Irian
Barat sebagai salah satu bagian dari NKRI harus diperjuangkan. Sebenarnya,
masalah pengembalian Irian Barat menjadi agenda besar pemerintah Indonesia
sejak tahun 1950, tepatnya setahun setelah penandatanganan Konferensi Meja Bundar.
Pemerintah Indonesia sedikit geram dengan sikap Belanda yang seolah-olah tidak
menepati hal-hal yang telah disepakati dalam Konferensi Meja Bundar Tersebut.
Perlu diketahui, bahwa konferensi yang diadakan tanggal 2 November 1949
diakhiri dengan keputusan sebagai berikut :
- Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara merdeka dan berdaulat
- Penyelesaian soal Irian Barat ditangguhkan sampai tahun berikutnya
- RIS sebagai negara berdaulat penuh kerjasama dengan Belanda dalam suatu perserikatan yang kepalai oleh Ratu Belanda atas dasar sukarela dengan kedudukan dan hak yang sama.
- RIS mengembalikan hak milik Belanda, memberikan hak konsensi, dan izin baru bagi perusahaan-perusahaan.
- Semua utang bekas Hindia Belanda harus di bayar oleh RIS
Namun kenyataannya, Belanda selalu
mengulur-ulur waktu dan memberi kesan bahwa ia enggan memenuhi janjinya untuk
menyerahkan Irian Barat. Pemerintah Indonesia masih harus dibuat menunggu
dengan ketidak pastian dari Belanda. Puncak kesabaran tersebut ada di tahun
1950, tepatnya setelah perubahan RIS menjadi NKRI pada tanggal 17 Agustus 1950.
Namun, masalah Irian Barat belum juga terselesaikan, hingga akhirnya Pemerintah
Indonesia mengambil beberapa langkah diplomasi, yaitu sebagai berikut di bawah
ini:
1.
Pada tanggal 4 Desember 1950 Indonesia
mengadakan konferensi Uni Indonesia Belanda. Tentu saja di dalam konferensi tersebut
Indonesia meminta agar Belanda menyerahkan Irian Barat secara de jure. Namun
ditolak oleh Belanda.
2.
Pada bulan Desember 1951 Indonesia kembali
mengadakan perundingan bilateral antara Indonesia dan Belanda. Seperti yang
sebelum-sebelumnya, Pemerintah Indonesia tak pernah berhenti meminta Belanda
untuk melepaskan Irian Barat dan masuk ke wilayah NKRI, namun ternyata
perundingan ini juga gagal.
3.
Usaha diplomasi lainnya juga dilakukan pada
bulan September 1952. Pada waktu itu, Indonesia mengirimkan nota politik
tentang perundingan Indonesia Belanda.
Perjuangan melalui diplomasi tidak hanya
dilakukan dengan proses perundingan bilateral saja. Pemerintah Indonesia juga
pernah menempuh perundingan secara internasional, yaitu sebagai berikut
1.
Melalui Konferensi Colombo yang diadakan pada
bulan April 1954. Di dalam konferensi tersebut, Indonesia menyampaikan
permasalahan yang sedang dihadapinya, yaitu mengenai Irian Barat. Saat itu, Indonesia
berhasil mendapat dukungan.
2.
Cara berikutnya ditempuh melalui sidang PBB pada
tahun 1954. Namun sayangnya, Indonesia gagal karena tidak memperoleh dukungan
yang kuat.
3.
Di dalam Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.
Pada saat itu, Indonesia mendapat dukungan dalam masalah Irian Barat.
Pemerintah
Indonesia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Belanda yang sangat menyebalkan
itu. Karena selalu menempuh kegagalan, Pemerintah Indonesia pun mengambil jalan
konfrontasi dengan Belanda. Adapun jalan konfrontasi tersebut terdiri dari.
a.
Konfrontasi Ekonomi
Terhitung sejak
tahun 1957, Indonesia sudah mulai “berperang” dengan Belanda untuk mendapatkan
kembali Irian Barat. Konfrontasi pertama yang dilakukan oleh Indonesia adalah
konfrontasi dalam bidang ekonomi. Adapun konfrontasi tersebut meliputi tindakan-tindakan
sebagai berikut di bawah ini:
1.
Nasionalisasi de javasche Bank menjadi
Bank Indonesia tahun 1951.
2.
Larangan terhadap maskapai penerbangan Belanda
(KLM) untuk melakukan penerbangan dan pendaratan di wilayah Indonesia.
3.
Pemerintah Indonesia melarang beredarnya
berbagai macam terbitan (media massa) yang berbahasa Belanda.
4.
Pemogokan buruh secara besar-besaran yang
terjadi pada perusahan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia.
Pemogokkan buruh tersebut memuncak pada tanggal 2 Desember 1957.
5.
Pemecatan semua perwakilan konsuler Belanda di
Indonesia. Pemecatan tersebut dimulai 5 Desember 1957.
Sejak pemecatan
semua perwakilan konsuler Belanda tersebut, mulai juga dilakukan aksi pengambilalihan
atau nasionalisasi secara sepihak terhadap perusahaan-perusahaan Belanda di
Indonesia. Adapun perusahaan-perusahaan yang berhasil diambil alih antara lain Netherlandsche
Handel Maatscappij (NHM) menjadi Bank Dagang Negara, Bank Escompto, dan
percetakan de Unie.
Tentu saja tindakan
pengambil alihan tersebut tentu saja membuat Belanda geram. Tidak hanya
Belanda, negara-negara barat pun cukup heran dengan langkah pemerintah
Indonesia yang bisa dibilang sangat berani tersebut. Seperti kata pepatah, ada
aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Ternyata, konfrontasi yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia ini membuat hubungan Indonesia – Belanda menjadi lebih
renggang dari yang sebelumnya.
b.
Konfrontasi Politik
Konfrontasi politik ini dilakukan dengan cara yang cukup ekstrim,
yaitu dengan cara pembatalan hasil KMB secara sepihak oleh pemerintah
Indonessia yang saat itu diwakili oleh Soekarno. Selanjutnya, Indonesia membuat
provinsi baru yaitu provinsi Irian Barat dengan ibu kota Soa Siu. Adapun
gubernur pertamanya Zainal Abidin Syah. Sedangkan untuk wilayanya, meliputi wilayah
yang diduduki Belanda serta daerah Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile. Tidak
hanya itu saja, untuk menggabungkan wilayah Irian Barat ke dalam NKRI, maka pemerintah
Indonesia juga membuat Partai Persatuan Cenderawasih.
c.
Konfrontasi Militer
Untuk lebih
menunjang perjuangan dalam merebut kembali Irian Barat, maka pemerintah
Indonesia pun juga melakukan konfrontasi militer. Konfrontasi ini dilakukan
dengan cara pembacaan Trikora atau Tiga Komando Rakyat oleh Presiden Soekarno pada
19 Desember 1961 di Yogyakarta. Adapun isi dari trikora tersebut
adalah:
1.
Gagalkan
pembentukan "Negara Papua" bikinan Belanda colonial
2.
Kibarkan sang
merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia
3.
Bersiaplah
untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar