Selasa, 24 Oktober 2006

Soekarno, Sang Guru Bangsa


Tidak berlebihan rasanya bila predikat sebagai “Guru Bangsa” kita sematkan kepada beliau, Ir. Soekarno. Selain itu, Bung Karno juga merupakan sang pencetus komunikator. Orang yang bisa mengajarkan kita bagaimana menghadapi audience dan berlagak seperti singa di atas podium yang bisa membakar semangat orang-orang yang mendengarkan pidato kita. Kita harus mengakui, bahwa pendidikan dan tauladan seperti itu sulit kita dapatkan di zaman sekarang.
Sebagaimana seorang guru professional pada umumnya, Bung Karno benar-benar memiliki segudang kemampuan untuk menyihir muridnya untuk mendengarkan materi yang ia sampaikan. Selain itu, Bung Karno juga mahir dalam menyampaikan gagasan-gagasan penting dengan lancar, penuh imajinasi, dan komunikatif. Bung Karno juga mampu menyampaikan topik-topik bahasan yang sebenarnya berat dan berbobot tinggi menjadi encer, ringan, mudah dipahami dan juga mudah dicerna oleh masyarakat luas.
Sebagai salah satu contohnya adalah ketika Bung Karno menyampaikan materi secara berkala pada tahun 1958 – 1959. Saat itu, Bung Karno dengan terperinci dan jelas menyampaikan sila demi sila dari Pancasila. Dengan sabar, beliau mulai mengupas satu demi satu bab tentang ideologi kebangsaan tersebut. Bung Karno mampu menanamkan bahwa Pancasila lebih dari sekadar pandangan hidup negera kita ini, tapi juga bisa kita jadikan sebagai alat pemersatu bangsa. Selanjutnya, Bung Karno juga mampu membuat rakyat terpukau dengan materi mengenai kapitalisme.
Selain penyampaian bahasan yang langsung kepada rakyat. Bung Karno juga memilih media radio yang disiarkan secara langsung di seluruh Indonesia. Selain pandai dalam mengolah kata dan menyampaikan materi, Bung Karno juga cukup tahu bagaimana caranya mengolah suara yang benar. Pidatonya ketika zaman sebelum merdeka dengan zaman setelah merdeka cukup berbeda. Bila dulu, beliau selalu menyampaikan topik-topik bahasan dengan suara yang menggebu-gebu dan berapi-api, namun setelah merdeka, Bung Karno menyampaikan kuliahnya dengan nada yang jauh lebih rileks, santai dan lebih komunikatif.
Di samping itu, Bung Karno juga berkali-kali meyakinkan rakyatnya bahwa istana negara bukanlah tempat sakral yang hanya diperuntukkan bagi presiden maupun pejabat pemerintahan, namun istana negara juga “rumahnya rakyat”, sehingga mereka bisa dengan bebas memasuki wilayah istana negara. Bahkan, Bung Karno juga menyatakan bahwa istana negara bisa menjadi sekolah atau tempat rakyat untuk belajar banyak hal.
Bung Karno berpendapat bahwa tidak selalu rakyat yang harus belajar dari pemerintah, tapi juga pemerintah yang harus belajar dari rakyat, sehingga pemerintah tahu apa-apa saja yang sedang dialami oleh rakyatnya dan apa-apa saja yang selama ini menjadi aspirasi (keinginan) rakyat. Bukankah memang seperti itu seharusnya?, karena negara ini dibayar oleh rakyat melalui pajak dan sebagainya, maka sudah wajar rasanya bila pemerintah juga memberikan hak rakyatnya. Seperti itulah yang dimaksud pemerintahan yang menakjubkan.
Teori dan praksis
Bung Karno mengakui bahwa di dalam penyampaian ide-idenya, ia sering mengambil ide atau pikiran dari negarawan-negarawan lainnya seperti Renan, Confusius, Gandhi, atau Marx. Hal itu dilakukannya bukan karena Bung Karno gemar meniru pikiran barat, melainkan karena ia ingin menanamkan semangat belajar kepada para rakyatnya. Bung Karno selalu ingin rakyat Indonesia tumbuh menjadi rakyat yang berpendidikan luas, rakyat yang mampu mengadopsi ilmu-ilmu dari berbagai sumber, tidak hanya dari presidennya sendiri melainkan dari sumber lainnya, sekalipun sumber tersebut datang dari orang yang belum mereka kenal.
Ilmu yang Bung Karno sampaikan tidak selalu berkaitan dengan kepemerintahan, beliau juga pernah menyampaikan hal-hal seputar pertanian. Hal tersebut menandakan bahwa Soekarno sangat perhatian dengan rakyat jelata. Bung Karno memang terkenal dengan sifat empati dan simpatinya sehingga beliau selalu ingin melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan.
Siapa bilang bahwa seorang guru pun tidak perlu belajar?. Bung Karno selalu belajar banyak hal. Selain dari buku dan para negarawan dunia, Bung Karno juga belajar langsung dari rakyatnya. Beliau tidak ingin hanya tahu keadaan rakyatnya dari berita-berita di radio, tapi beliau ingin turun langsung ke lapangan dan belajar banyak dari rakyat Indonesia. Baginya retorika memperjuangkan rakyat yang tidak disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat adalah omong kosong belaka.
Turunnya Sang Presiden ke masyarakat langsung bisa dibilang sebagai salah satu wujud nyatanya bahwa sebuah pendidikan tidak selalu berupa teori, ada kalanya kita juga harus turun langsung ke masyarakat untuk tahu sumber ilmu yang sebenarnya.
Bung Karno tak pernah berhenti dalam mempererat hubungan antara teori dan praksis, refleksi dan aksi. Mungkin inilah salah satu yang membedakan Bung Karno dengan para pemimpin lainnya, baik itu para pemimpin di zamannya maupun para pemimpin sesudahnya.
Dekrit 5 Juli 1959
Dekrit Presiden 1959 muncul karena kegagalan Badan Konstituante saat itu dalam menetapkan UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pada saat itu, anggota konstituante mulai bersidang dari 10 November 1956. Namun praktiknya, hingga tahun 1958, anggota konsituante tersebut belum juga mampu merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara itu, kebanyakan masyarakat meminta agar kembali kepada UUD 1945.
Untuk menanggapi permintaan rakyat tersebut, Presiden Soekarno lantas segera mengadakan sidang Konstituante pada 22 April 1959. Dalam sidang tersebut juga diadakan pemungutan suara yang diselenggarakan pada 30 Mei 1959. Adapun hasil dari pemungutan suara tersebut adalah 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara lainnya tidak setuju. Karena dirasa belum mencukupi syarat, maka pemungutan suara yang kedua pun diadakan pada 1 dan 2 Juni 1959. Namun, pemungutan yang kedua ini pun belum bisa mencapai kata sepakat. Akhirnya, konstituante memutuskan reses (masa perhentian sidang) yang ternyata menjadi akhir dari usaha dalam menyusun UUD.
Akhirnya, pada 5 Juli 1959 dikeluarkanlah Dekrit Presiden yang isinya adalah pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD 1945.
Demokrasi Terpimpin
Lahirnya demokrasi terpimpin ini berawal dari maklumat Drs. H Muhammad Hatta sebagai wakil presiden waktu itu. Bung Hatta saat itu menyampaikan tentang perlu adanya pembentukan partai-partai di Indonesia. Ternyata, maklumat Bung Hatta tersebut mendapatkan sambutan yang cukup meriah dari rakyat Indonesia. Hal tersebut terbukti dengan lahirnya sekitar 40 partai saat itu. Namun ternyata, hal tersebut tidak serta merta menambah suburnya sistem Demokrasi di Indonesia. Buktinya, kabinet-kabinet yang terpilih saat itu tidak ada yang bisa bertahan sampai 2 tahun, sehingga harus selalu terjadi perombakan-perombakan dengan kabinet yang baru.
Menurut penilaian Bung Karno, banyaknya partai hanya memperkeruh masalah dan bisa saja menjadi pemicu konflik baru, penyebab perpecahan dan sebagainya. Kondisi yang seperti itulah yang akhirnya memaksa Soekarno untuk menerapkan “Demokrasi terpimpin” dengan dukungan militer untuk mengambil alih kekuasaan.
Menurut UUD 1945, demokrasi terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Tentu saja, dalam hal ini kekuasaan tertinggi berada di tangan MPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar