Rabu, 04 Oktober 2006

Bung Karno Mendua Ataukah Setengah Hati?


Keraguan terhadap kinerja Bung Karno pernah terjadi di negeri ini. Banyak orang yang mulai ragu terhadap loyalitas dan nasionalisme seorang Soekarno. Tak sedikit orang yang menganggap bahwa meskipun Soekarno selalu berapi-api dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, namun sebenarnya semua itu tidak total atau hanya setengah hati saja. Hal tersebut bisa dilihat ketika Bung Karno mendirikan PNI. Di satu pihak, PNI bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka. Namun di lain pihak, cita-cita kemerdekaan tersebut tidak dibarengi dengan totalitas dan kerja keras untuk mengubah sistem politik pemerintah kolonial dengan sistem politik yang benar-benar baru, adil dan terbuka.
Di samping itu, masih ada lagi kasus-kasus di mana Bung Karno memihak Jepang (bisa dilihat dalam kasus Romusha dan Peta) atau ketika Bung Karno menyetujui masuknya PKI sebagai salah satu partai di negeri ini, padahal Bung Karno sendiri pernah berkata bahwa paham komunis itu sangat berlawanan dengan ideologi di Indonesia. Hanya elite akan diganti dengan elite baru, yakni elite pribumi.
Kasus mendua lainnya bisa kita lihat ketika Soekarno memakai prinsip Marxis amat selektif. Beberapa sejarahwan menganggap bahwa Bung Karno hanya tertarik dengan sistem proletariat-nya Marx, tetapi mengapa Bung Karno malah memperluasnya menjadi Marhaenisme?. Padahal sistem tersebut memiliki efek samping ganda yang sangat berlawanan. Di satu pihak, perluasan tersebut bisa membuat revolusi menjadi lebih jauh dari sekedar pertarungan antara buruh pabrik melawan kapitalis. Namun, di lain pihak, hal tersebut bisa juga membuat fokus revolusi menjadi terpecah, pudar atau bahkan kabur. Ternyata, dugaan para sejarahwan tersebut terbukti nyata. Hal tersebut terlihat jelas dalam tulisannya di Harian Fikiran Rakjat pada tahun 1932. Di dalam surat kabar harian tersebut, beliau berkata “Kita berjuang bukan untuk melawan orang kaya, melainkan untuk melawan sistem.”
Seorang penulis biografi Soekarno, Bernhard Dahm, “Di satu pihak Soekarno menentang sikap rakyat yang mudah pasrah pada nasib, tetapi di lain pihak ia membutuhkan sorak-sorai tepuk tangan (mereka) guna mendukung rasa percaya dirinya.” Dari kutipan perkataan Bung Karno tersebut, jelas terbukti adanya sikap mendua (ambivalen) dalam sikap-sikap Soekarno terhadap kapitalisme, imperialisme maupun elitisme.
Namun bagaimana pun sikap beliau, sepatutnya kita yakin bahwa seorang pemimpin pasti tahu apa yang terbaik bagi rakyatnya. Sepatutnya bila kita berbaik sangka, bahwa pasti ada sebuah niat baik di balik sifat-sifat beliau yang terkadang mengundang tanda tanya dan sarat akan kontrovesi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar