Mungkin banyak orang yang sudah tahu tentang Bung Karno dan
kesembilan isterinya. Namun tahukah Anda bahwa ada kisah unik yang terjadi
antara Bung Karno dengan sang penjahit bendera pusaka, yaitu Fatmawati?.
Inilah sekelumit kisah asmara Sukarno – Fatmawati yang mungkin akan
sangat unik untuk disimak. Gambaran gelora cinta Bung Karno kepada Fatmawati
bisa dilihat dari kutipan surat cinta yang tertulis pada 11 September 1941 berikut
ini:
“O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan
djiwakoe, soepaja sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe….”
Kisah cinta Bung Karno dengan Fatmawati terjalin ketika Bung Karno
diasingkan di Bengkulu. Pada saat itu, Bung Karno sudah menikah dengan Inggit Garnasih,
namun belum dikaruniai putra. Rasa cintanya terhadap Fatmawati membuat Bung
Karno harus berjuang ekstra keras agar Inggit mengijinkannya untuk menikahi
Fatmawati.
Sepulang dari pengasingan, Bung Karno terlihat selalu murung. Ia
benar-benar sedang merasakan demam cinta dengan Fatmawati. Kegundahan Bung
Karno tersebut berhasil ditangkap oleh anak angkatnya yaitu Ratna Juami dan
suaminya, Asmara Hadi. Mereka berdua mengetahui bahwa Bung Karno sedang terbakar
panasnya demam cinta. Melihat ayahnya bermuram durja, Ratna dan suaminya pun
memberanikan diri untuk membujuk Inggit agar merelakan Bung Karno menikahi
Fatmawati.
Namun kenyataan tidak sesuai yang dibayangkan oleh Ratna dan
suaminya. Ternyata, Inggit benar-benar tidak mau dimadu. Inggit lebih memilih
sebuah perceraian dari pada harus membagi cintanya dengan orang lain. Akhirnya perceraian
pun terjadi, Inggit pun memutuskan untuk pulang ke Bandung. Di hari terakhirnya
bersama Bung Karno, Inggit terkena sakit gigi. Pada saat-saat seperti itu, Bung
Karno pun masih menunjukkan perhatiannya dengan mengantar Inggit ke dokter
gigi. Tidak sampai di situ saja, Bung Karno pun juga ikut pergi ke Bandung,
mengantar Inggit dan juga ikut membongkar barang-barang yang ada di dalam koper
mantan isterinya tersebut. Selanjutnya, Bung Karno pun mengucapkan salam
perpisahan dan berterima kasih kepada Inggit karena telah menemaninya selama
ini.
Pada bulan Juni 1943, Bung Karno pun segera menikahi Fatmawati.
Saat itu Bung Karno sedang berada di Jakarta, sementara Fatmawati ada di
Bengkulu. Bagaimana mungkin pernikahan tersebut bisa terjadi?. Seperti pepatah,
Banyak Jalan Menuju Roma, Bung Karno pun terus berpikir bagaimana
caranya untuk menikahi sang pujaan hati. Akhirnya, Bung Karno pun menikahi
Fatmawati secara nikah wakil. Sebab, kalau harus mengurus perizinan ke Jakarta
untuk Fatma dan seluruh keluarganya, pada saat itu, sangat mustahil.
Alasan lainnya adalah, karena tuntutan pergerakan dan perjuangan,
Bung Karno pun tidak mungkin meninggalkan Jakarta ke Bengkulu untuk melakukan
pernikahannya. Di sisi lain, Bung Karno merasa, tidak mungkin bisa menahan
lebih lama lagi untuk menikahi Fatmawati.
Menurut hukum Islam, sebuah pernikahan bisa saja dilangsungkan,
asal ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki-laki. Oleh
karena itu, Bung Karno segera mengirim sebuah telegram kepada seorang sahabat
karibnya yang tinggal di Bengkulu. Dalam kesempatan tersebut, Bung Karno juga
memintanya menjadi wakil Bung Karno menikahi Fatmawati. Setelah membaca
telegram dari Bung Karno, sahabat Bung Karno tersebut pun bergegas ke rumah
Fatmawati, dan menunjukkan telegram dari Bung Karno. Pucuk dicinta ulam pun
tiba, ternyata cinta Bung Karno pun disambut oleh Fatmawati. Bung Karno semakin
bahagia ketika mengetahui bahwa orangtua Fatmawati menyetujui gagasan itu.
Akhirnya, Fatmawati bersama wakil dari Bung Karno tadi pun segera
menghadap ke penghulu. Pernikahan pun segera dilaksanakan kendati Famawati ada
di Bengkulu dan Bung Karno di Jakarta. Sebuah keputusan yang menyenangkan hati
pun terdengar bahwa Bung Karno dan Fatmawati telah resmi menjadi sepasang suami
isteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar