Mungkin
ungkapan berikut ini ada benarnya juga, bahwa menjadi presiden itu mudah, tapi
menjadi seorang pemimpin negeri itu sangat sulit sekali. Seorang presiden
dituntut untuk berjiwa besar, tidak mudah mengeluh dan mampu melindungi dan
memberi contoh rakyatnya.
Ternyata
semua hal tersebut pernah ditunjukkan oleh presiden Soekarno. Sejarah telah
mencatat bagaimana tegarnya beliau ketika harus menghadapi berbagai macam tipu
muslihat Soeharto untuk melancarkan kudetanya.
Belum lagi
tindakan Soeharto yang sudah secara terang-terangan menyelewengkan isi dari
Supersemar yang membuat hati Bung Karno benar-benar sakit. Kebencian dan sakit
hati terhadap perbuatan Soeharto tidak hanya melanda diri Bung Karno, tapi juga
segenap perwira dan orang-orang yang masih loyal dan tidak gila kekuasaan pun
merasakan geram yang sama, seperti yang dirasakan Bung Karno. Bahkan menurut
salah satu saksi, saat itu sejumlah petinggi militer membujuk Bung Karno untuk
memukul Soeharto, namun Bung Karno menolak dengan alasan ia tidak mau bila
konflik yang terjadi di dalam negeri tercium oleh pihak-pihak asing yang justru
akan bertepuk tangan melihat kehancuran bangsa ini.
Selain itu,
Bung Karno juga tidak pernah menghendaki adanya huru hara,apalagi yang memicu
meletusnya perang saudara di negeri ini. Di tengah-tengah sakit hatinya seorang
Bung Karno yang “digulingkan” bawahannya sendiri, banyak sekali pihak yang
menyarankan Bung Karno untuk membalas kekejaman Soeharto dengan cara-cara kekerasan.
Namun sekali lagi, Bung Karno dengan tegas mengatakan “Tidak.”
Komandan
Korps Komando (KKO) Letjen Hartono adalah salah satu petinggi militer yang
menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Soekarno. KKO telah terkenal
sebagai barisan yang siap mengorbankan nyawanya demi Soekarno. Tidak hanya itu
saja, KKO ini juga terkenal akan kesetiannya terhadap Sang Presiden, Soekarno.
Bahkan ada salah satu kata Letjen Hartono yang masih terkenal hingga sekarang,
yaitu “Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO”
Pada
pertengahan Maret 1966, Hartono yang saat itu menduduki posisi Menteri/Wakil
Panglima Angkatan Laut, datang untuk menghadap Bung Karno. Saat itu, ia melihat
Achadi sedang menyampaikan laporan kepada Bung Karno mengenai penahanan
beberapa menteri oleh Harto. Mendengar laporan Achadi, Bung Karno pun hanya
bisa memberikan komentar, “Kemarin
sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para
menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”
Kemudian
Achadi pun memperjelas apa yang disampaikan oleh Bung Karno tersebut, “Tetapi
itu bukan pengawalan,” Untuk membuktikan perkataannya, Achadi pun memerintahkan
salah seorang ajudannya untuk menghubungi Achmadi, yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Penerangan. Seperti halnya Achadi, Achmadi pun juga turut ambil
bagian dalam usaha untuk menghentikan hal-hal buruk yang mungkin terjadi
setelah peristiwa pembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat
dinihari 1 Oktober 1965.
Namun
sayangnya, ajudan tersebut tidak dapat menemukan keberadaan Achmadi. Saat
seperti itulah, Hartono segera meminta izin untuk menemui Soeharto dan
pasukannya. Namun permintaan Hartono tersebut ditolak oleh Soekarno. Beliau
sama sekali tidak menghendaki adanya pertumpahan darah lagi di Indonesia.
Soekarno juga mengatakan bahwa seburuk-buruknya perang adalah perang saudara,
dan itu benar-benar harus dihindari.
Menghindari
terjadinya perang saudara
inilah yang menjadi wujud kecintaan Presiden Soekarno terhadap rakyat dan
negeri ini Bung Karno sangat tidak menginginkan adanya pertumpahan darah di
negeri sendiri, apalagi bila hanya ditukar dengan sebuah kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar