Rabu, 05 Juli 2006

Detik-Detik Wafatnya Sang Proklamator


Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. RSPAD Gatot Soebroto dipenuhi oleh tentara, termasuk ruangan intensive care. Serdadu berseragam dan lengkap dengan senjata sudah bersiaga penuh sejak hari masih pagi. Mereka berjajar dan berbaris, ada juga yang berjaga-jaga di beberapa titik strategis di dalam rumah sakit tersebut. Suasana semakin terlihat mencekam ketika terdapat beberapa petugas keamanan yang menyamar sebagai preman berjalan hilir mudik di koridor rumah sakit hingga ke area parkir.
Suasana yang mencekam dan mendebarkan memang sudah mulai terasa sejak pagi. Kabar terakhir menyebutkan bahwa mantan pemimpin negeri ini, yaitu Presiden Soekarno dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang semakin memburuk. Soekarno terpaksa dilarikan dari rumah tahanannya di Wisma Yaso karena penyakitnya yang semakin parah.
Lelaki yang dulunya bergelar “Singa Podium” tersebut tergolek lemas tak berdaya. Matanya sayu dan terus menerus tertutup. Suhu badannya yang tinggi pun tak kunjung turun juga. Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Orang yang dulu pemberani itu, terlihat begitu lemah. Bung Karno yang dulu selalu dikelilingi wanita tersebut, saat itu hanya dikelilingi oleh beberapa orang yang terus memberinya semangat hidup dan doa. Dari sorot matanya terlihat jelas menurunnya vitalitas seorang Soekarno. Orang yang dulu selalu bisa menghipnotis dan membakar semangat banyak orang, sekarang pun tidak bisa menatap atap langit kamar rumah sakit itu sekalipun. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Wajah tampannya yang dihiasi gigi gingsul itu telah membengkak. Hal tersebut adalah pertanda bahwa racun telah menyebar ke beberapa bagian dalam tubuhnya. Wajahnya tidak hanya bengkak, tapi penuh dengan lubang-lubang kecil seperti pada permukaan bulan. Wajahnya benar-benar bisa membuktikan bahwa Soekarno sedang berusaha untuk menahan sakit
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu
Setelah ruangan tempat Bung Karno disterilkan, dua hari kemudian, Megawati yang merupakan anak sulungnya dari Fatmawati pun diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Mega pun hanya bisa meneteskan air matanya ketika melihat kondisi ayahnya yang sangat memperihatinkan. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Perlahan-lahan, Megawati pun mendekatkan bibirnya ke telinga sang ayah sambil berkata,
“Pak, Pak, ini Ega …”
Namun perkataan tersebut tidak juga mendapat respon, keadaan waktu itu tetap sunyi senyap. Kedua mata Bung Karno memang tertutup, namun bibirnya seperti sedang ingin mengatakan sesuatu. Sepertinya, jari jemarinya ingin menulis. Namun sayang, jangankan untuk menulis, untuk menggerakkan jemari saja, Bung Karno tak bisa.
“Bapak enggak kuat menahan sakitnya ya, biar Ega yang gantiin sakitnya Bapak….” Air mata pun kembali menetes dari mata sang puteri tercinta.
Megawati yang tak kuasa saat harus diperlihatkan dengan pemandangan seperti itu pun akhirnya tumbang juga. Ia pingsan dan segera dipapah keluar oleh beberapa petugas Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
Pada malam harinya ketahanan tubuh Soekarno pun semakin melemah. Beliau pun comma, dan segera mendapatkan pertolongan serius dari tim medis. Esok harinya, Bung Hatta pun diijinkan menjenguk sahabat karibnya itu. Air mata Bung Hatta pun menetes perlahan.
Berutunglah Bung Hatta karena masih bisa melihat senyum kecil teman seperjuangannya dulu. Bung Hatta pun segera menghapus sisa air mata yang menempel di pipinya. Soekarno pun membuka mata dan dengan lirih beliau bertanya,
“Hatta….apakah kau di sini?”
Sambil mengangguk perlahan, Bung Hatta pun menjawab, “Yah, aku di sini. Bagaimana keadaanmu, No?”
Bung Hatta pun menjabat tangan sabat karibnya itu. Saat itu, Bung Hatta merasakan adanya aliran hawa panas yang menjalar melalui jemarinya. Dalam keadaan lemah, Bung Karno pun berusaha sekuat mungkin untuk mengumpulkan kekuatan dalam dirinya. Beliau tersenyum kecil dan bertanya dalam bahasa Belanda, “Hoe gaat het met jou…? (Bagaimana keadaanmu?)”
Bung Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya pun semakin erat memegang jemari Bung Karno. Tiba-tiba saja, pecahlah pertahanan Bung Karno. Beliau menangis cukup keras. Beliau terisak-isak seperti seseorang yang benar-benar kesakitan. Air matanya pun tumpah dengan derasnya.
Bung Hatta yang melihatnya pun tak kuasa menahan diri. Ia menangis dan sesekali mencium tangan lelaki tua yang dulu ia banggakan dan selalu ia puji itu. Bung Hatta tahu betul perasaan sahabatnya itu. Rasanya, Bung Hatta ingin membawa lari sahabatnya itu dan membawanya ke tempat yang lebih indah. Namun, gambaran kesedihan di waktu itu hanya bisa dilukiskan dengan isakan dua mantan orang terbesar di Indonesia, seperti dua anak lelaki yang kehilangan mainannya. Ajudan dan beberapa tentara yang berada di tempat itu pun terbawa suasana. Mereka sesekali menangis dan mengusap air matanya dengan sapu tangan.
Para ajudan itu juga melihat, bagaimana eratnya jabatan tangan antara dua orang yang telah lama terpisahkan itu. Bung Hatta pun kembali mencium jemari sahabatnya. Ia tahu betul penderitaan sahabatnya itu. Tiba-tiba saja, terlihat aura kemarahan dalam tatapan mata Bung Hatta. Ia terlihat marah sekali dengan sikap penguasa baru yang sudah tega berbuat dzalim terhadap orang yang pernah berjasa bagi Indonesia.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka. Sehari setelah pertemuan tersebut, kondisi Bung Karno pun semakin memburuk. Kondisi tubuh Bung Karno semakin melemah. Beberapa orang yang salah satunya Ratna Dewi Soekarno dan anaknya pun terlihat sedang duduk khusyuk memanjatkan doa bagi orang yang paling mereka cintai itu.
Pada hari Minggu pagi, 21 Juni 1970, datanglah Mardjono menemui keluarga Bung Karno. Mardjono adalah seorang dokter yang sudah lama merawat Bung Karno menyebutkan bahwa harapan Bung Karno sangat tipis.  Suasana saat itu pun mendadak menjadi suasana yang penuh dengan kecemasan.
Mardjono pun kembali masuk ke ruangan di mana Bung Karno selama ini dirawat intensif. Ia pun segera memeriksa denyut nadi Bung Karno. Dengan kekuatan penuh, Bung Karno pun berusaha memegang tangan Mardjono. Setelah tangan Mardjono terpegang, tiba-tiba saja Mardjono merasakan aliran hawa yang panas sekali dari tangan yang lemah itu. Tiba-tiba saja, tangan yang panas itu mendadak lemah tak berdaya. Saat itulah, Bung Karno menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tubuh Bung Karno pun tergolek lemas tak berdaya sedikitpun. Kehampaan pun terasa, suasana begitu mencekam. Terlebih setelah terdengar isak tangis keluarga besar Soekarno, termasuk tangis sang puteri, Megawati. Tak lama kemudian, Mardjono dan beberapa tim medis pun mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan bahwa Bapak Proklamator, Soekarno telah meninggal dunia.
Itulah saat-saat di mana dunia ini kehilangan orang terhebat, yang bahkan kehebatannya membuat dunia internasional turut mengagumi dan mengakuinya. Dialah Soekarno, sang pahlawan proklamator. Seorang presiden yang penuh dengan kontroversi.
Soekarno memang bukan manusia biasa. Semua sejarahwan pun sepakat mengakui pernyataan tersebut. Ia merupakan sosok yang sulit dicari dan tergantikan. “Selamat jalan Bung Karno, beristirahatlah dengan tenang. Jasamu yang begitu besar ini akan kami kenang dan perjuanganmu kan kami lanjutkan.” Ucap Mardjono, mengakhiri pernyataan resminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar