Keraguan
terhadap kinerja Bung Karno pernah terjadi di negeri ini. Banyak orang yang
mulai ragu terhadap loyalitas dan nasionalisme seorang Soekarno. Tak sedikit
orang yang menganggap bahwa meskipun Soekarno selalu berapi-api dalam melawan
kolonialisme, imperialisme dan elitisme, namun sebenarnya semua itu tidak total
atau hanya setengah hati saja. Hal tersebut bisa dilihat ketika Bung Karno
mendirikan PNI. Di satu pihak, PNI bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka.
Namun di lain pihak, cita-cita kemerdekaan tersebut tidak dibarengi dengan
totalitas dan kerja keras untuk mengubah sistem politik pemerintah kolonial
dengan sistem politik yang benar-benar baru, adil dan terbuka.
Di
samping itu, masih ada lagi kasus-kasus di mana Bung Karno memihak Jepang (bisa
dilihat dalam kasus Romusha dan Peta) atau ketika Bung Karno menyetujui
masuknya PKI sebagai salah satu partai di negeri ini, padahal Bung Karno
sendiri pernah berkata bahwa paham komunis itu sangat berlawanan dengan
ideologi di Indonesia. Hanya elite akan diganti dengan elite baru, yakni elite
pribumi.
Kasus
mendua lainnya bisa kita lihat ketika Soekarno memakai prinsip Marxis amat
selektif. Beberapa sejarahwan menganggap bahwa Bung Karno hanya tertarik dengan
sistem proletariat-nya Marx, tetapi mengapa Bung Karno malah memperluasnya
menjadi Marhaenisme?. Padahal sistem tersebut memiliki efek samping ganda yang
sangat berlawanan. Di satu pihak, perluasan tersebut bisa membuat revolusi
menjadi lebih jauh dari sekedar pertarungan antara buruh pabrik melawan kapitalis.
Namun, di lain pihak, hal tersebut bisa juga membuat fokus revolusi menjadi terpecah,
pudar atau bahkan kabur. Ternyata, dugaan para sejarahwan tersebut terbukti
nyata. Hal tersebut terlihat jelas dalam tulisannya di Harian Fikiran Rakjat
pada tahun 1932. Di dalam surat kabar harian tersebut, beliau berkata “Kita
berjuang bukan untuk melawan orang kaya, melainkan untuk melawan sistem.”
Seorang
penulis biografi Soekarno, Bernhard Dahm, “Di
satu pihak Soekarno menentang sikap rakyat yang mudah pasrah pada nasib, tetapi
di lain pihak ia membutuhkan sorak-sorai tepuk tangan (mereka) guna mendukung
rasa percaya dirinya.” Dari kutipan perkataan Bung Karno tersebut, jelas
terbukti adanya sikap mendua (ambivalen) dalam sikap-sikap Soekarno terhadap
kapitalisme, imperialisme maupun elitisme.
Namun
bagaimana pun sikap beliau, sepatutnya kita yakin bahwa seorang pemimpin pasti
tahu apa yang terbaik bagi rakyatnya. Sepatutnya bila kita berbaik sangka, bahwa
pasti ada sebuah niat baik di balik sifat-sifat beliau yang terkadang
mengundang tanda tanya dan sarat akan kontrovesi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar