Jumat, 01 Desember 2006

Sesungguhnya, Aku Tahu Gerak Gerik Soeharto


Mungkin ungkapan berikut ini ada benarnya juga, bahwa menjadi presiden itu mudah, tapi menjadi seorang pemimpin negeri itu sangat sulit sekali. Seorang presiden dituntut untuk berjiwa besar, tidak mudah mengeluh dan mampu melindungi dan memberi contoh rakyatnya.
Ternyata semua hal tersebut pernah ditunjukkan oleh presiden Soekarno. Sejarah telah mencatat bagaimana tegarnya beliau ketika harus menghadapi berbagai macam tipu muslihat Soeharto untuk melancarkan kudetanya.
Belum lagi tindakan Soeharto yang sudah secara terang-terangan menyelewengkan isi dari Supersemar yang membuat hati Bung Karno benar-benar sakit. Kebencian dan sakit hati terhadap perbuatan Soeharto tidak hanya melanda diri Bung Karno, tapi juga segenap perwira dan orang-orang yang masih loyal dan tidak gila kekuasaan pun merasakan geram yang sama, seperti yang dirasakan Bung Karno. Bahkan menurut salah satu saksi, saat itu sejumlah petinggi militer membujuk Bung Karno untuk memukul Soeharto, namun Bung Karno menolak dengan alasan ia tidak mau bila konflik yang terjadi di dalam negeri tercium oleh pihak-pihak asing yang justru akan bertepuk tangan melihat kehancuran bangsa ini.
Selain itu, Bung Karno juga tidak pernah menghendaki adanya huru hara,apalagi yang memicu meletusnya perang saudara di negeri ini. Di tengah-tengah sakit hatinya seorang Bung Karno yang “digulingkan” bawahannya sendiri, banyak sekali pihak yang menyarankan Bung Karno untuk membalas kekejaman Soeharto dengan cara-cara kekerasan. Namun sekali lagi, Bung Karno dengan tegas mengatakan “Tidak.”
Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono adalah salah satu petinggi militer yang menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Soekarno. KKO telah terkenal sebagai barisan yang siap mengorbankan nyawanya demi Soekarno. Tidak hanya itu saja, KKO ini juga terkenal akan kesetiannya terhadap Sang Presiden, Soekarno. Bahkan ada salah satu kata Letjen Hartono yang masih terkenal hingga sekarang, yaitu “Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO”
Pada pertengahan Maret 1966, Hartono yang saat itu menduduki posisi Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut, datang untuk menghadap Bung Karno. Saat itu, ia melihat Achadi sedang menyampaikan laporan kepada Bung Karno mengenai penahanan beberapa menteri oleh Harto. Mendengar laporan Achadi, Bung Karno pun hanya bisa memberikan komentar,  “Kemarin sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”
Kemudian Achadi pun memperjelas apa yang disampaikan oleh Bung Karno tersebut, “Tetapi itu bukan pengawalan,” Untuk membuktikan perkataannya, Achadi pun memerintahkan salah seorang ajudannya untuk menghubungi Achmadi, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan. Seperti halnya Achadi, Achmadi pun juga turut ambil bagian dalam usaha untuk menghentikan hal-hal buruk yang mungkin terjadi setelah peristiwa pembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965.
Namun sayangnya, ajudan tersebut tidak dapat menemukan keberadaan Achmadi. Saat seperti itulah, Hartono segera meminta izin untuk menemui Soeharto dan pasukannya. Namun permintaan Hartono tersebut ditolak oleh Soekarno. Beliau sama sekali tidak menghendaki adanya pertumpahan darah lagi di Indonesia. Soekarno juga mengatakan bahwa seburuk-buruknya perang adalah perang saudara, dan itu benar-benar harus dihindari.
Menghindari terjadinya perang saudara inilah yang menjadi wujud kecintaan Presiden Soekarno terhadap rakyat dan negeri ini Bung Karno sangat tidak menginginkan adanya pertumpahan darah di negeri sendiri, apalagi bila hanya ditukar dengan sebuah kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar