap kali ke Jakarta dengan menggunakan jasa kereta
api. Beliau naik kereta api dan turun di stasiun Gambir.
Setelah Bung Karno keluar peron, Bung Karno pun segera menoleh ke
kanan dan juga ke kiri. Ia sedang mencari-cari supir langganannya, yaitu Arif.
Sementara itu, Arif sendiri tahu bahwa ia sedang dicari oleh Bung Karno. Terkadang,
Arif justru terkesan menjauhi pandangan Bung Karno. Arif malah jalan melingkar
dan mengendap-endap namun arahnya ke belakang. Ketika ia sudah dekat, barulah
ia memberanikan diri untuk menepuk pun sambil menyapa, “Sedang melamun bung?.”
Bung Karno pasti berjingkat karena kaget “Oh… kau Rif. Saya sudah
mencari-cari kamu dari tadi,” tutur Bung Karno, yang digambarkan Arif sebagai
pemuda berparas tampan dan juga jangkung yang selalu tampil dengan mengenakan
peci.
Sejurus kemudian mereka berdua saling pandang sambil menunggu
suasana jadi lebih encer lagi. Hingga terdengarlah sebuah pertanyaan yang
keluar dari mulut si Arif.
“Mau kemana ya Bung?” tanya Arif. Meskipun pertanyaan tersebut
terkesan basi, namun setidaknya bisa meluluhkan suasana. Pertanyaan tersebut
pun berhenti, dan kemudian terdengarlah sebuah jawaban dari pertanyaan basi
tadi, “Ke Gang Kenari?”
Bung Karno pun segera menuju taksi Arif yang sedang diparkir di
halaman depan stasiun sambil mengatakan, “Iya emang mau kemana lagi?”
Ketika sampai di dalam taksi, Bung Karno pun segera masuk dan
duduk. Pada saat itulah, beliau pun berkata kepada Arif, “Eh… Rif, tapi kali
ini uang saya pas-pasan, bagaimana yaaa…?”
“Santai saja, Bung. Soal uang pas-pasan, Bung tidak perlu susah-susah
memikirkannya, Bung,” kata Arif. Sebenarnya, hati Arif berkata bahwa ia cukup
bangga dan bersyukur karena bertemu dengan seorang pemuda yang dikenalnya
sebagai seorang figur dalam pergerakkan pemuda. Arif senang sekali bila mendengar
cerita-cerita pergerakan, optimisme para pemuda, cita-cita kebangsaan, dan
obrolan-obrolan ringan dari Bung Karno, setiap beliau berada di dalam taksinya.
Kadang kala, Arif yang saat itu berusia 20-tahun merasa malu bahkan
rendah diri. Bagaimana ia bisa begitu sibuknya mencari rezeki?, sementara orang-orang
seperti Bung Karno, Husni Thamrin dan para pemuda lainnya sibuk membela kaumnya
dari penjajahan Belanda. Hal tersebutlah yang membuat ia rela tidak dibayar.
Arif menyadari bahwa Bung Karno kemungkinan besar sedang tidak berduit karena
bisa saja uangnya sudah terkuras habis untuk berbagai aktivitas di dalam
pergerakkannya.
Bagi Arif, mengantar Bung Karno dari Gambir menuju gang kenari
dengan tidak dibayar tidak sebanding dengan perjuangan Bung Karno dan
kawan-kawannya. Mereka semua rela berurusan langsung dengan Belanda, mereka
semua berani mengabaikan dirinya sendiri demi tanah air dan bangsa. Bahkan,
mereka pun juga rela mendekam di dalam penjara.
Satu yang paling Arif sukai adalah ketika Bung Karno menceritakan
tentang kisah Marhaenisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan kekejaman lainnya yang
benar-benar membuat darah merah Arif seperti mendidih.
Di samping itu, masih ada nasehat atau petuah-petuah dari Bung Karno
yang masih melekat erat di dalam telinganya, antara lain adalah “Arif, kita
harus sadar bahwa kita ini bukan bangsa tempe, tetapi masih cucu elang
rajawali. Coba saja siapa yang tidak kenal tokoh Gajah Mada yang dapat
menyatukan Majapahit. Bukankah pada waktu itu negara Majapahit berpengaruh
sampai luar negeri? Nah, di sinilah Arif, kita harus sadar sesadar-sadarnya,
dan ketahuilah tidak seorangpun dapat mengubah nasib bangsanya kalau bangsa itu
sendiri tidak mau berusaha, tidak mau bangkit, mengubahnya sendiri.”
Meskipun Bung Karno pernah berhutang ongkos taksi kepada Arif,
namun Bung Karno tetaplah seseorang yang berhati baik, beliau pasti
mengembalikan hutangnya tersebut.
|
Arif pun segera menjawab, “Bung, jangan berkata begitu terus,
bikin malu saya saja… sampai besok pagi bung!”
Esok harinya, yaitu pada tanggal 1 Agustus 1933, Arif pun segera meninggalkan
rumahnya dan membawa taksinya ke Gang Kenari untuk menjemput Bung Karno.
Sesampainya di Gang Kenari, Arif pun terkejut bukan main ketika mendengar bahwa
Bung Karno telah tertangkap oleh Belanda semalam. Seperti tak bernyawa lagi, Arif
menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi kemudi taksinya sambil bergumam, “Nasib
pejuang. Kemarin masih bercanda sama saya, hari ini sudah meringkuk di
penjara.”
Arif yang sudah menganggap Bung Karno lebih dari sahabat pun selalu
mengupdate data tentang Bung Karno. Ia selalu mencari kabar baru tentang
sahabatnya tersebut melalui surat kabar maupun teman-teman seperjuangan Bung
Karno. Arif pun pun juga mengetahui kabar-kabar tentang Soekarno seperti ketika
ia dibuang ke Ende, Bengkulu dan sebagainya. Hingga tahun 1942, yaitu ketika Jepang
masuk ke Indonesia, ia belum pernah bertemu dengan Bung Karno.
Pada masa kependudukan Jepang, Arif mendapatkan sebuah kejutan.
Tiba-tiba ia kedatangan seorang tamu yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Lelaki tersebut pun menyapa Arif dengan sebuah pertanyaan, “Arif… apa
kabarnya?,” sapa tamu itu ramah. Arif pun menyambut tamu tersebut dengan
senyum manis. Mereka berpelukkan sebagai mana sepasang sahabat yang saling
melepas rindu. Tamu yang dimaksud, tak lain dan tak bukan adalah Bung Karno. Ia
datang bertamu malam-malam ke rumah Arif dengan membawa dua tujuan. Pertama,
melunasi semua utang ongkos taksi terdahulu. Tujuan kedua, menawari Arif untuk
sopir pribadi Bung Karno.
Kisah persahabatan ini berujung pada kebersamaan Arif dan Bung
Karno yang hampir tak bisa dipisahkan. Ia merasa terhormat dan tersanjung
karena menjadi supir seorang “Bung Karno”. Sejarah mencatat, bahwa Arif
mengabdi sebagai pengemudi pribadi Bung Karno hingga tahun 1960. Saat Bung
Karno bertanya, tentang keinginan Arif setelah berhenti bekerja sebagai supir?
Spontan Arif pun menmjawab bahwa ia sangat ingin naik haji, Bung Karno pun
mengabulkan Arif pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar