Senin, 04 Desember 2006

Soekarno Menuju Istana Bogor


Sepanjang sejarah perjalanan hidup Bung Karno, peristiwa penyerahan surat perintah ke Soeharto untuk menggantikan Bung Karno menjadi presiden adalah momen yang sangat menentukan. Namun tahukah Anda bahwa sebelum proses penyerahan surat tersebut, ternyata suasana Jakarta sangat tegang bahkan mencekam.
Peristiwa mencekam tersebut terjadi pada 10 Maret malam, (ada yang menyebutkan pukul 22.00) Bung Karno terpaksa diungsikan ke Istana Bogor demi alasan keamanan. Mangil, salah satu saksi peristiwa malam mencekam tersebut, menuliskan kesaksiannya dalam sebuah buku berjudul Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967.
“JAKARTA, awal Maret 1966. Hari-hari terakhir ini banyak demonstrasi. Tak jarang demonstrasi ini menuju ke Istana Bung Karno. Pada suatu malam, tepatnya pada 10 Maret 1966, Bung Karno memanggil Mangil. ’’Mangil, andaikata ada pasukan tank yang datang kemari untuk menangkap atau membunuh Bapak, apakah kamu ada waktu untuk membawa Bapak keluar dari Istana. Mangil, Bapak ini tua-tua begini masih kuat jalan kaki kalau kamu menghendaki Bapak keluar dari Istana dengan jalan kaki,’’ kata Bung Karno.
Sambil mengangguk, Mangil menjawab “bisa”. Tentu saja, Bung Karno memperlihatkan senyum bahagianya ketika mendengar jawaban tersebut. Bung Karno terlihat begitu lega. Kala itu, semua putera-puteri Bung Karno sedang tidur dengan nyenyaknya di kamar masing-masing. Karena alasan keamanan, akhirnya Bung Karno pun dibawa ke Istana Bogor. Untuk menghindari mata-mata, rombongan Bung Karno pun melewati jalan-jalan di perkampungan. Suasana malam yang begitu mencekam saat itu, membuat perjalanan Bung Karno menuju Istana Bogor dihiasi penuh rasa was-was. Bayangkan saja bila kita harus melakukan perjalanan di jalan yang sesepi itu. Suasana malam itu begitu gelap, sama sekali tidak ada penerangan kecuali dari cahaya lampu mobil yang dikendarai Bung Karno dan rombongan. Tak lama kemudian, mereka pun telah tiba di Istana Bogor.
Berikutnya, pada tanggal 11 Maret 1966, Bung Karno beserta rombongan pagi hari. Bung Karno sudah berangkat dari Istana Bogor menuju Istana Merdeka Jakarta karena ada laporan situasi telah memungkinkan bagi Bung Karno untuk kembali ke Jakarta. Sekali lagi karena faktor keamanan, pada saat itu disepakati untuk membawa Bung Karno ke Jakarta dengan helikopter. Tidak hanya itu saja, di dalam helicopter tersebut, Bung Karno ditemani oleh para ajudannya yang siap melindungi Bung Karno, seperti Komandan Resimen Cakrabirawa Brigjen Sabur, Komandan Datasemen Kawal Pribadi Mangil, dan Pilot Kolonel Penerbang Kardjono. Sesampainya di Istana Merdeka, Bung Karno pun segera memimpin rapat kabinet.
Namun ternyata, perjalanan rapat tersebut agak sedikit terganggu dengan munculnya tentara liar yang di sekitar Monas. Mengapa disebut tentara liar?, karena para tentara tersebut tidak mengenakan tanda kesatuan.
Mendengar berita tersebut, Brigjen Sabur, komandan Cakrabirawa pun segera memerintah perwira bawahannya yang bernama Mayor Sutarjo, untuk memeriksa benar salahnya berita yang baru saja ia terima. Tak lama kemudian, sang ajudan pun kembali dan membenarkan bahwa di Monas memang sedang telah berkumpul tentara-tentara liar. Menurut Mayor Sutarjo, rombongan tentara liar tersebut berasal dari RPKAD.
Setelah mendengar berita tersebut, Bridgen Sabur pun segera berunding dan menyebut tentara ini dari RPKAD. Setelah mendengar laporan ini, Sabur masuk ke Istana Negara untuk berunding dengan Mayjen Amirmachmud. Adapun hasil dari pembicaraan tersebut adalah mereka sepakat untuk membawa pergi Bung Karno ke Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Atas saran dua jenderal tersebut, Bung Karno pun dipindahkan ke Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Dari ruang sidang hingga Istana Merdeka, Bung Karno berjalan kaki ditemani oleh para ajudannya yang setia tersebut.
Dalam kesaksiannya, Mangil menyampaikan bahwa Bung Karno terlihat tenang dan tidak takut ketika melihat kehadiran tentara liar tersebut. Sikap tenang Bung Karno juga terlihat ketika mengetahui bahwa jaraknya dengan tentara liar tersebut cukup dekat. Sebagaimana naluri para pelindung lainnya, Mangil pun berada di depan Bung Karno sebagai pagar hidup. Mangli dengan gagahnya melindungi Bung Karno dan bersiap-siap melawan siapa saja yang berani melukai majikannya tersebut.
Setelah melakukan penerbangan yang cukup lama dengan helikopter, Bung Karno pun telah tiba di Istana Bogor. Setelah Bung Karno keluar dari helikopter, tak lama kemudian datang helikopter lainnya yang membawa Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. Keduanya membawa ajudan masing-masing.
Pada pukul 15.00 WIB mendarat helikopter yang membawa Jenderal Basuki Rahmat, Jendal M. Yusuf dan juga Pangdam V/Jaya Jenderal Amirmachmud. Mereka bertiga segera menuju paviliun Mangli, tempat I Soebandrio dan juga Chaerul Saleh juga melepas lelah. Tak lama kemudian, Sabur pun datang dan mempersilakan ketiga Jenderal tersebut untuk masuk ke pavilion Bung Karno.
Sekitar magrib, tampaklah Sabur yang datang ke pavilion Mangil dengan sangat tergesa-gesa. Sabur datang sambil membawa selembar kertas ’’Gua mau bikin surat perintah, nih…’’ Menurut kesaksian Mangil, ia mengakui tidak bisa memperhatikan apa yang diketik oleh Sabur. Sementara Sabur mengetik surat perintah tersebut, Mangil tetap saja duduk di kursi. Setelah Sabur selesai mengetik, ia segera kembali ke paviliun Bung Karno.
Sekitar pukul 20.00 WIB, Basuki, Jusuf, dan juga Amirmachmud terlihat meninggalkan paviliun Istana Bogor ke Jakarta dengan naik mobil. Setelah kepergian ketiga orang tersebut, tidak ada lagi kegiatan lagi dan tidak ada tamu untuk Bung Karno.
Keesokan harinya, pada tanggal 12 Maret 1966, Mangil mendengar dari sebuah siaran radio mengenai sebuah surat perintah dari Presiden Soekarno untuk Menteri/Panglima Angkatan Darat saat itu yang dijabat oleh Letjen Soeharto. Dalam surat tersebut, berisi tiga perintah, yaitu
·         Pertama, untuk menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi.
·         Kedua, menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden Republik Indonesia.
·         Terakhir, melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Surat perintah inilah yang nantinya dikenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret atau sering disingkat dengan istilah Supersemar. Selain bersejarah, peristiwa ini cukup kontroversi dan agak simpang siur kebenarannya. Pasalnya, hingga awal 1999, surat asli Supersemar ini tak pernah ditemukan. Bahkan hingga kini, belum diketahui siapakah pemegang surat perintah yang asli. Sebenarnya, pemerintah memiliki dua salinan surat ini. Namun anehnya, kedua buah salinan surat tersebut sangat berlainan satu dengan yang lainnya. Namun meskipun demikian, surat ini yang menandai pergantian kekuasaan dari Bung Karno ke Soeharto atau sering disebut dengan awal rezim Soeharto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar