Ternyata
filosofi hijrah tidak hanya terjadi pada zaman Nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi
Wassalam. Bung Karno pun sempat mengambil filosofi tersebut. Terlebih ketika
beliau merasa berada di posisi yang tidak aman. Lalu, kemana Bung Karno hijrah
atau berpindah pada saat itu?.
Tidak ada
yang menduga bahwa Bung Karno akan memilih kota Jogyakarta sebagai tujuan
hijrahnya. Bung Karno merasa, bahwa kota Yogyakarta adalah pilihan tempat yang
tepat dan bisa menjamin keamanan baginya, keluarga dan tentu saja rakyat
Indonesia. Perpindahan pemerintahan dari Jakarta menuju Jogjakarta ini terjadi
setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Saat itu, Belanda melakukan serangkaian
ancaman dan tentu saja sangat mengusik kehidupan Bung Karno beserta
keluarganya. Di saat-saat genting seperti itulah, Bung Karno menjadikan
Jogjakarta sebagai pusat pemerintahan sementara, hingga suasana menjadi aman
dan terkendali lagi.
Sebelumnya,
Bung Karno beserta keluarga tinggal di keluarga Mualif Nasution, Sofyan Tanjung
dan beberapa relasi Bung Karno lainnya. Tentu saja hal tersebut dilakukan untuk
menghindari tindakan Belanda yang bisa saja merugikan dan mengancam nyawa Bung
Karno beserta keluarganya.
Suasana
mencekam kembali menghantui kehidupan Bung Karno pada tanggal 30 Desember 1945.
Sepanjang malam, selalu terdengar dentum suara tembakan di sekitar kediaman
Bung Karno, Bung Hatta dan juga Bung Sjahrir. Teror yang dilakukan oleh Belanda
tidak hanya terjadi pada malam hingga dini hari, namun sepanjang siang pun
Belanda tetap melancarkan aksi-aksi gilanya untuk mengusik Bung Karno beserta
teman-temannya.
Selanjutnya,
pada tanggal 3 Januari 1946, sekitar pukul 18.00, Bung Karno, Bung Hatta,
beserta rombongan bertolak dari Jakarta menuju Jogyakarta dengan menggunakan
kereta api luar biasa (KLB). Di dalam kereta api tersebut, juga turut diangkut
dua buah mobil kepresidenan.
Suasana
mencekam pun menyelimuti keberangkatan Bung Karno dan kawan-kawan ke Jogyakarta.
Mereka sengaja tidak menyalakan lampu KLB, sehingga Belanda akan mengira bahwa
KLB tersebut dalam keadaan kosong. Akhirnya, rombongan tersebut sampai juga di
stasiun Manggarai. Di stasiun Manggarai ini, ternyata suasana belum juga aman.
Bung Karno beserta teman-temannya masih melihat beberapa serdadu Belanda yang
bersiap-siap dengan senapan laras panjangnya. Perlahan-lahan, kereta api pun
meninggalkan stasiun Manggarai.
Sesampainya
di Stasiun Jatinegara, keadaan pun kembali mencekam. Para serdadu Belanda mulai
mencurigai keberadaan KLB yang gelap tersebut. Bung Karno dan teman-teman hanya
bisa berdoa untuk memohon perlindungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun
untungnya, para serdadu tersebut tidak sampai masuk ke dalam gerbong. Akhirnya,
KLB tersebut segera melanjutkan perjalanannya menuju kota tujuan mereka, yaitu
Yogyakarta.
Pada tanggal
4 Januari 1946, rombongan Bung Karno pun sampai juga di Stasiun Tugu Jogyakarta.
Setelah itu, mereka segera menuju ke Pura Pakualaman untuk menemui Paduka Sri
Paku Alam. Bung Karno dan teman-teman pun istirahat sebentar sambil menunggu
abdi dalem Sri Paku Alam yang membersihkan bekas rumah gubernur Belanda yang
terletak tepat di depan Benteng Vredenburg. Setelah tempat tersebut selesai
dibersihkan, Bung Karno beserta rekan pun segera menempatinya. Setelah kondisi
cukup membaik, Bung Karno berpidato di RRI Jogyakarta untuk mengumumkan ke
seluruh dunia bahwa Pemerintah Republik Indonesia sejak saat itu dipindahkan ke
Jogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar