Jumat, 22 Desember 2006

Aku Ini Manusia Tahan Banting

Meskipun menjadi seorang presiden, meskipun Soekarno adalah orang nomor satu di Indonesia, Bung Karno masih manusia biasa. Bung Karno juga bisa merasakan kebahagiaan, kesedihan dan sebagainya. Bung Karno pun juga pernah menangis seperti manusia pada umumnya.
Dalam buku Menggali Api Pancasila, Bung Karno menyatakan bahwa, “Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.” Dalam ungkapan tersebut, tercermin sebuah kejujuran. Walaupun Soekarno adalah seorang presiden, seorang orator dan seorang penulis yang berbakat, namun Soekarno masih sangat membutuhkan dukungan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Perlu diketahui, bahwa Soekarno adalah sosok orang yang tidak tahan bila dilanda kesepian. Bung Karno tidak suka bila berada di sebuah tempat yang tertutup. Sikap Bung Karno yang sangat membutuhkan dukungan orang-orang di sekitarnya, tercermin dari pidato dan tulisannya.
Soekarno Adalah Pribadi yang kesepian
Menjelang akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering dilanda kesepian. Tak jarang ia selalu menghabiskan malam harinya untuk menelfon sahabat-sahabatnya. Kenyataan tersebut tertulis dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, ia berkata.
“Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.’… Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.” (Adams, 2000:3)
Dalam buku tersebut, beliau juga menyatakan bahwa “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.” (Adams, 2000:14)
Rasa kesepiannya juga bisa kita lihat ketika beliau berada di dalam penjara Sukamiskin. Selain disiksa oleh hawa dingin yang menusuk sampai persendian, Bung Karno juga disiksa secara batin karena terpisah dari teman-teman seperjuangannya. Saat itu, Bung Karno tidak bisa merasakan apa-apa, kecuali himpitan dinding-dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu. Hal tersebut juga tertuang di dalam buku autobigrafinya, seperti yang tertulis di dalam kutipan berikut ini.
“Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati. Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal.” (Adams, 2000:135)
Banyak praktisi sejarah bahwa Bung Karno adalah figur yang tahan banting. Di masa kecilnya ia merasakan penderitaan, di masa tuanya pun ia tidak jauh-jauh dari penderitaan. Soekarno kecil adalah seorang anak laki-laki yang hanya bisa bermimpi. Ia tidak bisa menikmati benda-benda yang diidamkannya.
Ketika anak-anak seusianya bisa merasakan nikmatnya makanan enak, Bung Karno hanya bisa melihatnya dan bermimpi akan merasakan makanan tersebut suatu hari nanti. Sekali lagi, Bung Karno hanya bisa menangis melihat ketidak berdayaannya tersebut. Siksaan batin lainnya adalah ketika Soekarno kecil berada di dalam sekolah, ia harus menahan dirinya dari ejekkan dan hinaan anak-anak Belanda yang memang memiliki kegemaran suka meremehkan anak-anak pribumi.
Belum lagi pengalaman Soekarno ketika ia berusia lima tahun. Saat itu, Soekarno pernah berturut-turut menderita penyakit tifus, disentri, dan juga malaria. Pengalaman traumatis tersebutlah yang akhirnya membuat kedua orang tua Bung Karno sepakat untuk mengganti nama Bung Karno dari Kusno menjadi Karno. Namun siapa yang mengira bahwa nama Karno yang diberikan oleh sang ayah justru merupakan nama pejuang besar beberapa tahun kemudian.
Sederetan pengalaman pahit tersebut sangat membekas kuat di dalam ingatan Soekarno. Bung Karno menganggap bahwa kebahagiaan di hari tuanya adalah kompensasi dari masa lalunya yang dirampas kemiskinan (Adams, 2000). Pernyataan tersebut seakan-akan menjelaskan bahwa ada semacam dendam terhadap kemiskinan dan ketidakberdayaan di dalam dirinya. Dendam tersebutlah yang kemudian menggerakkan jiwa, raga dan pikiran serta sebagian besar waktunya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan belajar yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar