Jumat, 15 Desember 2006

From Jakarta To Jogjakarta


Ternyata filosofi hijrah tidak hanya terjadi pada zaman Nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wassalam. Bung Karno pun sempat mengambil filosofi tersebut. Terlebih ketika beliau merasa berada di posisi yang tidak aman. Lalu, kemana Bung Karno hijrah atau berpindah pada saat itu?.
Tidak ada yang menduga bahwa Bung Karno akan memilih kota Jogyakarta sebagai tujuan hijrahnya. Bung Karno merasa, bahwa kota Yogyakarta adalah pilihan tempat yang tepat dan bisa menjamin keamanan baginya, keluarga dan tentu saja rakyat Indonesia. Perpindahan pemerintahan dari Jakarta menuju Jogjakarta ini terjadi setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Saat itu, Belanda melakukan serangkaian ancaman dan tentu saja sangat mengusik kehidupan Bung Karno beserta keluarganya. Di saat-saat genting seperti itulah, Bung Karno menjadikan Jogjakarta sebagai pusat pemerintahan sementara, hingga suasana menjadi aman dan terkendali lagi.
Sebelumnya, Bung Karno beserta keluarga tinggal di keluarga Mualif Nasution, Sofyan Tanjung dan beberapa relasi Bung Karno lainnya. Tentu saja hal tersebut dilakukan untuk menghindari tindakan Belanda yang bisa saja merugikan dan mengancam nyawa Bung Karno beserta keluarganya.
Suasana mencekam kembali menghantui kehidupan Bung Karno pada tanggal 30 Desember 1945. Sepanjang malam, selalu terdengar dentum suara tembakan di sekitar kediaman Bung Karno, Bung Hatta dan juga Bung Sjahrir. Teror yang dilakukan oleh Belanda tidak hanya terjadi pada malam hingga dini hari, namun sepanjang siang pun Belanda tetap melancarkan aksi-aksi gilanya untuk mengusik Bung Karno beserta teman-temannya.
Selanjutnya, pada tanggal 3 Januari 1946, sekitar pukul 18.00, Bung Karno, Bung Hatta, beserta rombongan bertolak dari Jakarta menuju Jogyakarta dengan menggunakan kereta api luar biasa (KLB). Di dalam kereta api tersebut, juga turut diangkut dua buah mobil kepresidenan.
Suasana mencekam pun menyelimuti keberangkatan Bung Karno dan kawan-kawan ke Jogyakarta. Mereka sengaja tidak menyalakan lampu KLB, sehingga Belanda akan mengira bahwa KLB tersebut dalam keadaan kosong. Akhirnya, rombongan tersebut sampai juga di stasiun Manggarai. Di stasiun Manggarai ini, ternyata suasana belum juga aman. Bung Karno beserta teman-temannya masih melihat beberapa serdadu Belanda yang bersiap-siap dengan senapan laras panjangnya. Perlahan-lahan, kereta api pun meninggalkan stasiun Manggarai. 
Sesampainya di Stasiun Jatinegara, keadaan pun kembali mencekam. Para serdadu Belanda mulai mencurigai keberadaan KLB yang gelap tersebut. Bung Karno dan teman-teman hanya bisa berdoa untuk memohon perlindungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun untungnya, para serdadu tersebut tidak sampai masuk ke dalam gerbong. Akhirnya, KLB tersebut segera melanjutkan perjalanannya menuju kota tujuan mereka, yaitu Yogyakarta.
Pada tanggal 4 Januari 1946, rombongan Bung Karno pun sampai juga di Stasiun Tugu Jogyakarta. Setelah itu, mereka segera menuju ke Pura Pakualaman untuk menemui Paduka Sri Paku Alam. Bung Karno dan teman-teman pun istirahat sebentar sambil menunggu abdi dalem Sri Paku Alam yang membersihkan bekas rumah gubernur Belanda yang terletak tepat di depan Benteng Vredenburg. Setelah tempat tersebut selesai dibersihkan, Bung Karno beserta rekan pun segera menempatinya. Setelah kondisi cukup membaik, Bung Karno berpidato di RRI Jogyakarta untuk mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Pemerintah Republik Indonesia sejak saat itu dipindahkan ke Jogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar