Meskipun menjadi seorang presiden, meskipun Soekarno adalah orang
nomor satu di Indonesia, Bung Karno masih manusia biasa. Bung Karno juga bisa
merasakan kebahagiaan, kesedihan dan sebagainya. Bung Karno pun juga pernah
menangis seperti manusia pada umumnya.
Dalam buku Menggali Api Pancasila, Bung Karno menyatakan bahwa, “Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat.
Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah
rakyat.” Dalam ungkapan tersebut, tercermin sebuah kejujuran. Walaupun Soekarno
adalah seorang presiden, seorang orator dan seorang penulis yang berbakat, namun
Soekarno masih sangat membutuhkan dukungan orang-orang yang berada di
sekitarnya.
Perlu diketahui, bahwa Soekarno adalah sosok orang yang tidak tahan
bila dilanda kesepian. Bung Karno tidak suka bila berada di sebuah tempat yang tertutup.
Sikap Bung Karno yang sangat membutuhkan dukungan orang-orang di sekitarnya,
tercermin dari pidato dan tulisannya.
Soekarno Adalah Pribadi yang kesepian
Menjelang akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering dilanda
kesepian. Tak jarang ia selalu menghabiskan malam harinya untuk menelfon
sahabat-sahabatnya. Kenyataan tersebut tertulis dalam autobiografinya yang
disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, ia berkata.
“Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang
sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat
denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku,
‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang
ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan
mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.’… Untuk pertama kali
dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.” (Adams, 2000:3)
Dalam buku tersebut, beliau juga menyatakan bahwa “Ditinjau
secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan
yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu…
Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.” (Adams,
2000:14)
Rasa kesepiannya juga bisa kita lihat ketika beliau berada di dalam
penjara Sukamiskin. Selain disiksa oleh hawa dingin yang menusuk sampai
persendian, Bung Karno juga disiksa secara batin karena terpisah dari
teman-teman seperjuangannya. Saat itu, Bung Karno tidak bisa merasakan apa-apa,
kecuali himpitan dinding-dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya.
Lalu muncullah perasaan badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam
ruang tahanan itu. Hal tersebut juga tertuang di dalam buku autobigrafinya,
seperti yang tertulis di dalam kutipan berikut ini.
“Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah
pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat dalam
kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan
tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya aku tak bisa
bernafas. Kupikir lebih baik aku mati.
Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal.”
(Adams, 2000:135)
Banyak praktisi sejarah bahwa Bung Karno adalah figur yang tahan
banting. Di masa kecilnya ia merasakan penderitaan, di masa tuanya pun ia tidak
jauh-jauh dari penderitaan. Soekarno kecil adalah seorang anak laki-laki yang
hanya bisa bermimpi. Ia tidak bisa menikmati benda-benda yang diidamkannya.
Ketika anak-anak seusianya bisa merasakan nikmatnya makanan enak,
Bung Karno hanya bisa melihatnya dan bermimpi akan merasakan makanan tersebut
suatu hari nanti. Sekali lagi, Bung Karno hanya bisa menangis melihat ketidak
berdayaannya tersebut. Siksaan batin lainnya adalah ketika Soekarno kecil
berada di dalam sekolah, ia harus menahan dirinya dari ejekkan dan hinaan
anak-anak Belanda yang memang memiliki kegemaran suka meremehkan anak-anak
pribumi.
Belum lagi pengalaman Soekarno ketika ia berusia lima tahun. Saat
itu, Soekarno pernah berturut-turut menderita penyakit tifus, disentri, dan juga
malaria. Pengalaman traumatis tersebutlah yang akhirnya membuat kedua orang tua
Bung Karno sepakat untuk mengganti nama Bung Karno dari Kusno menjadi Karno. Namun
siapa yang mengira bahwa nama Karno yang diberikan oleh sang ayah justru
merupakan nama pejuang besar beberapa tahun kemudian.
Sederetan pengalaman pahit tersebut sangat membekas kuat di dalam
ingatan Soekarno. Bung Karno menganggap bahwa kebahagiaan di hari tuanya adalah
kompensasi dari masa lalunya yang dirampas kemiskinan (Adams, 2000). Pernyataan
tersebut seakan-akan menjelaskan bahwa ada semacam dendam terhadap kemiskinan
dan ketidakberdayaan di dalam dirinya. Dendam tersebutlah yang kemudian
menggerakkan jiwa, raga dan pikiran serta sebagian besar waktunya pada semangat
perjuangan kemerdekaan dan keinginan belajar yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar