Tidak
berlebihan rasanya bila predikat sebagai “Guru Bangsa” kita sematkan kepada
beliau, Ir. Soekarno. Selain itu, Bung Karno juga merupakan sang pencetus
komunikator. Orang yang bisa mengajarkan kita bagaimana menghadapi audience dan berlagak seperti singa di
atas podium yang bisa membakar semangat orang-orang yang mendengarkan pidato
kita. Kita harus mengakui, bahwa pendidikan dan tauladan seperti itu sulit kita
dapatkan di zaman sekarang.
Sebagaimana
seorang guru professional pada umumnya, Bung Karno benar-benar memiliki
segudang kemampuan untuk menyihir muridnya untuk mendengarkan materi yang ia
sampaikan. Selain itu, Bung Karno juga mahir dalam menyampaikan gagasan-gagasan
penting dengan lancar, penuh imajinasi, dan komunikatif. Bung Karno juga mampu
menyampaikan topik-topik bahasan yang sebenarnya berat dan berbobot tinggi
menjadi encer, ringan, mudah dipahami dan juga mudah dicerna oleh masyarakat
luas.
Sebagai
salah satu contohnya adalah ketika Bung Karno menyampaikan materi secara
berkala pada tahun 1958 – 1959. Saat itu, Bung Karno dengan terperinci dan
jelas menyampaikan sila demi sila dari Pancasila. Dengan sabar, beliau mulai
mengupas satu demi satu bab tentang ideologi kebangsaan tersebut. Bung Karno mampu
menanamkan bahwa Pancasila lebih dari sekadar pandangan hidup negera kita ini,
tapi juga bisa kita jadikan sebagai alat pemersatu bangsa. Selanjutnya, Bung
Karno juga mampu membuat rakyat terpukau dengan materi mengenai kapitalisme.
Selain
penyampaian bahasan yang langsung kepada rakyat. Bung Karno juga memilih media
radio yang disiarkan secara langsung di seluruh Indonesia. Selain pandai dalam
mengolah kata dan menyampaikan materi, Bung Karno juga cukup tahu bagaimana
caranya mengolah suara yang benar. Pidatonya ketika zaman sebelum merdeka
dengan zaman setelah merdeka cukup berbeda. Bila dulu, beliau selalu
menyampaikan topik-topik bahasan dengan suara yang menggebu-gebu dan
berapi-api, namun setelah merdeka, Bung Karno menyampaikan kuliahnya dengan
nada yang jauh lebih rileks, santai dan lebih komunikatif.
Di
samping itu, Bung Karno juga berkali-kali meyakinkan rakyatnya bahwa istana
negara bukanlah tempat sakral yang hanya diperuntukkan bagi presiden maupun
pejabat pemerintahan, namun istana negara juga “rumahnya rakyat”, sehingga
mereka bisa dengan bebas memasuki wilayah istana negara. Bahkan, Bung Karno
juga menyatakan bahwa istana negara bisa menjadi sekolah atau tempat rakyat
untuk belajar banyak hal.
Bung
Karno berpendapat bahwa tidak selalu rakyat yang harus belajar dari pemerintah,
tapi juga pemerintah yang harus belajar dari rakyat, sehingga pemerintah tahu
apa-apa saja yang sedang dialami oleh rakyatnya dan apa-apa saja yang selama
ini menjadi aspirasi (keinginan) rakyat. Bukankah memang seperti itu
seharusnya?, karena negara ini dibayar oleh rakyat melalui pajak dan
sebagainya, maka sudah wajar rasanya bila pemerintah juga memberikan hak
rakyatnya. Seperti itulah yang dimaksud pemerintahan yang menakjubkan.
Teori dan praksis
Bung
Karno mengakui bahwa di dalam penyampaian ide-idenya, ia sering mengambil ide atau
pikiran dari negarawan-negarawan lainnya seperti Renan, Confusius, Gandhi, atau
Marx. Hal itu dilakukannya bukan karena Bung Karno gemar meniru pikiran barat,
melainkan karena ia ingin menanamkan semangat belajar kepada para rakyatnya.
Bung Karno selalu ingin rakyat Indonesia tumbuh menjadi rakyat yang
berpendidikan luas, rakyat yang mampu mengadopsi ilmu-ilmu dari berbagai
sumber, tidak hanya dari presidennya sendiri melainkan dari sumber lainnya,
sekalipun sumber tersebut datang dari orang yang belum mereka kenal.
Ilmu
yang Bung Karno sampaikan tidak selalu berkaitan dengan kepemerintahan, beliau
juga pernah menyampaikan hal-hal seputar pertanian. Hal tersebut menandakan
bahwa Soekarno sangat perhatian dengan rakyat jelata. Bung Karno memang
terkenal dengan sifat empati dan simpatinya sehingga beliau selalu ingin
melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan.
Siapa
bilang bahwa seorang guru pun tidak perlu belajar?. Bung Karno selalu belajar
banyak hal. Selain dari buku dan para negarawan dunia, Bung Karno juga belajar
langsung dari rakyatnya. Beliau tidak ingin hanya tahu keadaan rakyatnya dari
berita-berita di radio, tapi beliau ingin turun langsung ke lapangan dan
belajar banyak dari rakyat Indonesia. Baginya retorika memperjuangkan rakyat
yang tidak disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat adalah omong
kosong belaka.
Turunnya
Sang Presiden ke masyarakat langsung bisa dibilang sebagai salah satu wujud
nyatanya bahwa sebuah pendidikan tidak selalu berupa teori, ada kalanya kita
juga harus turun langsung ke masyarakat untuk tahu sumber ilmu yang sebenarnya.
Bung
Karno tak pernah berhenti dalam mempererat hubungan antara teori dan praksis,
refleksi dan aksi. Mungkin inilah salah satu yang membedakan Bung Karno dengan
para pemimpin lainnya, baik itu para pemimpin di zamannya maupun para pemimpin sesudahnya.
Dekrit 5 Juli 1959
Dekrit
Presiden 1959 muncul karena kegagalan Badan Konstituante saat itu dalam menetapkan
UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pada saat itu, anggota konstituante
mulai bersidang dari 10 November 1956. Namun praktiknya, hingga tahun 1958,
anggota konsituante tersebut belum juga mampu merumuskan UUD yang diharapkan.
Sementara itu, kebanyakan masyarakat meminta agar kembali kepada UUD 1945.
Untuk
menanggapi permintaan rakyat tersebut, Presiden Soekarno lantas segera
mengadakan sidang Konstituante pada 22 April 1959. Dalam sidang tersebut juga
diadakan pemungutan suara yang diselenggarakan pada 30 Mei 1959. Adapun hasil
dari pemungutan suara tersebut adalah 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199
suara lainnya tidak setuju. Karena dirasa belum mencukupi syarat, maka
pemungutan suara yang kedua pun diadakan pada 1 dan 2 Juni 1959. Namun,
pemungutan yang kedua ini pun belum bisa mencapai kata sepakat. Akhirnya, konstituante
memutuskan reses (masa perhentian sidang) yang ternyata menjadi akhir dari usaha
dalam menyusun UUD.
Akhirnya,
pada 5 Juli 1959 dikeluarkanlah Dekrit Presiden yang isinya adalah pembubaran
Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar dari
UUD Sementara 1950 ke UUD 1945.
Demokrasi Terpimpin
Lahirnya
demokrasi terpimpin ini berawal dari maklumat Drs. H Muhammad Hatta sebagai
wakil presiden waktu itu. Bung Hatta saat itu menyampaikan tentang perlu adanya
pembentukan partai-partai di Indonesia. Ternyata, maklumat Bung Hatta tersebut
mendapatkan sambutan yang cukup meriah dari rakyat Indonesia. Hal tersebut
terbukti dengan lahirnya sekitar 40 partai saat itu. Namun ternyata, hal
tersebut tidak serta merta menambah suburnya sistem Demokrasi di Indonesia.
Buktinya, kabinet-kabinet yang terpilih saat itu tidak ada yang bisa bertahan
sampai 2 tahun, sehingga harus selalu terjadi perombakan-perombakan dengan
kabinet yang baru.
Menurut
penilaian Bung Karno, banyaknya partai hanya memperkeruh masalah dan bisa saja menjadi
pemicu konflik baru, penyebab perpecahan dan sebagainya. Kondisi yang seperti
itulah yang akhirnya memaksa Soekarno untuk menerapkan “Demokrasi terpimpin”
dengan dukungan militer untuk mengambil alih kekuasaan.
Menurut UUD
1945, demokrasi terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Tentu saja, dalam hal ini
kekuasaan tertinggi berada di tangan MPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar