Setelah wafatnya sang proklamator, kedukaan pun menyelimuti negeri ini.
Namun tidak hanya itu saja, dunia internasional pun turut berduka. Berbagai
macam ucapan bela sungkawa menghiasi media massa waktu itu. Ada juga beberapa
tokoh dan pemimpin dunia yang menyempatkan diri bertandang ke Indonesia untuk
menunjukkan rasa bela sungkawanya atas meninggalnya sang mantan presiden,
Soekarno. Di luar istana, banyak sekali rakyat Indonesia yang turut berbela
sungkawa. Sebagian dari mereka masih ada yang menangis, sepertinya mereka masih
terpukul atas meninggalnya orang yang telah melepaskan mereka dari belenggu
penjajahan. Mereka masih bersedih atas meninggalnya orang yang telah membawa
mereka kepada kemerdekaan.
Kedukaan tidak hanya terjadi di luar istana, di dalam istana pun air mata
kesedihan masih terlihat ada di beberapa pipi keluarga besar Soekarno, termasuk
para isteri Bung Karno. Kedukaan bisa terlihat jelas di wajah Hartini, seorang
wanita yang dengan setia menemani Bung Karno hingga akhir hayatnya. Matanya
sembap karena terlalu lama menangis. Ada juga Ratnasari Dewi yang duduk
bersimpuh sambil membawa anaknya yang belum pernah dilihat oleh Soekarno.
Inggit Ganarsih, wanita tua yang pernah dinikahi Bung Karno pun turut berduka.
Air mata menghiasi wajahnya yang sudah senja. Bahkan, ia nyaris pingsan karena
sedih mendengar berita meninggalnya orang yang pernah dicintainya. Namun, bu
Wardoyo yang merupakan kakak kandung dari Bung Karno segera memapah tubuh tua
Inggit. Pada saat upacara pemakaman Soekarno, Inggit mendapat perlakuan
istimewa. Ia diperkenankan untuk mendekati peti Bung Karno. Inggit juga
berkesempatan untuk membisikkan sesuatu ke telinga Bung Karno. Perlahan-lahan,
Inggit mendekati peti jenazah Bung Karno. Kemudian, dengan lembut Inggit pun
membisikkan, “Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit di
doakeun…” (Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan….)
Sementara itu, Fatmawati hanya bisa terdiam diri di rumahnya. Ia hanya
bisa menangis sambil mengurung diri di kamarnya. Semenjak pernikahan Bung Karno
dengan Hartini, Fatma sudah berjanji untuk tidak akan menginjakkan kakinya lagi
di Wisma Yaso. Namun, ia sempat meminta kepada Soeharto untuk mengijinkan
jenazah Soekarno dimakamkan di kediamannya, di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru.
Namun saat itu, Soeharto segera menolak permintaan Fatmawati tersebut.
Lain Hartini, Inggit dan juga Fatma, lain pula ekspresi Ratnasari Dewi.
Ia masih terpukul dengan kasus “dijatuhkannya” Soekarno oleh Soeharto. Belum
lagi larangan dari tim penjaga rumah sakit ketika Ratna datang untuk menjenguk
Bung Karno. Saat itu, para tentara dengan tegas mengusir Ratna yang sedang
hamil tua. Di antara isteri-isteri Soekarno, memang Ratna-lah yang terkesan
“vocal”. Ia pernah beradu mulut dengan ajudan Soeharto, bahkan dengan tegas
Ratna pun mengkritik Soeharto melalui surat terbukanya pada 16 April 1970.
Adapun isi suratnya adalah sebagai berikut;
“Tuan Soeharto, Bung Karno itu saya tahu benar-benar sangat mencintai
Indonesi dan rakyatnya. Sebagai bukti bahwa meskipun ada lawannya yang
berkali-kali menteror beliau, beliau pun masih mau memberikan pengampunan kalau
yang bersangkutan itu mau mengakui kesalahannya. Dibanding dengan Bung Karno,
maka ternyata di balik senyuman Tuan itu, Tuan mempunyai hati yang kejam. Tuan
telah membiarkan rakyat, yaitu orang-orang PKI dibantai. Kalau saya boleh
bertanya, ‘Apakah Tuan tidak mampu dan tidak mungkin mencegahnya dan melindungi
mereka agar tidak terjadi pertumpahan darah?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar